Makna Potong Empat Angkatan Kapolri
Rohman Budijanto ;
Wartawan Jawa Pos
|
JAWA POS, 16 Juni
2016
JOKO Widodo kali ini menunjukkan diri
benar-benar sebagai presiden. Di luar spekulasi yang beredar, Komjen Pol
Muhammad Tito Karnavian diajukan sebagai calon tunggal Kapolri. Lompat
generasi dari Badrodin Haiti angkatan 1982 ke Tito yang angkatan 1987 juga
merupakan kejutan; kejutan yang membesarkan hati. Tongkat komando Polri
beralih ke orang terbaik saat Akpol: Badrodin maupun Tito sama-sama peraih
bintang Adhimakayasa alias lulusan terbaik.
Diperkirakan, sosok yang pernah ''duet''
dengan Ahok saat menjabat Kapolda Metro Jaya itu akan mudah lolos di DPR.
Sebab, tak ada suara keras terhadap Jokowi atas calon Kapolri. Selain itu,
figur Tito relatif tidak pernah bersinggungan dengan nuansa politis. Karena
itu, tak ada alasan kuat bagi DPR untuk menentang Tito.
Naiknya Tito memotong generasi yang cukup
panjang, yakni melompati 1983-1986, adalah langkah yang cukup strategis.
Generasi Polri dipimpin orang yang muda usia. Tito kelahiran 1964, baru akan
pensiun pada 2022.
Jauh melampaui masa jabatan Jokowi yang akan
berakhir pada 2019.
Dengan masa kerja yang leluasa, setidaknya bisa dianggap
sampai 2019, Tito wajib memenuhi harapan pembangunan postur Polri yang lebih
bersahabat dengan rakyat. Dan, yang lebih penting, bersahabat dengan
nilai-nilai integritas. Polri cukup piawai dalam kemampuan teknis membongkar
perkara. Namun, sering dipertanyakan dalam keseriusan membersihkan dirinya.
Geger pencalonan Kapolri tahun lalu membawa
pertanyaan besar kepada integritas. Pencalonan tunggal Komjen Pol Budi
Gunawan (BG) memicu KPK menetapkan sang bintang tiga sebagai tersangka
korupsi. Kita sudah tahu akhirnya.
Kasus BG berakhir di Bareskrim Polri setelah
dia memenangkan praperadilan atas penetapan status tersangka. BG boleh
dianggap ''berjasa'' karena memberikan preseden status tersangka
dipraperadilankan. Dan kemudian Mahkamah Konstitusi membenarkan langkah itu.
Nama BG masih beredar dalam spekulasi
munculnya cakapolri sebelum nama Tito melejit. BG dikaitkan dengan jejaring
yang kuat di kalangan para perwira Polri. Namanya masih disebut pengamat dan
anggota DPR.
Bahkan, ada yang menilai sang Wakapolri bisa
langsung dilantik menjadi Kapolri karena tahun lalu sudah lulus fit and
proper test di DPR. Spekulasi lanjutan berkembang dengan nama-nama alternatif
para penyandang bintang senior yang dianggap dekat BG. Termasuk Komjen Pol
Budi Waseso yang namanya berpendar-pendar setelah menjabat kepala Bareskrim
Polri dan kini kepala Badan Narkotika Nasional (BNN).
Jokowi, rupanya, sudah mengalami ''evolusi
mental''. Perlu lebih dari satu tahun, dengan menempatkan Badrodin Haiti
sebagai Kapolri, yang sebenarnya masa pensiunnya hanya 17 bulan sejak
dilantik April 2015.
Lazimnya, jabatan Kapolri minimal masih punya
masa jabatan dua tahun saat mulai menjabat. Tetapi, keadaan ''darurat''
menaikkan posisi Badrodin ke puncak dari posisi Wakapolri. Sebagai Kapolri,
kinerja Badrodin tidak mengecewakan, meski yang mengisi banyak jabatan
penting di bawahnya dianggap lebih dekat ke BG, sang Wakapolri.
Naiknya Tito seperti permainan takdir yang
menarik. Polri sedang diombang-ambingkan oleh isu klik dan angkatan. Tapi,
yang muncul malah nama perwira tinggi muda ini. Dan, Tito seperti sudah
''menyiapkan diri'' jadi Kapolri.
Selama menjabat asisten perencanaan Bidang
Umum dan Anggaran (Asrena) Polri dua tahun lalu, Tito membuat rencana
strategis (renstra) Polri 2014-2019. Nah, karena menjadi Kapolri, Tito bisa
ditagih atas pelaksanaan renstra yang ditulis saat dirinya menjabat itu.
Renstra tersebut setidaknya bisa dilihat dari
delapan quick wins atau program cepat prioritas. Yakni, (1) Penertiban dan
penegakan hukum bagi organisasi radikal dan anti-Pancasila. (2) Perburuan dan
penangkapan jaringan terorisme. (3) Aksi nasional pembersihan preman dan
premanisme. (4) Pembentukan dan pengefektifan satuan tugas operasi (satgas
ops) Polri serta kontra-radikal dan deradikalisasi. (5) Pemberlakuan
rekrutmen Polri yang terbuka dan bebas pungutan liar. (6) Polri sebagai
penggerak revolusi mental dan pelopor tertib sosial di ruang publik. (7)
Pembentukan tim internal antikorupsi. (8) Crash program pelayanan masyarakat
serta pelayanan bersih dari percaloan.
Quick wins 1, 2, dan 4 terkesan ''Tito
banget''. Tito kenyang pengalaman menghadapi radikalisme karena pernah
menjadi kepala Densus 88 pertama saat dibentuk di Polda Metro. Timnya pernah
menembak mati Dr Azhari dan Noordin M. Top.
Dia juga meraih PhD magna cum laude dalam
Strategic Studies with interest on Terrorism and Islamist Radicalization di
S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura. Terlebih, kini dia
menjabat kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Tak
diragukan, Tito bakal keras terhadap radikalisme.
Yang perlu pembuktian cepat adalah
pemberantasan pungli, korupsi, calo, serta pelayanan bersih. Singkatnya,
Polri di bawah Tito perlu mempercepat penguatan antikorupsi internal dan
eksernal yang pernah menonjol pada zaman Kapolri Sutanto.
Geger yang mengiringi pengangkatan Kapolri
tahun lalu juga terkait dengan polemik korupsi. Untuk itu, pantas diingat
langkah Abraham Samad dkk. Kita pantas berharap Tito juga keras terhadap
korupsi yang tak kalah ''radikal'' pula. Apalagi kini KPK, tampaknya, sudah
sulit diharapkan beraksi seperti zaman Abraham Samad dalam ''membantu'' Polri
membersihkan diri.
Potong generasi empat angkatan dalam
pengapolrian Tito ini perlu dimaknai sebagai upaya untuk membuat postur Polri
yang berbeda. Yang lebih lincah, bebas sarat kepentingan jejaring ala gerbong
urut kacang.
Kalau kepemimpinan mantan Kapolda Papua ini berhasil membuat
Polri yang lebih akuntabel, setidaknya ''lapor kehilangan sapi kembali
kambing'', maka reformasi di tubuh Polri bisa berjalan lebih cepat. Apalagi
Tito relatif sepi dari terpaan isu keraguan integritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar