ASEAN Minus 1 atau ASEAN "Zombie"
Rene L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 22 Juni 2016
Ada kekhawatiran
organisasi regional ASEAN menjelang usianya yang ke-50 menjadi organisasi
yang hidup segan mati tak mau diacak-acak Tiongkok terkait klaim tumpang
tindih kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan (LTS). Juga menjelang keputusan
kajian pengadilan arbitrase internasional (PCA) tentang beberapa status dan
fitur di kawasan tersebut.
Sepanjang sejarah
ASEAN, belum pernah organisasi politik dan keamanan regional yang
mempertahankan dan mengembangkan stabilitas dan perdamaian berada pada titik
nadir akibat ulah negara besar. Untuk kesekian kalinya, sejak Menteri Luar
Negeri RRT dijabat Yang Jiechi, ASEAN dibuat tidak mampu mengeluarkan
pandangan atau pernyataan bersama terkait persoalan yang terus berkembang di
LTS.
Terakhir terjadi dalam
pertemuan ASEAN-Tiongkok di Kunming, Provinsi Yunnan, pekan lalu (Kompas,
20/6). Insiden yang menyebabkan terjadinya diplomatic fiasco di lingkungan
ASEAN akibat upaya balkanisasi RRC, menyebabkan setiap negara anggota
mengeluarkan pandangannya sendiri-sendiri tentang LTS, khususnya terkait
dengan posisi ASEAN pasca keputusan PCA.
Menlu Kamboja Prak
Sokkonn, misalnya, dalam surat ke Menlu Singapura Vivian Balakrishnan yang
menjadi negara koordinator dialog ASEAN-RRT meminta penundaan pernyataan pers
bersama para menlu ASEAN. Bahkan, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen lebih
lantang mengatakan, keputusan arbitrase bukan soal hukum, tetapi politik yang
dijalankan beberapa negara dan PCA. Hal senada disampaikan Laos dan Brunei.
Menlu Laos Saleumxay Kommasith dalam suratnya kepada Balakrishnan mendukung
hal seperti yang diusulkan Sokkonn, untuk menghindari konfrontasi dengan RRT.
Adapun Brunei meminta penundaan pernyataan pers bersama ASEAN juga dilakukan
dan harus berdasarkan konsensus.
Indonesia sebagai
negara terbesar di kawasan pun terpengaruh dan belum menentukan sikap,
terutama setelah beberapa insiden kapal nelayan RRT yang tertangkap di
wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) di sekitar perairan Natuna. Insiden
melibatkan kapal Guibei Yu 10078 pada bulan Maret, Guibei Yu 27088, dan
Qiandanzhou 19038 pada bulan ini.
Apa yang harus
dilakukan menghadapi ancaman kohesi ASEAN supaya organisasi ini tidak menjadi
zombie yang mati tak mau hidup pun enggan. Dan, salah satu faktor utamanya
adalah mekanisme konsensus yang selama ini menjadi acuan penting ASEAN dalam
menentukan berbagai sepak terjangnya.
Kolom ini berpendapat,
sudah waktunya mekanisme konsensus diperbarui mengikuti dinamika regionalisme
dan globalisasi menghadapi persoalan politik, hukum, keamanan di kawasan pada
abad ke-21 yang semakin luas dan rumit. Indonesia bisa melakukan inisiasi
untuk mulai berbicara dengan anggota ASEAN lainnya, mengusulkan mekanisme
konsensus ASEAN minus 1 dalam menghadapi kebekuan dan kebuntuan sistem
konsensus yang diciptakan pada dekade 70-an.
Dalam ASEAN minus 1,
harus disepakati jumlahnya tidak boleh lebih dari dua anggota yang tidak
setuju. Kalau lebih, maka mekanisme konsensus tetap berfungsi seperti semula.
Selain itu, mekanisme ASEAN minus 1 atau 2 ini juga tidak boleh menunjuk
negara anggota mana yang tidak setuju, demi "menyelamatkan muka"
anggota yang tidak setuju tersebut.
Diharapkan, mekanisme
ASEAN minus 1 mencegah terjadinya diplomatic fiasco yang berturut-turut
menyebabkan ASEAN babak belur dipecah belah Tiongkok. Selain itu, sesuai
berjalannya waktu, ASEAN bisa "membimbing" negara-negara besar di
dalam dan luar kawasan untuk memahami dan menghormati norma serta nilai hukum
internasional yang menjadi kunci penting organisasi regional ini. Laut
Tiongkok Selatan hanyalah salah satu tantangan yang dihadapi ASEAN. Masih
banyak persoalan lain yang membutuhkan kerja sama erat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar