Badan Otorita dan Otonomi Abu-abu
Laode Ida ;
Komisioner Ombudsman RI; Wakil
Ketua DPD RI 2004-2014
|
KOMPAS, 21 Juni 2016
Tulisan Prof Irfan
Ridwan Maksum berjudul "Darurat Desentralisasi Fungsional" (Kompas,
7/6/2016) menarik didiskusikan karena khusus mengangkat Pulau Batam sebagai
fakta unik dalam pengelolaan daerah otonom di negeri ini.
Bahkan boleh jadi
pengelolaan kawasan "hinter land Singapura" itu satu-satunya
wilayah administrasi pemerintahan di dunia yang tak berdaya berhadapan dengan
badan negara berwatak korporasi (Badan Pengusahaan, BP, Batam; sebelumnya
Badan Otorita), dalam posisi yang tumpang tindih baik kewenangan maupun
wilayah cakupan.
Pihak pemerintah
daerah (pemda) sendiri tampak gamang menghadapi situasi konflik kewenangan
seperti itu. Dampaknya, antara lain, seperti yang dikatakan Gubernur
Kepulauan Riau (Kepri) Nurdin Basirun, bahwa pihak investor kebingungan
dengan status Batam sekarang ini (Kompas, 6/7/2016). Suasana ketaknyamanan
para pejabat pemda seperti itu sebenarnya sudah lama terjadi, termasuk
dikeluhkan pada saat kunjungan bersama di Kepri antara Komisi II DPR,
Ombudsman RI, dan Kementerian Agraria/BPN, beberapa minggu lalu.
Dimensi psikologis
Sikap gamang itu
sangat beralasan karena Pemkot Batam merasa terus berada dalam kendali BP
Batam sehingga tak otonom dalam merencanakan pembangunan wilayah
administrasinya sendiri beserta seluruh potensi sumber daya ekonomi yang ada
di dalamnya. Implikasinya, pelayanan pemkot terhadap masyarakatnya terganggu.
Untuk membangun kantor-kantor pemerintah dalam rangka pelayanan publik pun
tak bisa langsung direalisasikan karena kewenangan pemanfaatan lahan ada di
bawah Otorita atau BP Batam.
Prof Irfan Ridwan
sangat tepat memberi istilah "cacat bawaan" kebijakan pengelolaan Batam
sehingga menjadikan persoalan ketegangan kedua lembaga itu terus
berkepanjangan hingga sekarang ini. Benar bahwa pengelolaan Batam sekarang
produk kebijakan di era pemerintah Orde Baru yang sentralistik, militeristik,
dan otoriter. Juga karena tidak dilakukan perubahan, penyesuaian atau
sinkronisasi di era reformasi ini, utamanya setelah Kota Batam resmi jadi
pemda otonom berdasarkan Undang-Undang Nomor 53/1999. Seandainya tidak
beralih status dari kota administratif jadi kota definitif-otonom, barangkali
persoalannya tidak serumit seperti sekarang ini.
Meski demikian, yang
luput dibahas oleh Prof Irfan Ridwan adalah dimensi psikologis kelembagaan BP
Batam yang sudah jauh lebih mapan ketimbang Pemkot Batam. BP Batam sudah
memiliki sejarah perjalanan panjang dalam mengelola Batam. Dimulai sejak
dekade awal Orde Baru, yakni melalui Keppres No 74/1971 tentang Pengembangan
Pembangunan Pulau Batam; diperkuat lagi dengan Keppres No 41/1973 tentang
Daerah Industri Pulau Batam; SK Mendagri No 43/1977 tentang Pengelolaan dan
Penggunaan Tanah di Daerah industri Pulau Batam; Keppres No 41/1978 tentang
Penetapan Seluruh Daerah Industri Pulau Batam sebagai Wilayah Usaha Bonded Warehouse; Keppres No 56/1984
tentang Penambahan Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan
Penetapannya sebagai Wilayah Bonded
Warehouse; Keppres No 28/1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja
Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Kawasan
Berikat; SK BPN No 9-VIII-1993 tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah
Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau-pulau Sekitarnya.
Di era pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid, posisi BP Batam diperkuat lagi dengan UU No
36/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Posisi hukum
kelembagaan BP Batam seperti itu semakin diperkuat oleh pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengeluarkan beberapa peraturan pemerintah
(PP) dan keppres terkait. Posisi BP Batam semakin dimapankan oleh
pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan dikeluarkannya Keppres No 8/2016
tentang Komite Ekonomi dan Industri Nasional (sekaligus pengangkatan susunan
keanggotaan pengelolaan BP Batam).
Sejarah panjang dan
posisi hukum yang kuat Badan Otorita atau (sekarang) BP Batam itu memiliki
beberapa implikasi kelembagaan. Pertama, sudah menjadi bagian dari bisnis
atau urusan pemerintah pusat yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Setiap
rezim pemerintahan, mulai dari Orde Baru hingga era reformasi, tetap
menjadikan Batam sebagai bagian dari garapan empuk baik bagi para pejabat
politik maupun pebisnis.
Oleh karena itu, bisa
dipahami jika "gugatan" Pemprov Kepri atau Pemkot Batam selalu saja
diabaikan, termasuk di dalamnya tidak dilakukannya sinkronisasi setelah
Pemkot Batam menjadi daerah otonomi. Karena jika Pemkot Batam diperkuat
kewenangannya sebagaimana daerah otonomi lainnya di Indonesia, niscaya secara
langsung akan menghilangkan "lahan empuk" para pihak dari pusat
yang selama ini jadi penikmatnya.
Kedua, semua pihak
yang berurusan di Batam, utamanya kalangan pebisnis atau investor baik dari
dalam negeri maupun luar negeri, sudah menganggap Badan Otorita atau BP Batam
sebagai satu-satunya wadah yang dijamin oleh UU dan berbagai peraturan
pemerintah untuk mewujudkan rencana bisnis mereka. Setidaknya para pebisnis
sudah tahu cara berurusan dengan badan pemerintah yang berwatak korporasi,
termasuk karakter para pengelolanya, kendati tidak sedikit juga selama ini
merasa dikecewakan akibat pelayanan yang terkadang tidak berkepastian.
Ketiga, pemapanan
posisi Badan Otorita atau BP Batam barangkali juga tak bisa dilepaskan dengan
keraguan pemerintah terhadap kemampuan pemda (provinsi atau kota) untuk
mengambil alih semua urusan investasi untuk pengembangan atau pembangunan
wilayah Batam. Hal ini terkait dengan karakter pemerintah daerah selama ini
yang umumnya larut dalam agenda-agenda pragmatis jangka pendek di tengah
pertempuran kepentingan politik lokal yang begitu kuat (periode lima
tahunan). Jika diserahkan atau menjadikan BP Batam di bawah kendali pemda,
misalnya, maka diragukan akan selalu terpengaruh dengan guncangan dalam
pertempuran politik lokal; sesuatu yang tidak sehat dalam kaitan dengan
bisnis dan investasi.
Beri otonomi khusus
Apa yang mau dikatakan
di sini bahwa Badan Otorita atau BP Batam eksis seolah menyubordinasi pemkot
setempat lebih karena sebuah produk sejarah panjang pengembangan wilayah, di
mana pemerintah di negeri ini dulu pernah bermimpi bagaimana memanfaatkan
posisi strategis Batam untuk memberi warna pembangunan berwatak modernisme guna
menyaingi Singapore. Hanya saja, kebijakan politik di era reformasi tidak
konsisten untuk terus mengawal agar mimpi pemerintahan era Soeharto (di mana
BJ Habibie sebagai pemikir dan sekaligus pendorong kebijakannya) bisa
terwujud.
Model pengembangan ekonomi
kawasan seperti yang dilakukan melalui Badan Otorita atau BP Batam sebenarnya
sangat diperlukan untuk mengembangkan wilayah-wilayah terdepan atau potensial
lainnya di negeri ini. Tentu saja dengan tidak membuat kesalahan yang sama
seperti sekarang ini terjadi di Batam sehingga sekaligus menghindari keraguan
Prof Irfan Ridwan akan adanya "virus Batam" merambah daerah-daerah
otonomi lainnya di Nusantara ini.
Terhadap disharmoni
kewenangan antara Pemkot Batam dan BP Batam sendiri, kita semua tentu sepakat
agar hal itu segera diakhiri. Jika tidak, yang dirugikan adalah masyarakat
Kota Batam khususnya dan Kepri pada umumnya, selain juga para pemangku
kepentingan terkait lainnya. Tepatnya, dalam kasus seperti ini negara harus
hadir dalam membenahi kejanggalan pengelolaan daerah/wilayah yang
berimplikasi negatif itu.
Dalam kaitan itu,
barangkali pemerintah perlu mengambil salah satu dari dua langkah kebijakan.
Pertama, jadikan Batam sebagai daerah otonomi khusus (otsus) untuk
pembangunan ekonomi perbatasan dengan pengaturan posisi BP Batam berada dalam
bingkai otsus itu. Atau, kedua, segera pastikan zonasi kewenangan yang
memastikan batas-batas kawasan yang menjadi wilayah kewenangan Pemkot Batam
dan BP Batam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar