Prakarsa Menyiasati Bencana
Bagong Suyanto ;
Dosen Program Pascasarjana
FISIP Universitas Airlangga; Pemakalah pada "2016 International
Conference on Science and Technology Applications in Climate Change" di
Sabah Malaysia, 9-12 Juli 2016
|
KOMPAS, 23 Juni 2016
Sesungguhnya sering
dilontarkan peringatan tentang risiko perubahan iklim dan kemungkinan
terjadinya bencana di Tanah Air. Akan tetapi, entah karena apa, kita
cenderung kurang responsif atau bahkan mengabaikannya, dan baru sadar tatkala
bencana tiba-tiba datang menyergap.
Belum kering air mata
keluarga korban bencana dan belum usai pula upaya penanganan bencana yang
terjadi di Provinsi Jawa Tengah, kini kembali kita dikejutkan oleh kejadian
bencana yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Manado, Sulawesi
Utara.
Bencana banjir dan
tanah longsor yang terjadi di Sulawesi Utara dan Jawa Tengah ini bukan saja
tidak terduga karena terjadi menjelang memasuki musim kemarau, melainkan juga
memprihatinkan karena dilaporkan ada sejumlah korban tewas. Badan SAR
Nasional (Basarnas) merilis data sementara jumlah korban tewas akibat banjir
dan tanah longsor di Sangihe berjumlah empat orang. Sementara di Jawa Tengah,
korban bencana tercatat sebanyak 40 jiwa tewas dan minimal enam orang luka-luka
akibat terkena longsoran, serta sembilan warga belum ditemukan alias masih
hilang. Artinya, tidak mustahil jumlah korban tewas akan bertambah lagi
karena hingga saat ini pencarian dan evakuasi terhadap korban bencana terus
dilakukan.
Faktor penyebab
Faktor penyebab
terjadinya banjir dan tanah longsor seperti yang terjadi di sejumlah daerah
di Indonesia sudah barang tentu sangat kompleks. Akan tetapi, dari berbagai
faktor penyebab yang bisa diidentifikasi,
anomali cuaca dan perubahan iklim dunia yang terjadi sesungguhnya
adalah biang kerok yang seharusnya paling bertanggung jawab terhadap kejadian
bencana di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Tanah Air.
Ada sejumlah faktor
penyebab terjadinya bencana di Jawa Tengah, Sulawesi Utara, dan beberapa
daerah lain di Indonesia. Pertama, perubahan iklim selain dapat meningkatkan
siklus air sehingga mengubah aliran sungai di berbagai belahan dunia dalam
hal jumlah, waktu, distribusi musiman, kualitas air, dan ekosistem, yang tak
kalah mencemaskan perubahan iklim juga menyebabkan terjadinya banjir karena
kenaikan permukaan air laut dan luapan sungai.
Dalam salah satu
penelitian di Inggris ditemukan bahwa perubahan iklim berdampak pada
meningkatnya risiko banjir. Dari data 1998-2012, tingginya curah hujan
menyebabkan banjir, juga tanah longsor, yang pada akhirnya menyebabkan
puluhan korban meninggal dunia. Klaim asuransi meningkat hingga 500 juta
poundsterling. Kerugian tercatat
hingga 5,5 miliar poundsterling. Puluhan ribu rumah dan ribuan bisnis terkena
banjir, serta rusaknya fasilitas jembatan, dan area pertanian (Hannaford,
2015).
Kedua, perubahan iklim
dapat berdampak pada ketersediaan pangan dan naiknya harga bahan makanan
karena menurunnya hasil panenan. Bila cuaca ekstrem seperti kekeringan dan gelombang
panas semakin sering terjadi, diperkirakan terjadi kenaikan harga hingga 30
persen. Diperkirakan secara global terjadi penurunan produksi jagung, gandum,
dan beras masing-masing sebesar 10, 7, dan 6 persen. Dalam kondisi
terbatasnya air, biasanya petani cenderung memperluas lahan atau mengganti
tanamannya dengan komoditas berharga jual lebih tinggi (Ignaciuk & Mason-D-Croz, 2014).
Sebaliknya, ketika
iklim yang berlangsung termasuk kemarau basah, maka hujan yang berkepanjangan
niscaya juga akan menyebabkan banyak lahan terendam air, kebanjiran, sehingga
hasil panenan yang dipetik pun tidak seperti yang diharapkan. Hukum ekonomi
yang berlaku, ketika komoditas pangan berkurang, harga bahan makanan pun
pelan-pelan akan merayap naik.
Ketiga, dengan meningkatnya
banjir dan kekeringan, masyarakat kelas bawah di daerah urban juga dapat
terdampak, minimal dalam hal ketersediaan air bersih dan sanitasi, sehingga
meningkatkan tekanan akan kebutuhan air bersih. Masyarakat miskin
dikhawatirkan paling terdampak perubahan iklim karena tinggal di area yang
ekologisnya rawan, dan sangat bergantung pada sumber daya alam dan sektor
yang rentan terhadap perubahan iklim. Misalnya bagi penduduk yang tinggal di
wilayah yang tandus, tetapi rawan banjir. Dalam konteks ini, turunnya pasokan
air tidak mustahil akan dapat memicu timbulnya konflik alokasi antara
pertanian dan peternakan sehingga juga dapat mengurangi kebutuhan buruh, yang
pada akhirnya mengakibatkan pengangguran (Heath
dkk, 2012).
Prakarsa lokal
Ketika bencana yang
terjadi semakin meluas dan tak terbendung, salah satu jalan keluar yang utama
adalah melakukan adaptasi. Proses adaptasi merupakan rangkaian usaha manusia
untuk menyesuaikan diri atau memberi respons terhadap kejadian yang mengancam
kelangsungan hidup organisme, termasuk manusia. Dalam menghadapi ancaman dan
dampak terjadinya bencana, masyarakat diharapkan mampu mengembangkan pola
adaptasi yang berbentuk pola tingkah laku yang mengikuti dan menyiasati
perubahan iklim agar dampak yang ditimbulkan dapat diminimalisasi.
Adaptasi masyarakat
terhadap perubahan iklim ini perlu dilakukan karena dampaknya selama ini telah dirasakan dan
terjadi di sejumlah daerah, seperti ancaman kekeringan, terjadinya banjir,
tanah longsor, dan berbagai bencana lainnya. Selain itu, telah disadari bahwa
keterlambatan dalam merespons dan beradaptasi terhadap perubahan iklim bisa
berisiko dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Akibat banjir,
misalnya, setiap tahun diperkirakan jutaan hektar lahan terendam air dan gagal
panen, yang kemudian berpotensi mengganggu ketahanan pangan kita.
Sebagai bagian dari
perubahan iklim global, terjadinya bencana harus diakui memang sulit
diprediksi, apalagi ditiadakan. Kemungkinan munculnya bencana banjir dan
tanah longsor sebagaimana yang terjadi di Jawa Tengah, misalnya, sering kali
terjadi tanpa bisa diduga. Seperti mimpi buruk yang tiba-tiba hadir,
terjadinya bencana banjir dan tanah longsor sering kali berlangsung cepat,
dan tidak terduga. Hanya saja, bedanya, jika mimpi buruk hilang begitu saja
ketika kita terbangun, yang namanya bencana justru dampaknya baru dirasakan
ketika kita telah sadar: rumah rusak, lahan terendam, dan bahkan tidak
sedikit warga masyarakat yang kehilangan anggota keluarganya akibat
terjadinya bencana.
Untuk menyiasati agar
efek terjadinya bencana tidak menimbulkan kerugian yang besar bagi
masyarakat, tentu saja dibutuhkan uluran tangan dari berbagai pihak dan peran
aktif pemerintah untuk membangun berbagai infrastruktur yang fungsional untuk
menahan banjir, mencegah tanah longsor, atau menyediakan pompa air untuk
menyiasati ancaman kekeringan. Namun, yang tak kalah penting adalah bagaimana
mendorong pengembangan inisiatif atau prakarsa masyarakat lokal, baik
inisiatif di tingkat individu maupun prakarsa komunitas, untuk melakukan
berbagai langkah pencegahan dan penyiasatan terhadap dampak bencana akibat
perubahan iklim.
Berbagai prakarsa lokal yang sudah
dikembangkan di sebagian masyarakat, dan penting untuk dikembangkan pula di
komunitas yang tinggal di daerah rawan bencana, antara lain, adalah
pembuatan sumur resapan, penanaman
pohon, kerja bakti membersihkan sungai, dan mengumpulkan air tadah hujan. Di
tengah keterbatasan dana pembangunan yang dimiliki pemerintah, munculnya
berbagai prakarsa masyarakat lokal untuk ikut berpartisipasi menyiasati
perubahan iklim, bukan saja sangat strategis dilakukan, melainkan juga akan
dapat menjamin kontinuitas jangka panjang pelaksanaan berbagai prakarsa yang
kemungkinan justru lebih efektif mencegah efek bola salju terjadinya bencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar