Calon Independen dan Kegairahan Politik Rakyat
Romanus Ndau ;
Pernah Calon Bupati dari Jalur
Independen
|
MEDIA INDONESIA,
14 Juni 2016
SANGAT disesalkan masih adanya
upaya untuk menjegal calon independen dalam pilkada. Usulan menaikkan persentase
dukungan, kewajiban menempel prangko di surat dukungan, verifikasi dengan
metode sensus, hingga syarat formulir standar yang diusulkan Wakil Ketua DPR
Fahri Hamzah, kader PKS yang sudah dipecat partainya, merupakan hadangan
serius bagi calon independen.
Realitas tersebut memberikan
dua gambaran. Pertama, sebagian parpol belum sepenuhnya ikhlas dengan
kehadiran calon independen. Bahkan, calon independen dianggap sebagai musuh
sehingga harus dihambat dan diberangus. Tindakan tersebut patut disesalkan,
mengingat calon independen sudah dijamin konstitusi.
Kedua, parpol belum terbiasa
menghadapi persaingan politik secara sehat. Popularitas calon independen,
terutama kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di DKI, membuat parpol
seakan kehilangan pesona. Semestinya fenomena Ahok menginspirasi parpol untuk
berbenah dan menata diri agar kehadirannya benar-benar sesuai dengan harapan
publik.
Kegairahan politik rakyat
Sesungguhnya calon independen
merupakan pilihan sulit yang diambil semata-mata untuk menyiasati realitas
politik yang terasa kian menyesakkan. Pertama, tingginya biaya politik yang
dipatok parpol.
Kedua, kuatnya dominasi parpol dalam proses pencalonan dan
pemenangan seorang kandidat. Dominasi tersebut terus berlangsung setelah
seseorang terpilih menjadi kepala daerah. Situasi ini membuat rakyat pasif
dan apatis terhadap politik.
Situasi tersebut menyebabkan
kehadiran calon independen memberikan kegairahan politik tersendiri bagi
rakyat. Rakyat merasa menjadi bagian penting dari politik. Tidak lagi sekadar
menonton, tetapi rakyat berpartisipasi secara luas dan nyata. Politik
benar-benar kehilangan dominasi elite, terutama parpol karena rakyat mendapat
ruang untuk mengartikulasikan hak-hak mereka dengan aktif mendukung calon
independen.
Untuk keperluan ini, rakyat
belajar mengorganisasi diri, membangun kontak dengan banyak konstituen, dan
menyusuri kampung serta lorong untuk mempromosikan calon independen. Mereka
juga aktif belajar untuk memahami visi dan misi calon independen serta
mentransformasikannya kepada pemilih. Singkatnya, kehadiran calon independen
menjadi peluang bagi rakyat untuk belajar berpolitik secara terorganisasi dan
ikut menumbuhkan demokrasi.
Dalam banyak kasus, kehadiran
calon independen membuat rakyat, terutama di daerah perdesaan, merasakan
manfaatnya memiliki KTP. Jika sebelumnya banyak yang tidak peduli mengurus
KTP karena memang tidak pernah digunakan, kini mereka memahami bahwa KTP ada
faedahnya. Rakyat termotivasi untuk mematuhi berbagai ketentuan administrasi
negara dengan berjuang untuk mendapatkan KTP karena hanya dengan itu mereka
bisa memberikan dukungan kepada calon independen. Soal ini merupakan kemajuan
tersendiri bagi rakyat sebab sebelumnya tidak pernah terbayangkan, bahkan
dalam imajinasi terliar sekalipun.
Selanjutnya, rakyat akan terus
bergerak, bekerja keras, terkadang dengan biaya sendiri, untuk memenangi
calon independen. Dukungan mereka tulus dan konkret karena semata-mata untuk
menyalurkan idealisme mereka. Setelah calon independen terpilih, mereka biasanya
mengambil jarak, memberi kesempatan kepada kepala daerah untuk bekerja. Rakyat
tidak akan mendesak kepala daerah terpilih untuk meminta proyek atau jabatan,
sebagaimana lazim dilakukan parpol.
Atas dasar itu, upaya parpol
menjegal calon independen merupakan mentalitas fasis sebab berpotensi
memberangus hak dan mematikan gairah politik rakyat. Mentalitas fasis ini
tampaknya kian menggerogoti parpol sehingga berpotensi menghambat
berkembangnya demokrasi secara sehat. Padahal, parpol seharusnya memelopori
upaya-upaya mendewasakan demokrasi dengan membuka akses bagi rakyat untuk
secara leluasa, tanpa hambatan, mengartikulasikan hak-hak politik mereka
secara konkret dan terus-menerus.
Pembenahan parpol
Tidak ada jalan pintas untuk
mengatasi berbagai persoalan saat ini selain dengan membenahi parpol secara
terencana dan sistematis. Sulit dibantah bahwa parpol kini hadir sebagai
sosok paradoks. Parpol memiliki hak yang nyaris mutlak untuk menentukan
berbagai jabatan politik di negeri ini. Pencalonan bupati/wali kota, gubernur
dan presiden menjadi domain parpol. Pengisian komisi-komisi negara, seperti
BPK, KPK, KY, MK, Komnas HAM, KPU, Bawaslu dan masih banyak lagi menjadi
wewenang kader-kader parpol yang ada di legislatif untuk menyeleksinya.
Besarnya wewenang tersebut
nyatanya tidak diimbangi dengan pencitraan parpol sebagai komunitas yang
diisi sosok-sosok berkualitas dan berintegritas. Pengisian jabatan-jabatan di
parpol dan rekrutmen wakil rakyat sangat feodalistis karena semata-mata
bertumpu pada koneksitas, senioritas, dan tumpukan materi. Aspek kualitatif,
seperti kapasitas intelektual, rekam jejak, dan integritas diri masih
diabaikan.
Tidak sulit bagi kita untuk
menebak bagaimana wajah parlemen jika parpol belum serius menata diri sebagai
kekuatan politik modern. Cara paling jitu menakar kualitas parlemen ialah
dengan mencermati perilaku politik dan kinerjanya. Banyaknya anggota DPR yang
terjebak korupsi dan pelanggaran moral seperti narkoba merupakan indikasi
bahwa mereka sulit diharapkan sebagai sosok dan teladan bagi rakyat.
Dari sisi kinerja lebih buruk
lagi. Sebagai contoh, setelah setahun menjabat, DPR periode 2014-2019 hanya
mengesahkan dua UU dari 38 RUU target Prolegnas. UU yang disahkan juga sarat
kontroversi, terutama UU pilkada karena berpotensi menghadang calon
independen. Buruknya kinerja legislasi berakar pada rendahnya kompetensi
anggota DPR, banyaknya reses dan lemahnya kepemimpinan.
Ada dua langkah penting untuk
membenahi parpol. Pertama, melakukan kaderisasi secara sungguh-sungguh. Parpol
harus menerapkan prinsip-prinsip yang rasional dalam proses rekrutmen,
promosi, dan distribusi kader. Pengisian jabatan-jabatan di parpol dan
rekrutmen calon wakil rakyat hendaknya lebih mengedepankan aspek kualitatif
mencakup pendidikan, kapasitas intelektual, kompetensi ilmiah, dan integritas
diri.
Kedua, parpol perlu mendapat
subsidi yang memadai dari negara. Anjuran ini mungkin terasa kurang populer,
tetapi hal ini merupakan konsekuensi logis dari peran parpol dalam proses
pemberdayaan dan pembangunan bangsa. Dukungan dana dan pengawasan ketat dari
negara merupakan agenda mendesak untuk memberdayakan parpol di masa kini dan
mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar