Ahok dan "Hollands Denken"
JJ Rizal ;
Sejarawan dan Pekerja di
Komunitas Bambu;
Penerbit khusus Buku-Buku Sejarah
|
KOMPAS, 24 Juni 2016
“Ulang tahun Jakarta
22 Juni 1527 ditemukan di tengah semangat besar pembebasan sejarah Indonesia
dari sudut pandang kolonial. “Jauhi penyakit Hollands denken,” begitu pesan Walikota Sudiro pada awal 1956
ketika menugaskan guru besar sejarah di UI, Prof. Dr. Sukanto, mencari hari
lahir Jakarta.
Mengapa pesan Walikota
Sudiro itu perlu diungkit lagi?
Gampangnya karena
ulang tahun Jakarta sudah dekat. Lebih jauh karena Gubernur Ahok dalam soal
kawasan sejarah Pasar Ikan dan Luar Batang akhirnya berkonsultasi dengan
pakar arkeologi.
Tetapi,
sayangnya—selain sudah telat karena situs sejarah benteng Zeeburg dalam
penggusuran Pasar Ikan yang lalu ikut digusur—Gubernur Ahok menggunakan hasil
konsultasi itu untuk menyerang dan melegitimasi niatnya menggusur Luar Batang:
“Pada era kolonial kawasan Luar Batang dijadikan gudang penyimpanan, jika ada
gudang mana mungkin ada warga bermukim di sana.”
Celakanya pernyataan
Gubernur Ahok itu keliru. Sebab menurut F. de Haan dalam Oud Batavia kampung
Luar Batang oleh Kompeni dijadikan pemukiman yang menampung para nelayan dari
Jawa Timur dan Cirebon yang disebut wetanger,
orang-orang dari timur.
Kekeliruan ini
memalukan sekaligus memberitahukan bahwa Gubernur Ahok menderita hongeroedem (busung lapar) sejarah.
Gubernur tidak tahu sejarah paling elementer kotanya bahwa Luar Batang adalah
kawasan yang menyatu dengan sejarah Sunda Kelapa, kota bandar yang jauh
sebelum Belanda tiba sudah ada dan diacu sebagai cikal-bakal Jakarta.
Sebab itu pernyataan
Gubernur Ahok mengandung kuman berbahaya yang bisa membangkitkan lagi
penyakit sejarah paling mematikan, yaitu sejarah Indonesia sama dengan
sejarah orang Belanda, tak terkecuali sejarah Jakarta.
Sejarah Jakarta hanya
dimulai saat orang Belanda tiba dan membangun Batavia. Sebelum itu tidak ada
sejarah Jakarta. Para sejarawan menyebutnya Neerlandosentris.
Cara pandang kolonial
Cara pandang sejarah
yang berorientasi kolonial. Inilah yang disebut Sudiro sebagai penyakit Hollands denken, yaitu ungkapan
tersohor pasca-kemerdekaan yang digunakan Sukarno untuk menunjuk kepada
“pandangan yang cupet, cetek, sempit, dangkal dan bodoh”.
Ungkapan Hollands denken sering digandengkan
dengan kleinburgelijk atau
pandangan dunia seseorang yang bagai katak dalam tempurung. Pola pikir kleinburgelijk disampaikan secara
sistematis melalui sekolah rendah dan menengah.
Dalam konteks sejarah,
misalnya, yang diajarkan di kelas hanya sejarah Belanda, seperti pelajaran vaderlandsche geschiedenis dan geschiedenis van Netherlandch-Indie
yang berisi sejarah peradaban Belanda, para pahlawannya dan bagaimana datang
ke Nusantara seraya membangun koloni.
Sejarah itu kemudian
ditransformasikan ke ruang-ruang publik melalui penamaan jalan dan taman di
Batavia juga kota lainnya.
Tak aneh begitu
Indonesia merdeka semangat mengganti sejarah gaya kolonial yang
Neerlandosentris kepada yang berorientasi nasional atau Indonesiasentris
menggema menyusul nama-nama jalan yang sebelumnya telah diubah.
Tokoh-tokoh sejarah
Indonesia ditampilkan untuk mengganti nama-nama pahlawan kolonial yang
dijadikan nama-nama jalan di Batavia. Nama jalan Jan Pieterzoon Coen menjadi
jalan Sultan Agung yang adalah musuh bebuyutannya.
Pahlawan Belanda dalam
perang Aceh yang diabadikan sebagai nama jalan van Heutzs diganti jalan Teuku
Umar dan Cut Mutiah.
Pahlawan Diponegoro
yang mengobar perang paling menguras kas negara Belanda dijadikan pengganti
nama jalan Orange Boulevard.
Akhirnya nama Batavia
yang digunakan Sekutu setelah Jepang kalah secara resmi oleh pemerintah RI
pada 1950 dipulihkan menjadi Jakarta lagi, seraya ditetapkan sebagai nama
resmi.
Jakarta kota baru
Jakarta bukan
kelanjutan Batavia. Jakarta kota baru. “Bahkan Jakarta harus jadi mercusuar
daripada perjuangan melawan kolonialisme seluruh umat manusia,” kata Sukarno.
Sebab itu Batavia
tidak cukup sekadar diganti namanya, tetapi juga dicarikan ulang tahunnya
yang menunjukkan sejarah perlawanan terhadap kolonialisme.
Selain itu, hari ulang
tahun Jakarta pun harus mencerminkan bahwa sebelum orang-orang Eropa datang
Jakarta telah menjadi poros kekuatan pribumi. Otomatis suara sejarah kota
bandar Kalapa, Sunda Kalapa dan Jayakarta pun menaik.
Para sejarawan dan
arkeolog mempublikasikan aneka sumber sejarah dan membukakan wawasan baru
sejarah serta peradaban besar pra Batavia.
Sekitar 85 tahun
sebelum orang Belanda tiba, telah menjelajah Tome Pires dari Portugis ke
pantai utara Jawa pada 1513. Pires melaporkan Kalapa adalah salah satu
pelabuhan terpenting Kerajaan Sunda.
Kalapa giat dalam
aktivitas perdagangan ekspor impor internasional. Sebab itu ramai dikunjungi
orang-orang India, Cina, Arab, dan kawasan Nusantara, terutama Maluku karena
urusan rempah. Kalapa dikelola dengan sistem ekonomi uang oleh suatu
pemerintahan lokal yang dipimpin syabandar.
Informasi dari Pires
itu dikuatkan sumber Sunda kuno,
Bujangga Manik, Carita Parahiyangan dan Sanghyang Siksakandang ing Karesian
dari tahun 1518.
Terlebih menarik pada
1539 ada lagi laporan Joae de Barros dari Portugis yang menyatakan bahwa di
Kerajaan Sunda yang memayungi pelabuhan Kalapa bermukim 50.000 orang.
Mengingat Kalapa
adalah pelabuhan terpenting dan terbesar, maka sejarawan RZ Leirissa dan
arkeolog Uka Tjandrasasmita memperkirakan dihuni oleh 15.000 orang.
Perkiraan ini bisa
diterima sebab ketika orang Belanda pertama kali tiba di Sunda Kalapa yang
sudah bernama Jayakarta pada 1596, mereka disambut syabandar dan dilihatlah
di kota pelabuhan itu ada 3.000 rumah.
Ulang tahun Jakarta
Sejarah besar itulah
yang ingin didengungkan dan merupakan tugas Gubernur Jakarta setiap ulang
tahun Jakarta dirayakan.
Adalah benar bahwa
tanggal dan bulan ulang tahun yang ditemukan oleh Prof. Dr. Sukanto itu
keliru serta dikritik oleh Prof. Dr. Hussein Djajadiningrat sehingga terjadi
polemik hebat, meskipun sayangnya kedua pendapat mereka juga kacau,
tetapi—seperti kata Adof Heuken dalam Historical
Sites of Jakarta—bagaimanapun Sudiro sebagai pemimpin Jakarta sudah
menang.
Sebab akhirnya Sudiro
mendapatkan hari ulang tahun pesanannya yang jauh dari penyakit Hollands denken. Otomatis ia punya
legitimasi historis mendesak Sukarno segera meresmikan Jakarta sebagai
ibukota Indonesia.
“Tunggu apa lagi Bung, Jakarta sudah punya syarat lengkap,” tantang Sudiro pada
1959 menjelang ulang tahun Jakarta di tengah ramai polemik pindah ibukota.
Kalau Jakarta adalah
wajah muka Indonesia, maka Jakarta punya lanskap daratan yang dibentengi
gunung-gunung di selatan lantas membujur ke utara dengan keluasan laut yang
ditaburi pulau-pulau sebagai wilayah dominan.
Ini gambaran wajah
muka Indonesia sebagai archipelagic
state atau negara laut utama. Dari laut, pantai, muara dan teluknya
Jakarta itu pula bangkit sejarah besar Sunda Kelapa yang tidak mungkin lagi
bisa diabaikan apalagi dilupakan.
Sukarno tidak
menjawab. Tak selang lama, dekat Sudiro selesai menjabat, Sukarno menyerahkan
secarik kertas kepadanya. Isinya tulisan tangan versi bahasa Indonesia pesan
Sukarno di gerbang akhir Museum Sejarah Perjuangan Nasional Mexico pada akhir
Mei 1959:
“Kita tidak meninggalkan sejarah oleh karena sejarah berjalan terus
dengan penghidupan kita.Tanah tumpah darah merupakan suatu kelanjutan dari
masa lalu dan kita adalah kelanjutan anak bangsa yang bekerja untuk
kebesarannya. Dari zaman lampau kita menerima kekuatan yang dibutuhkan untuk
zaman sekarang, dari zaman lampau kita kita menerima niat dan dorongan buat
hari depan, marilah kita menyadari tanggung jawab yang mengikuti dari masa
lalu itu, agar kita semakin patut menerima kehormatan.”
Setahun kemudian,
1961, dalam pidato ulang tahun Jakarta ke-434 di Lapangan Ikada, Sukarno
mengakhiri semua polemik yang dilakukan mulai dari politisi sampai ahli
kebatinan tentang pemindahan ibukota.
Ia menunaikan
permintaan Sudiro menyatakan perlu dibuat undang-undang yang mengukuhkan
Jakarta sebagai ibukota dan meningkatkan statusnya dari kota praja menjadi
provinsi yang dipimpin seorang gubernur.
Sukarno pun berpesan:
“Kau Gubernur Jakarta kenalilah sejarah Sunda Kelapa, Jayakarta
sehingga bisa kau ambil buah faedahnya untuk kita bangun kota kemenangan
sempurna. Itulah arti Jayakarta. Kota yang bermanfaat bagi semua. Seperti
pohon kelapa pada Sunda Kelapa berguna bagi semua. Jangan kau contoh Batavia
kota yang hanya megah bagi kaum uangnya, tidak bagi rakyat banyak, bahkan
mereka dicurigai. Kota kemenangan sempurna megah dalam segala arti, sampai di
dalam rumah-rumah kecil daripada marhaen di kota Jakarta harus ada
kemegahan.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar