Penyelamatan Mahkamah Agung
Ninik Rahayu ;
Anggota Ombudsman RI
|
MEDIA INDONESIA,
16 Juni 2016
SETELAH hampir dua minggu
berturut-turut media mengulas tentang Operasi Tangkap Tangan (OTT) insan MA
oleh KPK, lalu ditambah kehebohan seorang hakim agung yang mengusulkan
pemerintah mengeluarkan Perppu Penyelamatan MA. Apa sesungguhnya yang terjadi
dengan MA?
Dalam percakapan di salah satu
TV, si penggagas mengatakan memang sudah sangat memalukan, faktanya ada
turbulensi di tubuh MA.
Tentu ada beberapa hal yang
bisa diurai jika insan yang bergerak di dunia peradilan memiliki kehendak
untuk berbenah.
Pola maladministrasi
Sebelum berita OTT yang
dilakukan KPK terhadap petinggi di lingkungan MA, Ombudsman sebenarnya telah
menggelar informasi kepada publik terkait dengan hasil investigasi di
sembilan lembaga peradilan RI. Hasil own
motion investigation (OMI) 2015 memberikan informasi akurat, ditemukan
praktik `calo' perkara, bahkan di lingkungan kantor peradilan.
Calo yang beridentitas penegak
hukum ini terkait dengan kasus pendaftaran perkara, jadwal sidang, dan
pemberian salinan, serta petikan putusan. Tiga temuan besar OMI ini
didasarkan banyaknya pengaduan masyarakat ke Ombudsman. Pelaporan lainnya,
antara lain pelayanan berlarut terkait dengan pengiriman berkas perkara,
keterlambatan pemberian salinan putusan, dan ketidakjelasan jadwal sidang.
Kekuasaan hakim sebagaimana
diatur UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sesungguhnya memiliki
kekuasaan mahabesar. Hakim dalam menjalani proses peradilan sampai dengan
dihasilkannya putusan memiliki otoritas sangat tinggi, terutama ketika
persidangan dilakukan hakim tunggal. Hasil keputusan hakim tidak dapat
diganggu gugat kepada lembaga peradilan apa pun.
Pihak yang masih merasa belum
mendapat keadilan hanya diberi kesempatan melakukan proses banding, kasasi,
dan peninjauan kembali. Meski hakim memiliki status pejabat publik
sebagaimana pejabat publik lainnya, posisi hakim agak berbeda.
Jika hasil keputusan pejabat
publik lainnya dapat dimintakan pembatalan kepada lembaga lain, tidak dengan
keputusan hakim.
Putusan hakim punya sifat
‘benar’, bahkan ketika tidak sesuai dengan norma yang tersedia. Keyakinan
hakim menjadi dasar utama pengambilan keputusan. Artinya, hasil keputusan
hakim tidak dapat diganggu gugat dan tidak dapat dibatalkan lembaga publik
mana pun.
Masyarakat yang merasa
dirugikan harus menggunakan mekanisme dengan cara menggugat kembali melalui
banding, kasasi, atau PK masih dalam satu mekanisme yang sama, dan hakim
sebagai pejabat publik ‘seakan-akan’ tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
dengan keputusannya. Tidak ada satu pun alat untuk menjatuhkan sanksi pada
hakim yang melakukan ‘kesalahan’ terhadap putusannya karena hakim memiliki
kebebasan penuh dalam proses dan putusan yang diambil sepanjang sesuai dengan
prosedur.
Terkait materi hukum, ruang
kebebasan dan keyakinan itulah yang sering kali menjadi penyebab lahirnya
ketidakadilan bagi para pencari keadilan, dan baru terbongkar hanya melalui
mekanisme OTT oleh KPK atau Kejaksaan atau OMI oleh Ombudsman karena lembaga
ini memiliki mekanisme untuk itu.
Berbagai aturan vs perppu penyelamatan
Menarik untuk dipahami, apa
sesungguhnya maksud diusulkannya Perppu ini. Benarkah kebijakan ini yang
diperlukan? Penggagas bermaksud menyelamatkan MA terkait dengan `sistem
kepemimpinan' yang tidak berjalan, setidaknya itu yang terungkap di media.
Jika ini persoalannya, dari sisi normatif sebenarnya tidak sedikit aturan
yang telah mengaturnya.
Setidaknya, ada UU No 2/1986 tentang Peradilan Umum,
UU No 5/1986 tentang PTUN, UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer, UU No
30/2002 tentang KPK, UU No 5/ 2004 Perubahan atas UU No 14/1985 tentang MA,
UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No 8/2011 tentang MK, dan UU No
18/2011 tentang KY.
Bahkan, melalui Instruksi
Presiden No 15/1983, Keputusan Presiden No 31/1983 tentang Pembentukan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Instruksi Presiden No 1/1989
tentang Pedo man Pengawasan Melekat, di lingkungan MA ada satu unit setara
eselon I yang bertugas membantu Sekretaris MA melaksanakan pengawasan tugas
di lingkungan MA dan pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Lalu, bagaimana dengan Perppu
penyelamatan? Tidakkah secara substantif ruang lingkup kerja hakim dan insan
peradilan serta proses peradilan sesungguhnya sudah diatur dalam berbagai
perundang-undangan di atas.
Bahkan, temuan-temuan perilaku
hakim dan insan peradilan yang tidak sesuai prosedur sudah dikemukakan secara
langsung oleh berbagai institusi pengawas dan pengawal lembaga peradilan.
Akankah ini akibat dari
penyangkalan terhadap sesuatu yang sudah diyakini MA? Berbagai bentuk pelanggaran
yang bermula dari maladministrasi jajaran MA sering kali disangkal dengan
berbagai dalih.
Mungkin ada benarnya penyangkalan itu. Persoalannya kejadian
terus berulang. Tidakkah diperlukan review
sistemik di MA. Tidakkah ini bagian dari ‘pembiaran’ terhadap perilaku dan
sistem di MA yang salah. Misalnya, sampai dengan hari ini, meski MA mengaku
telah memberikan sanksi tegas kepada oknum yang berbuat salah, tetapi MA
enggan mengumumkan siapa yang melakukan, bentuk kesalahan, dan sanksi.
Rekomendasi
Pengaturan-pengaturan tersebut
secara langsung mengatur tentang peradilan dan perilaku hakim. Jika dari segi
kebijakan telah tersedia, yang ditunggu ialah political will dari para
penegak hukum. Adanya berbagai aturan tentu tidak dimaksudkan untuk sekadar
menjaga moralitas hukumnya saja atau bahkan sebagaimana yang dipersepsikan
oleh nilai-nilai khusus yang dikejar lembaga yang bersangkutan. Namun,
aturan-aturan dimaksud harus mampu membebaskan semata-mata demi kebebasan
dari peradilan dari keterpurukan.
Aturan hukum tidak sekadar
mengatur ruang lingkup tanggung jawab pejabat atau sekadar prosedur hukum.
Namun yang terpenting ialah bagaimana kepatuhan dan kepercayaan pada hukum
terjaga. Itu membutuhkan keterikatan perilaku penegak pada hukum
menjadikannya sebagai sistem yang utuh. Apakah itu artinya hakim bertindak
sebagai simbol dari hukum, lalu dianggap cukup? Tentu tidak karena jika hakim
hanya simbol dari hukum, peran para Hakim sangatlah statis dari ‘keteraturan
perilaku’ hukum.
Temuan dari berbagai lembaga pengawas
peradilan dan hakim, seperti KY, KPK, dan Ombudsman tentang berbagai
penyimpangan prosedur di peradilan yang berujung pada perbuatan
maladminsitrasi, unefi siensi birokrasi, dan korupsi, termasuk oleh hakim
rasanya tidak hanya sekali tetapi berulang dengan temuan yang sama. Maka,
hakim dalam perilakunya harus lebih responsif sehingga mampu mewujudkan
keadilan secara substantif.
Kejujuran dan ketaatan pada
prosedur hukum saja tidak akan mampu melahirkan keadilan substantif. Namun,
hakim dan prosedur peradilan harus melihatnya dari berbagai perspektif,
setidaknya melihat kondisi sosial yang ada. Hal ini agar pola pikir dan pola
tindak hakim serta institusi peradilan dapat bekerja secara kontekstual,
selain memantapkan keteraturan dan kejujuran prosedur.
Hakim dan prosedur peradilan
tidak hanya tunduk pada basis-basis hukum yang secara tertulis, tetapi juga
dibutuhkan daya kritis, nalar yang tajam serta rasional meski secara otonom
keyakinan menjadi basis putusan. Jika itu dapat dilakukan, terobosan-terobosan
baru akan lahir dan dapat membanggakan insan MA serta dunia peradilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar