Kelanjutan Proyek Infrastruktur dan
Keraguan Pembiayaannya
A Tony Prasetiantono ;
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
|
MEDIA INDONESIA,
13 Juni 2016
PRESIDEN Joko Widodo
memerintahkan agar proyek-proyek infrastruktur yang strategis yang selama ini
terbengkalai (mangkrak) harus segera dilanjutkan (Media Indonesia, 10/6). Pernyataan
itu tentu saja menyentak dan melegakan. Kita semua menanti realisasi
proyek-proyek tersebut, yang memang sangat diperlukan untuk mendorong
efisiensi nasional, terutama dari sisi biaya logistik, biaya distribusi, dan
seterusnya.
Namun, kita tidak
pernah tahu kapan semua itu bisa terwujud?
Di sisi lain, kita
juga tidak bisa menutup mata bahwa pemerintah saat ini sedang kesulitan fiskal.
Menteri Keuangan
sedang terbirit-birit untuk menutup kebutuhan belanja fiskal, yang tidak bisa
ditutup dengan penerimaan negara. Langkah penting amnesti pajak yang
diharapkan sudah mulai dilakukan sesudah Lebaran nanti pun belum menjamin
APBN kita selamat. Lalu bagaimana prospek infrastruktur mangkrak tersebut?
Saya kebetulan
mengikuti beberapa diskusi tentang pembangunan bandara baru Yogyakarta di
Kulon Progo yang sangat diperlukan karena bandara lama sudah terlalu
ketinggalan zaman dan tidak mampu menampung ledakan penumpang hingga saat ini
di atas 6 juta orang per tahun. Pada diskusi tahun lalu yang diinisasi Bank
Indonesia (BI), Gubernur BI Agus Martowardojo beserta beberapa stakeholders
dengan yakin mengatakan bahwa pembangunan bandara harus diakselerasi.
Karena kebutuhan yang
amat mendesak, pembangunan bandara ini harus segera dimulai (ground breaking)
pada 2016. Syukur bila bisa dilakukan pada pertengahan tahun. Ini lebih cepat
setahun daripada rencana semula.
Namun, ketika awal
Juni 2016 saya diundang diskusi bersama Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo dan
Dirut Angkasa Pura I Sulistyo Wimbo Gardjito, ternyata situasi masih jalan di
tempat. Bupati Hasto sudah sangat tidak sabar dan berharap agar ground
breaking segera dilakukan.
Namun, itu tampaknya
hanya seperti wishful thinking
karena faktanya pembebasan lahan belum beres. Inilah ganjalan yang paling
klasik.
Bahkan, Dirut Angkasa
Pura I mengungkapkan anggaran pembebasan lahan yang tiga tahun silam
ditetapkan Rp1,2 triliun sudah tidak relevan lagi. Angkanya sudah berlipat
tiga menjadi Rp3,7 triliun.
Dengan kata lain,
pelaksanaan pembangunan bandara tidak bisa cuma sulit dipercepat, tapi juga
sudah keburu diterjang masalah baru, yakni biaya pembebasan lahan yang
meroket. Padahal, bandara baru Yogyakarta ini juga mendapat perhatian khusus
dari Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Rini Soemarno sehingga diprioritaskan. Namun,
faktanya tetap lambat juga.
Jadi penyumbat
Ini bukan cerita baru.
Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng dulu biayanya
diperkirakan 'hanya' Rp4,7 triliun. Namun, berita terakhir, biayanya
diperkirakan mendekati Rp7 triliun. Itu pun dengan catatan bahwa terminal
baru ini belum disertai dengan penambahan landas pacu (runway) yang biayanya
pasti melesat kencang karena harus membebaskan tanah milik warga di sekitar
bandara.
Mungkin biaya runway
di Cengkareng tidak akan kalah besarnya dengan biasa lahan bandara di Kulon
Progo, sama-sama mahal dan fantastis.
Presiden Jokowi
bermaksud melanjutkan beberapa proyek strategis yang mangkrak, seperti PLTU
Batang (Jawa Tengah) senilai Rp56,7 triliun, lima tol senilai Rp48,8 triliun.
Lima tol itu meliputi Manado-Bitung (Sulawesi Utara) 39 kilometer,
Balikpapan-Samarinda (Kalimantan Timur) 99 kilometer, Malang-Pandaan (Jawa
Timur) 37 kilometer, dan Terbanggi Besar-Kayu Agung (Sumatera) 180 kilometer.
Belum lagi proyek
light rail transit (LRT) di Jakarta, Palembang, dan Bandung. Ini semua ingin
dilakukan serbacepat karena ada urgensi penyelenggaraan Asian Games di
Jakarta dan Palembang, misalnya.
Niat Presiden Jokowi
tersebut mendapat apresiasi di luar negeri.
Koran terkemuka The
Wall Street Journal (18 April 2016), misalnya, di halaman depan memuji hasrat
besar Indonesia untuk melakukan pembangunan besar-besaran. Mereka menganggap
itu akan menjadi momentum penting bagi perekonomian Indonesia untuk menarik
banyak investor asing dan menjadikan proses produksi menjadi lebih efisien.
Tiongkok ialah contoh
terbaik bagaimana sebuah negara berkembang 'ngebut' untuk tumbuh cepat,
bahkan double digit selama periode 2001-2008, karena mereka membangun secara
masif infrastruktur. Saya pikir Presiden Jokowi sudah berada di jalur yang
benar dalam hal ini. Infrastruktur sudah lama menjadi penyumbat (bottleneck)
pencapaian ekonomi yang lebih tinggi. Jika sumbatan ini bisa diterobos,
pertumbuhan ekonomi kita bisa dihela lebih cepat.
Namun, kita harus
berhati-hati dalam mengelolanya. Brasil tampaknya menjadi negara berkembang
terdepan di Amerika Latin yang ingin melakukan hal ini, mengikuti jejak
Tiongkok. Jika Tiongkok pernah menjadi tuan rumah Olimpiade dan Asian Games,
Brasil pun juga menjadi tuan rumah Piala Dunia (2014) dan Olimpiade (Agustus
2016).
Menjadi penyelenggara
kegiatan internasional seperti itu bisa dijadikan momentum untuk membangun
banyak fasilitas dan infrastruktur. Namun, pengalaman Brasil ternyata beda
dengan Tiongkok. Brasil kini sedang terjerembap masalah fiskal. Defisit
fiskalnya pada 2015 mencapai 10,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau
jauh dari ambang batas aman 2%-3%. Amat mungkin mereka juga sembrono
membiayai defisit APBN-nya dengan mencetak uang (printing money). Akibatnya, inflasi mencapai di atas 10%.
Tantangan besar
Pada 2016 saat
mestinya Brasil berpesta sebagai tuan rumah Olimpiade, yang terjadi justru
petaka fiskal, yang malah membuat Presiden Dilma Rousseff dilengserkan dari
kursinya. Ini sebuah ironi besar. Sebuah negara tuan rumah Olimpiade justru
malah sibuk bertikai urusan politik pelengseran Presiden.
Indonesia tentu saja
tidak seperti itu. Namun, gairah membangun infrastruktur secara besar-besaran
kini menghadapi tantangan besar dari sisi penerimaan APBN. Tahun lalu APBN
kita defisit 2,5%. Tahun ini pemerintah memutuskan untuk memangkas belanja
Rp50 triliun. Saya yakin memang masih ada pos-pos belanja yang bisa
dipangkas, seperti rapat-rapat dan perjalanan yang bisa dihemat. Namun, tetap
menjadi pertanyaan besar, apakah semua hal itu cukup untuk mengongkosi APBN
kita?
Berdasarkan kendala
yang ada, dua hal yang harus dilakukan pemerintah ialah memangkas pengeluaran
yang masih bisa dilakukan dan pemerintah harus memeriksa lagi anggaran apa
yang masih bisa dijadwalkan lagi.
Memang tidak mudah
untuk memangkas anggaran-anggraan tersebut. Saya bisa membayangkan betapa
gusarnya Presiden Jokowi yang ingin segera mengejar ketertinggalan
infrastruktur (listrik, bandara, pelabuhan, jalan tol, dan jalan raya yang
memecah isolasi kota-kota pegunungan di Papua). Namun, hambatan terbesarnya
ialah pembiayaan dan pernik-pernik teknis di lapangan.
Melesatnya harga tanah
untuk bandara baru di Yogyakarta ketika pemerintah sedang asyik merancang
pembangunannya merupakan contoh bahwa ternyata pemerintah belum juga berhasil
mengatasi isu pembebasan lahan. Padahal, kita sesungguhnya sudah mempunyai
peranti hukum yang menaunginya, yakni UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah untuk Kepentingan Umum. Dengan UU ini, proses negosiasi harga ada
tenggatnya, tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
Sesudah tenggat
dilalui, bisa dilakukan eksekusi pada titik harga berapakah terjadi
kesepakatan. Kita tunggu saja apakah UU ini benar-benar dapat efektif
mengawal eksekusi pembebasan lahan di lapangan, ataukah masih sebatas
'wacana'.
Dengan segala niat
baik berupa hasrat membangun infrastruktur besar-besaran yang sangat kita apresiasi,
Presiden Jokowi dan tim kabinetnya harus terus mewaspadai dan menentukan
proyek apa yang paling mendapatkan prioritas tertinggi dan mana yang berada
di urutan berikutnya. Kendala dana dan teknis di lapangan menjadi hal yang
harus diperhitungkan.
Terlebih lagi kita
harus ingat kondisi perekonomian kita tidaklah sebaik yang kita semula
bayangkan. Penurunan harga minyak memang menguntungkan kita. Namun, dampak
transmisi dan multiplier effect yang membuat lesu ke hampir seluruh sektor
perekonomian, seperti yang kini terjadi, sesungguhnya di luar ekspektasi
pemerintahan Presiden Jokowi.
Karena itu, mau tidak
mau kita harus pandai menyesuaikan diri pula dengan situasi ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar