Post-sekularisme dan Post-Islamisme
M Dawam Rahardjo ;
Direktur Lembaga Studi dan
Filsafat (LSAF), Jakarta
|
KOMPAS, 23 Juni 2016
Klarifikasi mengenai
gejala pasca sekularisme yang rumit telah ditulis oleh Frans Budi Hardiman
(Kompas, 7/6/2016). Diungkapkan bahwa Eropa yang mememasuki era itu tidak
berarti bahwa Eropa akan meninggalkan orde sekularisme dan kembali kepada
orde agama. Dengan kata lain, sekularisme sudah menjadi wacana final. Hanya
saja Eropa akan memperhatikan dan merespons aspirasi keagamaan, tetapi tetap
dalam kerangka sekularisme.
Sebenarnya pemikiran
semacam itu sudah ditulis sebagai teori John Rawls dalam bukunya, Political Liberalism (1993),
berdasarkan kerangka dasar kemasyarakatan
berkeadilan yang ditulisnya dalam The
Theory of Justice (1991). Liberalisme politik, menurut pengertiannya yang
berdasarkan tradisi teori kontrak sosial-sejak John Locke (1632-1704), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), dan
Immanuel Kant (1724-1804)-itu adalah sebuah gagasan mengenai tata kelola
masyarakat majemuk yang lestari dan berkelanjutan, berdasarkan prinsip
keadilan.
Menurut Rawls, guna
memelihara kebebasan politik, diperlukan pembendungan terhadap doktrin
komprehensif, seperti agama di ruang publik. Sebab, doktrin komprehensif cenderung
melakukan kolonisasi ruang publik dan menghentikan dialog, apabila sudah
berbicara mengenai iman. Karena itu, ruang publik politik harus dikelola
berdasarkan keadilan, yaitu harus diwujudkan melalui nalar moral dan nalar publik yang
memberikan kebebasan kepada setiap ekspresi dan artikulasi berbagai aspirasi
masyarakat yang pada dasarnya multi-identitas atau majemuk, di mana pun itu.
Namun, masalahnya,
pembendungan doktrin komprehensif itu sendiri sebenarnya bertentangan dengan
prinsip kebebasan dan keadilan. Karena itu, dalam perkembangan pemikiran
selanjutnya, Rawls menganjurkan, di satu pihak, pengelola ruang publik
tetap berpegang pada prinsip
keadilan sebagai fairness terhadap
doktrin komprehensif. Namun, di lain pihak ia juga menganjurkan agar doktrin
komprehensif itu diekspresikan atau
diartikulasikan dalam bentuk dan cara yang dapat dipahami dan diterima
berdasarkan nalar publik dan moral publik.
Integrasi sosial
Meski demikian, tata
kelola masyarakat yang majemuk memerlukan kesepakatan yang tumpang
tindih. Kesepakatan seperti itu,
melalui demokrasi deliberatif Habermas, menurut Hardiman, terkandung dalam Pancasila. Namun , menurut
Nurcholish Madjid, terdapat pula pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
kalimatun sawa atau titik temu
antardoktrin komprehensif dan agama
yang berkembang di Indonesia. Namun, Indonesia sendiri sebenarnya tidak mengalami orde
post-sekularisme karena Indonesia
hanya mengalami sekularisasi, tetapi belum menyepakati asas
sekularisme sebagai wacana final .
Sementara itu, menurut
Yudi Latif dalam bukunya, Tuhan Pun
Tidak Partisan: Melampaui Sekularisme dan Fundamentalisme (2013),
Indonesia telah mengalami sekularisasi, sebagaimana dianjurkan oleh
Nurcholish Madjid tahun 1970. Namun,
sekularisasi itu segera diikuti dengan
Islamisasi.
Sekularisasi
besar-besaran terjadi pada masa Orde Baru melalui kebijakan depolitisasi
terhadap gerakan Islam yang memuncak dengan ditetapkannya Pancasila sebagai
asas tunggal (1985). Sekularisasi itu tidak menyebabkan terbendungnya Islam
sebagai asas gerakan sosial. Artikulasi Islam sebagai doktrin
komprehensif tetap berkembang, bahkan
lebih kreatif dan canggih. Hanya saja
telah terjadi migrasi Islam dari ruang publik politik ke ruang publik budaya.
Dan, hal itu mengalami perkembangan pesat dengan terjadinya integrasi sosial
antara varian "abangan" dan
"santri" kategorisasi Clifford Geertz,
dengan gejala pembangunan masjid-masjid, tidak saja oleh masyarakat, tetapi juga
oleh negara, serta meningkatnya pelaksanaan syariat Islam.
Namun, proses
Islamisasi itu tidak juga berarti meninggalkan asas sekularisme.
Partai-partai Islam tetap meninggalkan Islamisme yang mencita-citakan
berdirinya negara Islam, bahkan juga tidak ingin menghidupkan lagi anak
kalimat "dengan melaksanakan
syariat Islam bagi para pemeluknya" dalam Piagam Jakarta.
Sungguh pun begitu,
kata kesepakatan yang pernah terjadi mengenai dasar negara-sebagai moderasi
asas sekularisme berasal dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959-yang menetapkan
bahwa "Piagam Jakarta merupakan bagian yang tak terpisahkan dan menjiwai
UUD 1945". Konsekuensinya, gerakan Islam masih punya peluang untuk
menerapkan hukum syariat Islam, tetapi melalui mekanisme demokrasi. Hal ini
terjadi dengan regulasi syariat Islam di bidang sosial-ekonomi, sebagai hukum
positif yang melahirkan, antara lain UU zakat, UU wakaf, dan UU keuangan
syariah, sehingga telah terjadi proses Islamisasi melalui obyektivikasi,
rasionalisasi, dan marketisasi dalam ruang demokrasi.
Gerakan politik
Itulah post-sekularisme
yang terjadi di Indonesia. Bentuknya adalah afirmasi terhadap penerimaan doktrin komprehensif, walaupun
tidak seutuhnya di ruang publik melalui pertimbangan nalar moral dan nalar
publik dalam proses demokrasi.
Gejala
"post-Islamisme" yang ditulis Asef Bayat (2007), cendekiawan
pengamat partisipan Revolusi Islam
Iran, yang sedang berlangsung
di Iran melalui Partai Republik, dan Mesir kontemporer melalui Partai
Ikhwanul Muslimin, menyerupai gejala
"post-sekularisme". Gejala yang sama sebenarnya juga sedang terjadi
di Turki awal abad ke-21 melalui Partai Keadilan dan Kesejahteraan (AKP) dan
Tunisia melalui Partai Ennahda.
Dalam gejala itu, partai yang beraspirasi Islam telah
bergerak meninggalkan Islamisme yang mencita-citakan berdirinya negara Islam
dengan menerapkan syariat Islam di
segala bidang kehidupan. Gerakan politik Islam tetap mengusung Islam
sebagai doktrin komprehensif dalam
pemikiran Rawls, tetapi melalui jalur demokrasi. Inti dari post-Islamisme,
menurut Bayat, sebenarnya adalah demokratisasi Islam, di mana aspirasi Islam
disalurkan dalam sistem multipartai.
Melalui pemilihan
umum, Ikhwanul Muslimin telah berhasil menaikkan pemimpinnya, Muhammad Mursi, sebagai presiden Mesir.
Namun, kesepakatan tumpang tindih (overlapping consensus) dalam konstitusi
tidak berhasil dicapai, sehingga menimbulkan kudeta militer yang sekuler.
Kejadian yang sama pernah dialami Partai Refah (Partai Kesejahteraan) Turki
di bawah Erbakan. Namun, karena AKP
tetap taat pada kesepakatan mengenai
sekularisme Ataturk, walaupun melunak, tidak lagi mengikuti model Perancis
yang keras dan ekstrem itu, kudeta militer yang sekuler tidak lagi terjadi.
Namun, AKP tetap
mengusung Islam sebagai doktrin komprehensif, tetapi dalam artikulasi yang
dapat diterima oleh publik yang
majemuk dalam frasa "Islam Euro" yang disebut oleh Bassam Tibi,
cendekiawan Muslim Jerman asal Suriah, dan Tariq Ramadan, cendekiawan Swiss
asal Mesir. Sementara itu, di Tunisia, liberalisme politik yang mengandung
kesepakatan tumpang tindih telah terjadi, sehingga Musim Semi Arab telah
berhasil di negeri yang semula menganut sosialisme Arab yang sekuler itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar