Selamat Datang
Pemimpin Kepolisian Berwajah Human
Lely Arrianie ;
Dosen Komunikasi Politik
Universitas Bengkulu;
Ketua Program Pascasarjana
Komunikasi Universitas Jayabaya, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
17 Juni 2016
KOMISARIS Jenderal Tito Karnavian
bakal menghadapi uji kelayakan dan kepatutan di DPR untuk menjadi pemimpin
tertinggi di Polri. Sudah seharusnya hal itu tidak boleh menisbikan hak
prerogatif presiden dalam menunjuk Kapolri. Sebagai kepala negara, presiden
sudah pasti tidak mengabaikan pertimbangan logis, politis, dan rasional
dengan cuma mengajukan satu kandidat.
Perdebatan soal patut dan layak
itu tidak boleh dikooptasi ke dalam isu yang tidak substantif, misalnya soal
umur yang terkait senior dan junior di tubuh kepolisian. Yang harus dibaca
ialah bagaimana Polri ke depan bisa ditempatkan dalam frame yang lebih human
di mata masyarakat. Di sisi lain, Polri harus menjadi lembaga yang ditakuti
kalangan yang bermain-main dengan kejahatan.
Wajah human
Pada 4 Juni 2016 sebuah media
daring memuat wawancara saya dengan judul `Pakar Komunikasi Politik ini
Prediksi Jokowi Tunjuk Tito Karnavian sebagai Kapolri', dan ternyata memantik
banyak argumentasi di kalangan pengamat dan media massa yang tampaknya masih
fokus pada peluang Budi Gunawan (BG) atau Budi Waseso (Buwas) yang paling
potensial menggantikan Badrodin Haiti. Itu semata-mata disebabkan faktor
senioritas.
Padahal, potensi kepemimpinan
di mana pun, termasuk di militer dan atau kepolisian, seharusnya tidak lagi
digagas atas dasar pertimbangan senioritas semata. Calon pemimpin itu harus
bisa menggerakkan roda organisasi, punya kemampuan komunikasi organisasi dan
sekaligus kemampuan komunikasi interpersonal baik komunikasi ke atas, ke
bawah, dan ke samping.
Itu semua dibutuhkan agar apa
pun kebijakan yang diputuskan tidak akan menimbulkan potensi konflik. Tentu
saja selain loyalitas dan integritas dia sebagai orang yang layak dan patut
untuk mengemban jabatan itu.
Tito ialah gambaran polisi
human. Meskipun nama BG dan Buwas juga populer, itu soal lain mengingat dua
nama itu, terutama BG, pernah menyisakan perdebatan panjang di kalangan elite
politik, petinggi negeri, hingga masyarakat di kedai-kedai kopi dan warung
pojok.
Pelantikan Badrodin dimulai
dengan kegaduhan yang, secara sengaja atau tidak, begitu menyita energi
publik. Sembilan puluh hari pemerintahan Jokowi saat itu dijejali kehebohan
luar biasa, pascapenangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto (BW) oleh
Bareskrim Mabes Polri (23 Januari 2013). Hal itu terjadi setelah BG
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Kepemimpinan Jokowi yang begitu
menuai harapan publik seolah terdegradasi oleh kasus perseteruan KPK dan
Polri yang dianggap sebagai perseteruan cecak-buaya jilid dua. Polri ketika
itu dianggap tengah `menguliti' KPK dan apresiasi publik pada korps baju
cokelat itu menjadi rendah. Fase gejolak kekisruhan Polri-KPK menjadi catatan
sejarah gagalnya BG menjadi petinggi di kepolisian.
Kini, pengajuan Tito Karnavian
ke DPR oleh Presiden Jokowi nyaris steril dari kisruh. Kapasitas Tito di
internal kepolisian dan integritasnya di tengah masyarakat yang low profile tampak begitu human. Sosok seperti itulah
menerbitkan harapan akan hadirnya polisi human yang begitu dirindukan
masyarakat. Tito harus mewujudkan harapan itu, di samping banyaknya persoalan
di masyarakat yang akhirnya menuntut kepolisian untuk bisa menanganinya,
termasuk soal keberagaman. menanganinya, termasuk soal keberagaman.
Keberagaman dan potensi konflik
Tidak ada persatuan tanpa kebinekaan
atau keberagaman karena keberagaman itulah kita membutuhkan persatuan. Tito
sudah pasti jadi Kapolri. Bukan Tidak ada persatuan tanpa kebinekaan atau
keberagaman karena keberagaman itulah kita membutuhkan persatuan. Tito sudah
pasti jadi Kapolri. Bukan hanya karena DPR memang harus memuluskan jalan Tito
sebagai figur pilihan Presiden, melainkan juga karena dia sesungguhnya bisa
menjadi jembatan terhadap masalah etnik, agama, dan perbedaan yang kadang
tidak substantif.
Semua potensi konflik yang muncul
atas nama keberagaman itulah yang menjadi beban dan sekaligus tanggung jawab
yang harus dicintai Tito untuk dijalankan.
Dengan melihat latar belakang
pendidikan dan sekaligus karier profesional yang dijalani Tito, wajar kiranya
kita berharap pada kemampuan dia untuk mengubah wajah kepolisian menjadi
lebih dekat dengan masyarakat agar keberagaman itu menjadi potensi membangun
bangsa.
Dengan gaya komunikasi yang
dimilikinya, Tito dapat melampaui harapan publik. Kasus kejahatan seksual,
kekerasan terhadap anak dan perempuan, narkoba dan terorisme seolah menjadi
masalah klasik. Terlebih menjelang pemilu serentak yang bukan mustahil bisa
memicu amuk massa selama masa kampanye.
Ada juga persoalan kekerasan
yang begitu lekat dengan ciri politik yang sangat kental. Teknik atau cara
kekerasan itu dilakukan kian canggih termasuk kekerasan yang bersifat tidak
langsung (indirect violence).
Tito juga akan menghadapi
banyak soal kekerasan yang mengarah kepada isu kekuasaan. Hal itu agar
kekuasaan seolah mengalami krisis legitimasi, tetapi tidak dalam bentuknya
yang riil atau formal prosedural, tetapi dalam tataran simbolis. Anehnya
justru pejabat dan petinggi negeri menjadikan berbagai persoalan sosial
kemasyarakatan itu seolah selesai saat dirapatkan, lalu melupakan tindakan
penanganan.
Nah, setumpuk soal yang bisa
menggelembung menjadi potensi konflik kemasyarakatan itu menjadikan
pertanyaan ‘mengapa Tito’ ini harus dijawab dengan kinerja yang
direalisasikan Tito Karnavian. Jadi, bukan sekadar soal mengapa Tito yang junior
itu dipilih di antara para seniornya yang begitu menginginkan jabatan itu.
Bukan soal apakah seorang Tito
dapat merangkul berbagai potensi yang mendukung atau internal kepolisian yang
diam-diam menolak pencalonannya. Bukan juga soal betapa layaknya Tito dengan
segudang prestasi, pendidikan, dan karier yang pernah ditempuhnya.
Akankah Tito memanfaatkan
momentum keterpilihannya menjadi Kapolri, sebagai sebuah ajang pamer atas
semua kinerja tim yang dipimpinnya? Akankah dia lalu menorehkan prasasti monumental
sebagai pemimpin yang sukses di jajarannya dan juga mengakar dan diapresiasi
masyarakat? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar