Antara Jokowi dan Tito
Arizka Warganegara ;
Dosen FISIP Universitas Lampung;
Kandidat Doktor di University of
Leeds, Inggris
|
MEDIA INDONESIA,
18 Juni 2016
DALAM tulisan ini saya ingin menilai Presiden Joko Widodo dan
Komisaris Jenderal Tito Karnavian dari spektrum politik kenegaraan yang lebih
luas dan 'lentur' terkait dengan penunjukan calon tunggal Kepala Kepolisian
Republik Indonesia dalam pendekatan hukum hak prerogatif konstitusional
presiden. Inilah keputusan politik terbaik Presiden Jokowi selama dua tahun
terakhir menjabat. Penunjukan Kepala Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT)
itu merupakan hal positif yang dilakukan Presiden Jokowi terlepas dari
beragam pandangan yang menyebutkan Tito dianggap masih terlalu junior dan
mengganggu' suasana internal karier kepolisian.
Menurut pengamatan saya pula, amat mungkin sosok Tito akan di-approve fraksi-fraksi di DPR. Jika ini
terjadi, kemungkinan Tito akan menjadi kapolri terlama jika tidak ada tsunami
politik di tengah jalan karena dia baru akan pensiun pada 2022. Sosok Tito
sudah tepat di-endorse Presiden Jokowi untuk menggantikan Jenderal Badrodin
Haiti, terlepas beragam rumor di balik tidak adanya pilihan calon kapolri
lain, yang relatif punya akseptabilitas publik yang baik. Rumor muncul
setelah 'diisukan' Badrodin tidak bersedia diperpanjang jabatannya atau soal
kontroversi publik terhadap dua kandidat kuat lainnya, Budi Gunawan dan Budi
Waseso.
Penunjukan Tito merupakan jalan tengah yang cukup masuk akal
bagi pemerintahan Jokowi-JK. Secara politik, setidaknya polemik soal kapolri
telah menyita energi pemerintahan dalam kurun dua tahun terakhir. Jika Tito
terpilih, setidaknya sampai dengan pemerintahan ini berakhir, institusi Polri
akan lebih steril dari dilema dan polemik panjang soal kursi Tribrata 1.
Pesan buat Polri dan Tito
Tito mempunyai rekam jejak internasional yang baik yang dimulai
dari sekolah, kursus, seminar, sampai dengan penanganan kasus kriminalitas
top level internasional. Termasuk soal keberhasilan dan kegemilangan Tito
mengendus dan mengungkap kejahatan internasional kelas kakap. Hal tersebut
secara langsung dari sudut pandang internasional juga akan menjadi advantage
bagi pemerintahan Jokowi-JK.
Memperoleh dua gelar S-2 (master) dari Inggris dan Selandia Baru
serta gelar doktoral dari Nanyang Technological University di Singapura
setidaknya membuktikan bahwa kapasitas intelektual Tito di atas rata-rata
perwira polisi lainnya. Tidak banyak anggota Polri yang memperoleh gelar
master dan Phd dari universitas terbaik di luar negeri. Setidaknya tradisi
itu sudah dimulai Tito dan mungkin juga Jokowi dengan tidak sengaja telah memulai
memberikan porsi jabatan terbaik untuk anggota Polri, yang punya pendidikan
terbaik.
Selama ini kita bisa lihat jarang sekali perwira aktif Polri
yang punya gelar doktor, apalagi dari universitas ternama dunia. Ini
merupakan kultur baru. Setidaknya jenderal yang doktor menjadi syarat 'tidak
resmi' kapolri selanjutnya sehingga dengan sendirinya akan berdampak pada
suasana kompetisi akademik internal yang baik di tubuh Polri.
Bayley (2001) dalam sebuah artikel Democratizing the Police Abroad: What to do and How to do it
memaparkan institusi polisi dituntut bisa memberikan pelayan terbaik bagi
setiap warga negara. Institusi ini juga dituntut bisa transparan dalam setiap
aktivitas.
Dua kata kunci dari Bayley soal pelayanan prima pada publik dan
transparansi ini, harus diakui selama ini masih menjadi kendala utama Polri.
Ini akan menjadi pekerjaan rumah utama Kapolri ke depan. Harapan ini juga
sebenarnya menjadi harapan Presiden Jokowi yang mengharapkan sosok kapolri ke
depan dapat meningkatkan kualitas dan kinerja institusi hukum tersebut.
Perbaikan kualitas
Untuk mewujudkan hal tersebut ada tiga hal utama yang harus
menjadi domain kerja kapolri dan jajarannya selama beberapa tahun ke depan.
Boleh dikata domain kerja ini kita anggap sebagai tantangan Polri secara
umum. Tantangan tersebut ialah; pertama, masih lemahnya sumber daya manusia
Polri, terutama soal kapasitas penjurusan seperti kualitas pemahaman akan
lalu lintas, forensik dan cyber crime.
Tidak ada kata lain, untuk meng-upgrade kualitas ini, Polri harus mengirim
para anggotanya sekolah di tempat-kampus terbaik dunia. Sebagai contoh Institute for Transport Studies di
Universitas Leeds adalah tempat terbaik untuk perwira polisi belajar
manajemen transportasi atau belajar mengenai forensic science di Universitas Strathclyde.
Saya mencatat, misalkan, hanya ada satu perwira Polri aktif saat
ini yang sedang mengenyam pendidikan doktoral di luar negeri, tepatnya di
Universitas Leeds, menurut saya sangat jauh dari harapan memperbaiki kualitas
anggota Polri secara umum. Merasakan sekolah di luar negeri seperti yang
pernah dirasakan Tito Karnavian setidaknya pengalaman harus juga dirasakan
para polisi muda sehingga ada sensasi need
for achievement yang lebih baik ke depan.
Tantangan kedua ialah soal kompleksitas masalah yang dihadapi
Polri ke depan. Setidaknya ada tiga tingkatan tantangan Polri, yaitu level
nasional, regional, dan internasional. Pada level nasional, misalnya,
memperbaiki citra kepolisian di masyarakat menjadi tantangan serius yang
hingga kini belum terselesaikan oleh Polri. Sangat penting meraih simpati dan
kepercayaan publik, apalagi di era keterbukaan informasi dan media sosial. Di
level regional dan internasional, persoalan pokok, tentu yang paling mencolok
ialah deradikalisasi terorisme dan beberapa isu trans national crime, misalnya, isu lingkungan seperti perambahan
kayu secara liar dan kebakaran hutan serta masalah yang terkait erat dengan human trafficking.
Pada akhirnya untuk mengatasi beragam hal tersebut, internal
kepolisian mesti solid, plus Presiden mesti menjauhkan institusi ini dari
hiruk pikuk kontestasi elite politik. Pengusulan Tito Karnavian menjadi
Kapolri ialah hal yang sudah tepat, setidaknya dengan kapasitas, kualitas
serta usia yang muda. Polri di bawah Tito kelak akan mempunyai ruang ekspresi
yang lebih simpatik dan elok. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar