Menyoal Anomali Impor Ikan
Muhamad Karim ;
Direktur Pusat Kajian
Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim; Dosen Agribisnis Universitas
Trilogi
|
MEDIA INDONESIA,
18 Juni 2016
TERJADINYA pembongkaran ikan impor asal China di Pelabuhan
Tanjung Priok pertengahan Juni 2016 menimbulkan tanda tanya besar bagi
publik. Pasalnya, pemerintah Indonesia lewat Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) mengklaim bahwa sumber daya ikan di perairan kita saat ini
melimpah ruah. Ini berlangsung pasca KKP memoratorium kapal ikan eks asing
dan transhipment di tengah laut, melarang penggunaan alat tangkap pukat hela
dan pukat tarik.
Ironisnya, ikan impor itu jenisnya tuna sirip kuning (Thunnus
albacores) dan tuna mata besar (Thunnus obesus) yang kerap ditangkap nelayan
di Indonesia. Mesti dicek, jangan sampai ikan impor asal China ini hasil illegal fishing di Indonesia yang
diangkut dari proses transhipment?
Muncul pertanyaan, mengapa keran impor dibuka? Beragam argumentasinya. Mulai
dari minimnya rantai pasok dingin dan kapal pengangkut ikan dari sentra
penangkapan ikan, hingga minimnya pasokan bahan baku industri perikanan. Apa
masalahnya demikian?
Kebijakan KKP
Soal kekurangan bahan baku berlangsung semenjak 2001 yang hanya
dipasok secara nasional 67%. Sisanya impor. Kebijakan KKP memoratorium kapal
ikan eks asing dan transhipment di tengah laut, melarang penggunaan alat
tangkap pukat hela dan pukat tarik dan lainnya, tak lain bertujuan menjaga
kedaulatan nasional atas sumber daya ikan. Menjamin keberlanjutannya sehingga
berujung mensejahterakan rakyat (terutama nelayan).
Imbasnya perikanan melimpah dan mengurangi ketergantungan impor.
Dampaknya; pertama, merosotnya kejahatan pencurian ikan di perairan Indonesia
dan ekspor ilegal yang merugikan negara triliunan rupiah. Kasus ekspor ilegal
saja dalam publikasi riset Pramod et all (2011) mencatat ekspor Indonesia ke
AS rata-rata setiap tahunnya mencapai 20%-30% dibandingkan yang resmi. Jenis
ikannya, tuna (20%-35%), kepiting (20%-45%) dan ikan kakap (35%-50%). Dapat
dibayangkan berapa kerugian negara dari kejahatan perikanan semacam ini. Baru
pada 2014, KKP mulai bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan perikanan ini
lewat penenggelaman kapal pencuri ikan.
Kedua, meningkatkan kelimpahan ikan pascamoratorium eks kapal
asing yang ditandai dengan membaiknya daerah penangkapan ikan. Faktanya, ikan
kian mendekati garis pantai dan memasuki perairan beberapa teluk, misalnya
ikan tuna kian mudah ditangkap nelayan di Teluk Ambon dan Teluk Tomini.
Bahkan hiu paus jenis ikan yang sensitif terhadap kondisi ekosistem
ekstrem--pun beruaya (migrasi) di Teluk Jakarta dan Teluk Ambon. Artinya,
secara teori biologi laut makanan ikan terutama plankton melimpah dan siklus
metabolisme alam di perairan mengalami pemulihan.
Amat berbeda dengan satu dekade sebelumnya, menemukan fenomena
semacam ini. Mengapa? Karena, perilaku ikan berupaya ke perairan pesisir,
memasuki teluk maupun selat untuk mencari makan dan bermigrasi dihadang
kapal-kapal ikan ilegal dan eks asing yang menangkapinya, termasuk yang
berukuran kecil.
Ketiga, porsi investasi domestik dalam bidang perikanan (PMDM)
dalam dua tahun terakhir berangsur-angsur meningkatsignifikan. Jika pada 2014
investasi PMA 94,21% turun menjadi 86,74%, sementara PMDN meningkat dari
6,79% pada 2014 menjadi 14,28% pada 2015 (BKPM/PK2PM, 2015). Artinya,
investasi domestik dalam bidang perikanan berkembang pesat.
Keempat, laporan Bank Indonesia 2015 mencatat bahwa pasokan
bahan baku perikanan cenderung meningkat semenjak berlakunya kebijakan KKP
awal 2015. Kala triwulan IV 2014, nilainya mencapai 81,84%. Lalu, memasuki
triwulan I 2015 anjlok jadi 61,75 %. Namun, memasuki triwulan II, III dan IV
melonjak signifikan masing-masing 76,93%, 74,44%, dan 74,50% (BI, 2015).
Berarti pasokan bahan baku industri perikanan sejatinya mencukupi. KKP
mencatat juga bahwa produksi perikanan pada 2015 terus meningkat dari
triwulan I (4,3 juta ton), triwulan II (9,20 juta ton) dan triwulan III
menjadi 15,35 juta ton) (KKP, 2015).
Kelima, neraca perdagangan sektor perikanan mengalami surplus
US$3,01 miliar tahun 2015. Sementara triwulan I 2016 sudah surplus
US$621.256.218. Artinya, kebijakan-kebijakan radikal KKP berdampak positif
bagi neraca perdagangan sektor perikanan sehingga mendongkrak kontribusi
PDB-nya terhadap PDB Nasional. Tercatat, triwulan III-2014 6,8% naik menjadi
8,37% pada triwulan III-2015 dan akhir 2015 mencapai 8,9% sehingga melampaui
rata-rata PDB nasional 2014-2015 (KKP, 2015).
Keenam, kebijakan KKP menurunkan ekspor ikan negara-negara ASEAN
yang kerap kali mencuri ikan di perairan Indonesia. Periode Januari-September
2015 ekspor tuna Thailand ke USA merosot 17,36% dan dari Pilipina 32,59%
dibandingkan periode yang sama 2014. Sebaliknya, ekspor Indonesia justru
meningkat drastis yaitu periode Januari-Agustus 2015 melonjak 7,73%
dibandingkan periode sama 2014 (US-Comtrade, 2015).
Ketujuh, meningkatnya persentasi stok sumber daya ikan di
wilayah pengelolaan perikanan (WPP), antara lain Selat Malaka dan Laut
Andaman (pelagis besar 19,61 % dan udang 25,16 %), Samudera Hindia Sumatra,
dan Selat Sunda (udang 69%), Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina
Selatan (pelagis besar 72,06% dan udang 11,44%). Lalu Samudra Hindia selatan
Jawa hingga selatan NTT, Laut sawu dan Laut Timor bagian barat (pelagis besar
9,28% dan udang 100%). Serta Teluk Aru, laut Arafura, dan Laut Timor bagian
utara (pelagis kecil 16,54%, dan udang 34,60%).
Merujuk fakta empiris di atas, membuktikan kebijakan KKP selama
ini berimbas signifikan dalam mengelola dan memulihkan sumber daya perikanan
secara berkelanjutan, hingga berkontribusi bagi perekonomian nasional.
Menjadi anomali di tengah membaiknya pengelolaan sumber daya ikan, tiba-tiba
pemerintah membuka keran impor ikan. Apakah data-data empiris ini benar
adanya atau hanya tertulis di atas kertas?
Langkah pemerintah
Langkah pemerintah lewat KKP dan Kementerien Perdagangan
(Kemendag) yang mesti dilakukan terkait kebijakan impor ikan, pertama,
memastikan betul akar masalah struktural dan kulturalnya yang membuat kran
impor dibuka saat ini. Apakah problemnya memang rantai pasok dingin
(logistik), minimnya kapal pengangkut ikan atau pasokan bahan baku industri
memang kurang? Ataukah, problem data supply
and demand ikan yang karut marut hingga akurasinya rendah.
Kedua, KKP dan instansi terkait mesti melacak, apakah ada problem
ekonomi politik yang beraroma mendelegitimasi kebijakan KKP hingga memaksanya
mengimpor ikan? Umpamanya, melacak market inteligent kita terkait data
ekspor-impor ikan. Sebab, jangan sampai keterpaksaan mengimpor ikan akibat
terlalu mengenjot ekspor yang secara konstitusional melanggar perintah UU
Perikanan No 45/2009. Sebab, UU ini memerintahkan untuk memprioritaskan
pemenuhan kebutuhan konsumsi nasional dahulu baru ekspor (Pasal 25B ayat 2).
Ketiga, dalam kasus ini, pemerintah (KKP dan Kemendag) memastikan
jenis ikan, asal negara, jumlah dan nilainya, serta batasan waktu membuka
kran impor hingga menutupnya kembali. Apakah kebijakan impor bersifat
inkremental atau selamanya? Jika KKP tidak melakukan langkah-langkah ini
secara objektif dan jujur, bakal menimbulkan polemik dan kegaduhan baru di
ruang publik yang mendelegitimasi kebijakan-kebijakannya yang sudah berada
pada rel yang tepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar