Jangan Permainkan Pendidikan
Daoed JOESOEF ;
Alumnus Université
Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
|
KOMPAS, 22 Juni 2016
Penjajahan selama 350
tahun oleh Belanda plus 3,5 tahun oleh Jepang ternyata sangat membekas buruk
dalam benak rata-rata orang Indonesia.
Setelah lebih dari 70
tahun merdeka, jangankan rakyat biasa, di kalangan tokoh pemimpin bahkan
masih kelihatan rasa minder pada segala sesuatu yang "asing". Yang
memprihatinkan adalah ide bahwa pendidikan universiter sebaiknya dipimpin
rektor asing supaya pendidikan tinggi Indonesia mampu bersaing di kelas
dunia. Dulu kita dikejutkan oleh niat pemerintah mendirikan "sekolah
menengah internasional", kini lahir ide tak kalah aneh mengenai
sanjungan pada "rektor asing".
Orang asing yang
menawarkan diri berkarya di negeri terbelakang, seperti Indonesia, karena dia
tidak laku di negerinya sendiri. Kalau dia memang ahli di bidangnya, dia akan
dipekerjakan oleh pemerintah atau masyarakatnya sendiri. Kalau ada orang
asing yang kelihatan "mampu" menduduki suatu jabatan internasional,
sekarang ini bukan lagi berdasarkan kapasitas kinerja dan reputasi akademis
pribadi, tetapi lebih banyak karena backing negaranya yang terkenal adikuasa
dalam percaturan politik dan ekonomi antarbangsa. Jadi, kemampuan bersaing
adalah fungsi dari banyak faktor. Hal ini juga berlaku, lebih-lebih, di
sektor swasta. Setelah kontraknya habis dan pulang kembali ke negeri asalnya,
dia baru menjadi "tenaga ahli". Sebelumnya di sini dia hanya
latihan untuk berkeahlian.
Ide persaingan itu
sendiri dikembangkan dalam term "globalisasi" oleh bangsa- bangsa
maju dalam teknologi. Globalisasi berasumsi rakyat dari semua bangsa
berpartisipasi secara proaktif dalam progres dari teknologi baru dan
berdasarkan kelebihan teknologisnya berhak mengeksploitasi sumber-sumber alam
di mana pun. Jadi, kita sudah diindoktrinasi mengakui kebenaran satu ide
ultra-liberal, yaitu mereka bebas bersaing dengan kita dalam memanfaatkan
kekayaan Ibu Pertiwi.
Adapun julukan
"kelas dunia" dari pendidikan tinggi sudah ada ukuran esensialnya,
yaitu kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kobaran semangat
ilmiah di kalangan para mahasiswanya. Dengan kata lain, universitas/institut
dipuji karena ia berhasil jadi pusat unggulan (centre of excellence) dari
ilmu pengetahuan dan anaknya, teknologi.
Genealogi ilmu pengetahuan
Harus diakui,
pendidikan tinggi Indonesia belum berhasil mengembangkan mahasiswa yang
terbaik dan yang terbaik dalam diri anak didiknya dalam penguasaan ilmu
pengetahuan, apalagi penghayatan semangat ilmiah. Kenyataan pahit ini
disebabkan pemahaman keliru dari para dosen tentang pengertian yang korek
dari ilmu pengetahuan, bukan oleh ketidakadaan rektor asing. Ilmu pengetahuan
bukanlah sembarang pengetahuan, melainkan pengetahuan yang terbentuk dalam
proses pembelajaran ilmiah, pengetahuan yang dibesarkan dan dipupuk oleh
integritas dan nilai serta semangat ilmiah.
Apabila bertepuk
membutuhkan dua telapak tangan, keberadaan ilmu pengetahuan memerlukan paling
sedikit dua pemikir. Ia tampil hanya dalam konteks komunikasi antara individu
yang menulis dan individu yang membaca, antara orang yang memakai idiom
keterpelajaran dalam mencatat observasinya dan orang yang menganggap
catatan-catatan tersebut cukup menarik. Ilmu pengetahuan modern memang diakui
sebagai bentuk kontemporer yang dominan dari communicable knowledge. Komunikasi yang sedang berlaku dari
pengetahuan ini merupakan suatu tradisi akademis yang biasa stagnan, keliru,
maju atau sangat maju.
Kemajuan ini
meniscayakan adanya satu cara pembelajaran yang khas karena tidak terjadi
begitu saja tanpa disengaja. Ia tidak bagai nova menyendiri di langit, kata
Prof Shigeru Nakayama, yang muncul dan kemudian tiba-tiba menghilang menurut
sekehendaknya.
Perkembangan
genealogis ilmu pengetahuan dapat digambarkan sebagai lapisan- lapisan fakta
dan kejadian. Inti dari lapisan ini berupa pembentukan teori ilmiah. Ia
tampil sebagai tabel-tabel kronologis dan catatan-catatan tentang invensi dan
penemuan. Inti awal ini langsung dilapisi oleh dunia pemikiran dan kegiatan
riset dari mana lahir teori-teori tadi. Di luar "sejarah intelektual
dari ilmu pengetahuan" ini terdapat lapisan ketiga berupa lingkungan
profesional dan vokasional di mana ilmuwan melaksanakan panggilan hidupnya
sehari-hari; kelompok riset dan kluster tempat dia bergabung, asosiasi
akademis di mana dia tergolong, universitas/institut dengan mana dia
berasosiasi. Lapisan ini bisa disebut infrastruktur akademis. Akhirnya ada
lapisan terluar, yang tak lain adalah masyarakat luas.
Lapisan-lapisan
pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmuwan perlu dikemukakan
di sini agar kita mengetahui kelalaian kita dalam membangun sistem
pembelajaran ilmu pengetahuan selama ini. Kita cenderung menganggap ada
hubungan langsung antara perkembangan teori yang diwakili oleh inti genealogi
keilmuan dengan masyarakat luas dan mengabaikan unsur-unsur antaranya. Dengan
demikian kita tidak menyadari bahwa pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan tidak dapat diwujudkan kecuali ada usaha-usaha khas yang relevan
dan serius untuk "menghidupkan" unsur-unsur tadi, lebih-lebih yang
disebut infrastruktur akademis.
Keseluruhan unsur
tersebut adalah "komunitas ilmiah", yang eksistensinya merupakan
basis sosial determinatif baik bagi penggeloraan semangat ilmiah di kalangan
sivitas akademis kampus ataupun bagi pemahaman yang benar dari masyarakat
luas pengguna ilmu pengetahuan tentang makna sejati dari kampus.
Genealogi ilmu
pengetahuan, berdasarkan natur dari subject matters yang dikajinya, menanggapi
pengetahuan ilmiah sebagai suatu "gejala sosial". Capaian
intelektual khas ini bukan produk suatu masyarakat khas, tetapi dari suatu
cara pembelajaran khas, yaitu membuat pengetahuan selaku komunikasi,
merupakan medium sosial di mana pengetahuan ini dipolakan, melalui mana ia
dikembangkan, dan dengan mana ia ditransmisikan di kalangan orang-orang yang
sama-sama terlibat dalam penyelidikan yang serius.
Komunitas ilmiah
Setiap komunitas
nasional terdiri atas berbagai subkomunitas: ilmiah, politik, bisnis,
religius, artistik, komunikasi, dan lain-lain. Semua subkomunitas itu
bukanlah berupa ruang hidup yang konkret, melainkan substansi yang abstrak
dan metafisis ala wacana sosiologis Durkhemian. Meski demikian, sejarah
peradaban dunia membuktikan bahwa kehadiran komunitas ilmiah ternyata sangat
menentukan progres kehidupan human karena ia adalah mindset yang menentukan
jenis sikap manusia. Jadi ia yang paling menentukan manusia menjadi lebih
layak (to be more). Maka, bila segala sesuatu berawal dalam pikiran, di dalam
pikiran itulah harus dibangun unsur-unsur progres yang diniscayakan bagi
human survival.
Justru komunitas
ilmiah ini yang relatif terlemah di antara komunitas lainnya,
terombang-ambing jadi permainan komunitas politik dan komunitas bisnis,
tereduksi hanya menjadi pemberi gelar Dr HC. Keadaan ini harus distop.
Pendidikan tinggi terpanggil untuk membangun dan mengembangkan komunitas
ilmiah karena ia adalah habitat yang diniscayakan oleh kehidupan keilmuan.
Tugas akademis ini
jelas tidak gampang. Ia memerlukan serangkaian organisasi yang relevan:
ikatan kesarjanaan, lembaga riset, perpustakaan umum, kegemaran membaca,
pembawaan kritis, dan lain-lain. Bila rangkaian organisasi itu terlaksana
sesuai yang diharapkan, ilmu pengetahuan tampil berupa pengorganisasian
pengetahuan yang lebih mampu menguasai potensi yang tersembunyi dalam alam.
Pengertian ilmiah dari ilmu pengetahuan ini sekaligus teoretis dan praktis,
tidak membuat garis tebal pemisah antara pengetahuan ilmiah dan
penggunaannya, antara lain murni dan ilmu terapan. Definisi tersebut mencakup
mulai kinetic theory of gases dan
telepon seluler hingga jalan layang dan jembatan gantung serta pasta gigi
yang mengandung obat.
Integritas ilmiah
Bersamaan upaya
pendidikan tinggi tersebut di atas, sivitas akademis diniscayakan menghayati
integritas ilmiah. Pertama, membiasakan diri menilai karya ilmiah sesama
dosen/ilmuwan berdasarkan preestablished impersonal criteria.
Kedua, pengetahuan
ilmiah terbuka untuk umum, dimasyarakatkan.
Ketiga, ilmuwan
melaksanakan tugas khusus warga andalan dari negara-bangsa di mana dia
tergolong.
Keempat, ilmuwan yang
juga berkarya di bidang pendidikan perlu bertemu secara berkala, lebih-lebih
di antara rekan dari disiplin ilmiah yang berbeda, bertukar pikiran.
Kelima, memenuhi tugas
ilmuwan selaku warga negara andalan, yaitu menilai ilmu yang ditekuninya
dengan asas-asas Pancasila. Ilmu pengetahuan memang tidak bebas nilai. There
is no such thing as a "value-free science", walaupun tugas utama
ilmu pengetahuan tetap menemukan explanatory truth, bisa diulang oleh orang
lain di tempat lain selama dalam kondisi yang sama.
Kehidupan kita memang
berada di tengah-tengah arus perubahan. Namun, perubahan ini tidak boleh
menyilaukan kita hingga kehilangan martabat. We may lose every thing but our
honour. Dan, usul menyerahkan pimpinan pendidikan tinggi kepada "rektor
asing" telah melecehkan martabat ini. Jangan main-main dengan pendidikan
sebab ia yang paling menentukan masa depan Indonesia. Para rektor Indonesia,
bangkitlah! Anda sudah dilecehkan oleh penguasa Anda sendiri. Ketahuilah
bahwa di masa penjajahan Belanda dulu, Willem Iskander, Moh Syafei, dan Ki
Hajar Dewantara sudah berani dan mampu membangun sistem pendidikan nasional
berhadapan dengan sistem pendidikan kolonial yang berlaku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar