Mengapa Sebaiknya Tito yang Menjadi Kapolri?
Adrianus Meliala ;
Kriminolog dan Guru Besar FISIP
UI;
Mantan Komisioner Kompolnas; Kini
Komisioner Ombudsman RI
|
MEDIA INDONESIA,
17 Juni 2016
TITO Karnavian memang sosok
fenomenal di Polri. Tidak ada perwira yang sejak berusia amat muda sudah
diramalkan bakal menjadi pimpinan Korps Bhayangkara. Itu bukanlah disebabkan
yang bersangkutan anak pejabat atau pengusaha kaya, melainkan lebih karena
intelektualitasnya.
Kemampuan intelektual itu yang lalu
membawanya meroket. Saat ia mampu menangkap beberapa pelaku kejahatan dan
membongkar aksi teroris, jelas diperlukan intelektualitas. Saat ia memenangi
hati masyarakat Papua dan DKI Jakarta, saat menjadi kapolda, juga diperlukan
intelektualitas, apalagi ketika ia meraih master of science dari Selandia
Baru, Doctor of Philosophy (Phd) dari Nanyang University, Singapura, serta
Penghargaan Seroja dari Lemhannas RI (selaku lulusan peringkat 1).
Sejatinya, pekerjaan
kepolisian, tempat Mohammad Tito Karnavian berkarier, memang institusi yang
sarat dengan komponen intelektual.
Masalahnya, ini yang
disayangkan. Banyak kegiatan kepolisian yang sudah dibungkus dengan praktik
rutin, kebiasaan turun-menurun, ataupun kultur kerja khas polisi, yang tidak
lagi membutuhkan intelektualitas dalam melakoninya. Satu contoh sederhana, di
kepolisian ternyata masih ada istilah TR alias telegram, mengacu ke surat
keputusan kapolri perihal penempatan atau mutasi personel polisi. Pada TR
tersebut, titik pun masih ditulis harafiah 'titik'.
Pertaruhan Tito
Dalam lingkungan seperti
itulah, kemampuan akademik level Phd yang disandang Tito lalu dipertaruhkan
untuk menjadikan Polri sebagai learning organization. Sebutan itu menunjuk
kualitas Polri yang mau dan mampu terus berubah seiring dengan perubahan di
sekelilingnya atau bahkan dalam dirinya.
Karena itu, terdapat 10 hal
yang perlu diubah dalam Polri dengan terlebih dahulu ditangani Kapolri yang
berijazah luar negeri ini. Ada kalanya sudah pernah didengar, ada kalanya
kalanya politis, tapi dengan semangat kebersamaan, Kapolri Tito bisa
menempuhnya. Tidak hanya itu, yang bersangkutan juga bisa membuatkan time line plus indikator capaian
masing-masing.
Hal-hal tersebut sebagai
berikut. Pertama, manajemen personalia (SDM). Manajemen SDM Polri termasuk
yang paling tradisional dan memungkinkan terjadinya KKN. Kedua, jauh sebelum
manajemen personalia, strategi SDM Polri pun perlu dibenahi. Jika selama ini
Polri terlalu berpola personnel-heavy, seiring dengan kemajuan teknologi,
Polri perlu mengubah diri menjadi technology
heavy. Dengan begitu, anggaran dapat dihemat dan direalokasikan untuk
belanja barang dan belanja modal.
Ketiga, masih terkait SDM,
yaitu urusan pendidikan dan latihan. Dewasa ini terdapat persepsi bahwa Polri
perlu memiliki semua lembaga pendidikan, mulai level akademi hingga program
doktor. Aktivitas itu upanya menyerap banyak anggaran, demikian pula sejumlah
personel, mulai bintara hingga jenderal. Namun, dapat dipastikan anggaran
yang diperlukan jauh lebih rendah apabila pendidikan Polri diserahkan ke
lembaga-lembaga di luar Polri.
Keempat, struktur organisasi
Polri yang gemuk juga perlu memperoleh perhatian Tito. Polri kini memiliki
260 perwira tinggi (pati) untuk tugas pokok dan fungsi yang tidak banyak
berubah jika dibandingkan dengan saat pati Polri masih berjumlah 80-an orang.
Kelima, oleh banyak kalangan dalam Polri, teknologi informasi dianggap
sebagai upaya membangun 'kerajaan' sendiri. Alih-alih terintegrasi, banyak
sekali satuan kerja dan satuan wilayah yang membuat laman sendiri-sendiri
secara independen.
Keenam, teknologi forensik
Polri kini ketinggalan zaman. Sama ketinggalannya ialah SDM alias ahli
forensik yang jumlahnya terbatas. Belum lagi struktur fungsi forensik yang
tersebar. Ada yang di bawah Bareskrim, ada yang langsung di bawah Kapolri,
ada pula yang di bawah bagian SDM.
Pengembangan teknologi
Ketujuh, teknologi yang
dibutuhkan kepolisian akan semakin mahal jika proses pengadaannya
berbelit-belit dan koruptif. Itu yang diduga kuat terjadi di kepolisian saat
ini. Banyak vendor yang malang-melintang di lingkungan Bagian Sarana
Prasarana (Sarpras) dan menyodorkan hal-hal yang sebenarnya tidak atau kurang
dibutuhkan kepolisian.
Kedelapan, setelah dibeli,
bagaimana dengan pemeliharaan (maintenance)
mulai teknologi hingga seluruh infrastruktur kepolisian. Sebagai organisasi
dengan aset bernilai puluhan triliun rupiah, tentu mereka perlu
mengalokasikan dana dan mekanisme pemeliharaan yang memadai. Namun, jika
tidak, dana itu hanya akan menjadi bancakan para anggota kepolisian sendiri.
Kesembilan, untuk konteks
operasional, perhatian Kapolri baru perlu diarahkan kepada fungsi reserse
kriminal. Sebenarnya, sudah cukup banyak ketentuan yang diberlakukan dalam
fungsi ini guna mencegah penyimpangan yang dilakukan para penyidik. Namun,
banyak dari mereka yang berintegritas rendah. Alih-alih menolong, mereka
malah menjadi pemeras tersangka.
Kesepuluh terkait dengan
konteks operasional, Kapolri baru perlu mendayagunakan fungsi intelijen.
Fungsi ini tertinggal dalam hampir seluruh aspeknya. Dewasa ini, ada atau
tidak ada fungsi intelijen, hampir tidak ada dampaknya. Menyangkut 10
(sepuluh) hal tersebut, kelihatannya hanya Tito yang menjanjikan
perubahannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar