Posisi Indonesia di Laut Tiongkok Selatan
Hikmahanto Juwana ;
Guru Besar Hukum Internasional
UI
|
KOMPAS, 23 Juni 2016
Indonesia sejak 1990
selalu memosisikan sebagai negara bukan pengklaim (non-claimant state) dalam konflik Laut Tiongkok Selatan.
Namun, dalam kurun
semester I-2016 terjadi tiga insiden kapal-kapal penangkap ikan tanpa izin
asal Tiongkok di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Insiden terbaru
terjadi pada Jumat (17/6), di mana 12 kapal nelayan berbendera Tiongkok
dikejar KRI Imam Bonjol.
Pemerintah Tiongkok
telah melancarkan protes. Bahkan, menurut versi Pemerintah Tiongkok, yang
dibantah oleh juru bicara TNI AL, dalam insiden tersebut seorang nelayan
mengalami luka-luka dan telah mendapatkan perawatan di rumah sakit di Tiongkok.
Tumpang tindih
Dari tiga insiden yang
terjadi jelas para nelayan asal Tiongkok memasuki wilayah ZEEI bukan secara
tidak sengaja. Bagi para nelayan tersebut, sebagian ZEEI dianggap wilayah
tradisional mereka untuk menangkap ikan.
Indikasi ini terlihat
dalam insiden kedua, di mana kapal nelayan Tiongkok berhasil dibawa ke
wilayah Indonesia. Pada kamar nakhoda kapal terdapat peta yang menunjukkan
sebagian ZEEI sebagai wilayah penangkapan ikan. Pemerintah Tiongkok pun mendukung peta para
nelayannya dengan mengistilahkannya sebagai traditional fishing ground. Dalam setiap protes atas tiga insiden
selalu disampaikan: para nelayan asal Tiongkok mempunyai hak melakukan
penangkapan ikan atas dasar konsep traditional
fishing ground.
Traditional fishing ground inilah yang menjadi dasar Tiongkok mengklaim
atas sembilan garis putus (nine dash
line). Protes diplomatik selalu dilayangkan Pemerintah Tiongkok saat para
nelayan mereka ditangkap. Bahkan, para nelayan ini mendapat
"perlindungan keamanan" atas aksinya oleh penjaga pantai
Tiongkok. Kapal penjaga pantai
Tiongkok selalu hadir dalam tiga insiden itu meski tidak secara frontal
berhadapan dengan kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan TNI AL.
Sembilan garis putus
merupakan salah satu pemicu konflik di Laut Tiongkok Selatan (LTS).
Sebenarnya ada dua pemicu lain yang lebih penting. Pertama, klaim Tiongkok
atas pulau- pulau Paracel dan Spratly beserta karang dan bebatuan. Bahkan,
belakangan, salah satu karang diubah menjadi pulau yang dapat didarati oleh
pesawat tempur.
Kedua, isu keamanan
bagi kebebasan pelayaran di jalur internasional. Dominasi Tiongkok di LTS
memunculkan kekhawatiran banyak negara yang tidak berada di kawasan, seperti
Amerika Serikat, Australia, dan Jepang, akan jaminan kebebasan pelayaran.
Sementara posisi
Indonesia sebagai negara bukan pengklaim di LTS didasarkan pada dua alasan.
Pertama, Indonesia bukan negara yang mengklaim pulau di LTS. Kedua, Indonesia
ingin memosisikan diri sebagai penengah yang jujur, baik untuk sengketa
kepemilikan maupun isu keamanan dan kebebasan pelayaran internasional.
Namun dalam konteks
sembilan garis putus berikut traditional
fishing ground, Indonesia harus memosisikan diri tidak menganggap ada
garis putus tersebut. Ini sesuai dengan pernyataan Presiden Joko Widodo saat
kunjungannya ke Jepang, Maret 2015, saat diwawancarai media setempat.
Presiden menyatakan klaim Tiongkok atas sembilan garis putus tidak memiliki
basis dalam hukum internasional.
Posisi Indonesia ini terlepas dari adanya tumpang tindih dengan klaim
sembilan garis putus Tiongkok.
Sebaliknya, Pemerintah
Tiongkok memosisikan diri untuk menafikan ZEEI di wilayah yang diklaim
sebagai traditional fishing ground. Buktinya, Pemerintah Tiongkok dalam
menyampaikan protes tidak pernah menggunakan Pasal 73 Ayat (2) UNCLOS. Pasal tersebut mewajibkan otoritas negara
pantai untuk mengembalikan segera kapal nelayan yang ditangkap dan
memulangkan awaknya setelah membayar uang jaminan. Untuk diketahui, Pasal 73
Ayat (2) UNCLOS berada di bawah Bagian V yang mengatur tentang ZEE.
Bagi Indonesia,
penangkapan kapal-kapal nelayan Tiongkok di ZEEI oleh kapal otoritas,
termasuk KKP dan TNI AL, selain untuk penegakan hukum juga untuk penegakan
hak berdaulat. Sementara protes oleh
Kementerian Luar Negeri RI pada setiap penangkapan kapal nelayan asal
Tiongkok adalah dalam rangka Indonesia tidak mengakui sembilan garis putus
berikut traditional fishing ground.
Indonesia sudah
sepatutnya memosisikan diri sebagai negara yang berkeberatan secara konsisten
atas okupasi Tiongkok berdasarkan sembilan garis putus. Bila tidak Tiongkok
akan mendalilkan sembilan garis putus telah diterima sebagai hukum kebiasaan
internasional.
Selama ini, baik
Indonesia maupun Tiongkok selalu menghindari diri untuk menyatakan secara
terbuka sengketa zona maritim di antara mereka. Mengapa? Bagi Indonesia, klaim sengketa zona maritim
dengan Tiongkok tidak dinyatakan karena dua alasan. Pertama, Indonesia tidak
mengakui adanya sembilan garis putus sebagaimana diklaim oleh Tiongkok. Kedua, Indonesia ingin menjaga posisinya
sebagai penengah yang jujur. Posisi ini tentu tidak bisa dan tidak boleh
dipertahankan ketika kepentingan Indonesia dirugikan.
Posisi sebagai
penengah yang jujur dapat dipertahankan sepanjang konflik di LTS berkaitan
dengan kepulauan, termasuk karang dan bebatuan lainnya, serta keamanan dan
jaminan kebebasan pelayaran internasional.
Bagi Tiongkok,
dihindarinya pernyataan secara terbuka karena sengketa batas maritim dengan
Indonesia akan merugikan posisinya di LTS. Saat ini hampir semua negara
kawasan dan negara yang memiliki kepentingan memusuhi Tiongkok. Meski memiliki status sebagai negara
hegemoni di kawasan, Tiongkok butuh sekutu, paling tidak negara yang netral.
Di sinilah peran Indonesia di mata Pemerintah Tiongkok, di samping negara
seperti Kamboja dan Laos.
Negara-negara seperti
ini dibutuhkan Tiongkok dalam menghadapi musuh-musuhnya di LTS. Semisal terkait pernyataan bersama Menteri
Luar Negeri ASEAN di Kunming, 14 Juni lalu, yang sedianya berisi tentang
konflik di LTS dapat dibatalkan. Rumor pun beredar, ini berkat Tiongkok mampu
memengaruhi Laos dan Kamboja untuk tidak menyetujuinya. Ketidaksetujuan ini
berarti menghalangi terjadinya konsensus yang dijunjung tinggi oleh ASEAN
dalam pengambilan keputusan.
Demikian pula di
Indonesia, Dubes Tiongkok untuk Indonesia tidak sungkan menerbitkan artikel
berisi posisi Pemerintah Tiongkok di harian Jakarta Post versi online-nya
yang dapat diakses oleh seluruh dunia. Dalam artikel tersebut, Dubes Tiongkok
mengimbau masyarakat internasional, termasuk Indonesia tentunya, berupaya
agar Filipina menghentikan gugatan melawan Tiongkok yang berlangsung di Permanent Court of Arbitration.
Rumusan
Presiden Joko Widodo
pada 13 Juni lalu memanggil Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan, yang
intinya agar Indonesia bisa merumuskan kebijakan luar negeri Indonesia
terkait sengketa di LTS. Rumusan itu nantinya menjadi pegangan bagi para
pejabat Indonesia agar memiliki pandangan yang sama.
Ada paling tidak tiga
rumusan penting yang harus direfleksikan dalam kebijakan luar negeri
Indonesia terkait sengketa di LTS.
Pertama, sesuai konstitusi, Indonesia selalu dan terus mengedepankan
perdamaian dan ketertiban dunia dalam konflik di LTS. Indonesia akan berperan aktif menginisiasi
dialog bagi negara- negara yang berkonflik. Indonesia pun akan melakukan
segala daya upaya untuk meredam perang dingin menjadi perang panas di LTS.
Kedua, Indonesia
menyatakan secara tegas tidak mengakui klaim Tiongkok atas sembilan garis putus.
Indonesia juga berharap agar dalam putusan Arbitrase Filipina melawan
Tiongkok, sembilan garis putus dinyatakan tidak sah berdasarkan UNCLOS.
Terakhir, ketiga,
Indonesia secara aktif mengimbau semua negara yang memiliki kepentingan di
LTS agar dapat menahan diri melakukan tindakan-tindakan yang tidak diinginkan
menjelang, saat, dan setelah arbitrase yang diajukan oleh Filipina membuat
putusan. Ini agar tidak terjadi eskalasi ketegangan di kawasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar