Perintah Presiden
M Subhan SD ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 23 Juni 2016
Pilihan Presiden Joko
Widodo atas Komisaris Jenderal (Pol) Tito Karnavian-Kepala BNPT-sebagai calon
tunggal Kapolri pengganti Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, seperti biasanya,
terus menjadi buah bibir. Bedanya, jika waktu-waktu sebelumnya pembicaraan
hampir selalu diwarnai polemik, kontroversi, atau penolakan; kali ini mulus.
Resistensi nyaris tidak ada. DPR pun bersuara bulat mendukung Tito.
Biasanya pergantian
Kapolri cuma tradisi rutin. Artinya jenderal-jenderal bintang tiga (komjen)
senior yang menduduki posisi-posisi strategis dianggap paling punya kans
menerima estafet kepemimpinan puncak Polri. Kalau logika dan kebiasaan itu
yang terus ditradisikan, Tito tentu tak masuk nominasi karena dianggap paling
"yunior" dibanding jenderal-jenderal lain yang lebih senior. Namun,
kategori yunior Tito itu sirna dikalahkan kapasitas Tito yang diakui banyak
kalangan.
Tidak mengherankan,
penunjukan calon Kapolri kali ini bisa dicatat sebagai sejarah baru. Presiden
Jokowi tampaknya ingin membangun tradisi baru yang lebih segar, bukan sekadar
ritual rutin. Kapolri bukanlah jatah buat para jenderal sebelum masa pensiun.
Selama ini, Kapolri memang dipilih di antara jenderal bintang tiga senior.
Meskipun di pundak Tito ada bintang tiga, ia dinilai paling yunior. Maka,
begitu ditunjuk Presiden, Tito pun melompati sekitar enam angkatan di
atasnya.
Tentu saja, Presiden
Jokowi tampaknya telah belajar dari pengalaman. Ketika menunjuk calon tunggal
Komjen Budi Gunawan untuk menggantikan Jenderal (Pol) Sutarman, awal tahun
2015, justru terjebak polemik berkepanjangan yang menguras energi bangsa.
Barangkali karena posisinya yang sangat strategis, setiap pergantian Kapolri
selalu menjadi berita besar dan membuat gaduh. Hampir selalu ada kepentingan
politik dan titipan partai politik. Sampai akhirnya, Wakil Kapolri Komjen
(Pol) Badrodin Haiti ditunjuk sebagai Kapolri.
Setelah tahun kedua
masa jabatannya, Presiden Jokowi mampu keluar dari kekisruhan rutin tersebut.
Tidak seperti tahun lalu saat Presiden begitu sulit keluar dari dekapan
parpol. Kini, Presiden Jokowi sudah makin leluasa. Walaupun pada awalnya
basis kekuasaan (power base) Jokowi kurang kuat, karena di PDI-P dianggap
sebagai "petugas partai", sekarang ini telah berubah drastis.
Pada awal
pemerintahannya tahun 2014, Presiden Jokowi ditopang PDI-P, Nasdem, PKB,
Hanura, dan PKPI yang dikenal dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Anehnya,
relasi politik Jokowi dan PDI-P justru terlihat kurang mesra. PPP kemudian
merapat ke Istana, PKS juga berkunjung ke Istana. Dan, kini posisi Presiden
Jokowi kian kuat setelah pentolan Koalisi Merah Putih (KMP), yaitu PAN dan
Golkar, mendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Golkar malah sudah mewacanakan
mendukung Jokowi pada 2019. Tidak ada lagi KIH. KMP pun mrotol satu per satu.
Sekarang yang gemuk adalah Koalisi Kerja Sama Partai Politik Pendukung
Pemerintah (KP4).
Dengan basis kekuasaan
terus menguat itu, langkah Presiden Jokowi pun kian mantap. Penunjukan Tito
bisa jadi contoh. Presiden bisa saja memberikan posisi untuk
jenderal-jenderal senior yang dilampaui Tito. Namun, pastinya tradisi
pergantian Kapolri sudah dijauhkan dari kepentingan politik. Dengan begitu,
Presiden Jokowi telah mengembalikan wibawa presiden yang punya kuasa dalam
penunjukan calon Kapolri. Dan, perintah Presiden Jokowi jelas agar Tito
menyuntikkan "darah segar" ke seluruh aliran darah di tubuh Polri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar