Masa Depan Perguruan Tinggi
Agus Suwignyo ;
Pedagog cum Sejarawan Fakultas
Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS, 21 Juni 2016
Pemuda/pemudi
Indonesia yang tengah menempuh pendidikan master dan doktor, di luar dan
dalam negeri, sungguh menumbuhkan rasa optimistis tentang masa depan
perguruan tinggi dan meningkatnya mutu sumber daya manusia kita secara
keseluruhan.
Mereka itu khususnya
para penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari
Pemerintah RI melalui Kementerian Keuangan. Jumlahnya hingga awal 2016
sekitar 5.000 orang. Beberapa yang studi doktor di Belanda dan Jerman sudah
di tahun ke-3 meskipun usianya baru 27-28 tahun. Kebanyakan yang di tingkat
master usianya 20 tahunan. Jika setelah master langsung melanjutkan ke
jenjang S-3, mereka juga akan menjadi doktor di usia sekitar 30 tahun.
Artinya, dalam waktu
tidak terlalu lama lagi Indonesia akan memiliki ribuan doktor baru setiap
tahun dengan rata-rata masa produktif keilmuan jauh lebih panjang daripada selama
ini. Di Asia, "panen-raya" SDM terdidik Indonesia nantinya hanya
kalah dari Tiongkok. Sejak 10 tahun terakhir, Pemerintah Tiongkok mengirimkan
pemuda/pemudinya studi keluar negeri, yang pada jenjang S-3 saja jumlahnya
sekitar 6.000 orang per tahun.
Bagi Indonesia, rasa
optimistis itu makin kuat karena orang-orang muda yang dibiayai negara itu
bukan tipe generasi laissez-faire.
Mereka tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai wahana mobilitas
vertikal individual. Juga bukan tipe "generasi tak-peduli" seperti
analisis pedagog Mochtar Buchori.
Dari obrolan dengan
sejumlah penerima beasiswa LPDP di Belanda dan Jerman, sangat terasa komitmen
dan kepedulian mereka terhadap pembangunan Indonesia. Aura kompetensi,
wawasan, ambisi, dan orientasi karier mereka menegaskan potensi kolektif yang
dahsyat bagi kemajuan Tanah Air di masa depan jika dikelola dengan baik
secara institusional.
Angin segar
Secara khusus,
kehadiran doktor-doktor muda itu merupakan angin segar bagi dunia perguruan
tinggi (PT) di Indonesia. Meski tak semua dari mereka akan/telah berstatus
dosen, penambahan secara signifikan jumlah doktor akan meningkatkan daya
kompetitif PT sebagai salah satu pilihan lapangan pekerjaan.
Sesuai UU Guru dan
Dosen, salah satu syarat menjadi dosen adalah berpendidikan minimal
S-2/master. Mereka yang berijazah doktor menikmati posisi istimewa karena
sampai sekarang masih tergolong langka. Hingga 2013, jumlah doktor di
Indonesia cuma sekitar 11 persen dari total 154.968 dosen tetap PT.
Di sisi lain, dosen-dosen
berijazah doktor itu banyak yang telah mendekati/melewati usia 50 tahun.
Produktivitasnya pun surut. Akibatnya, di berbagai tempat kita jumpai
dosen-dosen berijazah doktor, tetapi kinerjanya tidak berkontribusi terlalu
signifikan terhadap peningkatan daya saing PT-PT di Indonesia.
Dengan hadirnya ribuan
doktor muda beberapa tahun lagi, seleksi jadi dosen PT bisa makin ketat.
Seperti di Jerman, usia biologis seseorang, usia ijazah doktornya, serta
rata-rata jumlah publikasi berdasarkan perbandingan usia biologis dan usia
ijazah doktornya adalah faktor-faktor saling terkait yang menjadi dasar
pertimbangan dalam seleksi calon dosen. Tujuannya untuk memperoleh kandidat
dengan potensi, produktivitas, dan durasi masa kerja seoptimal mungkin.
Atmosfer akademik di
PT dipastikan juga semakin dinamis. Akan tiba saatnya ketika berijazah doktor
saja tidak cukup menjamin kualitas dan keahlian. Seorang doktor dituntut
punya riset-riset post-doktoral yang serius dan publikasi secara
berkelanjutan dan konsisten agar dapat bertahan secara keilmuan. Semua ini
niscaya menjadi atmosfer akademik dan praktik yang lumrah di PT-PT Indonesia
beberapa tahun ke depan.
Kepemimpinan kaum muda
Seluruh peluang
optimalisasi potensi kolektif para doktor muda akan hilang jika lapangan
pekerjaan, sistem karier, dan mekanisme imbal jasa di Indonesia kurang
kompetitif. Doktor-doktor kita akan mencari kesempatan yang lebih baik di
negara lain. Investasi pemerintah jadi sia-sia. Tantangan ini semakin besar
karena pasar bebas ASEAN dan Asia Pasifik memungkinkan migrasi sumber daya
manusia terdidik secara lebih terbuka.
Dunia PT sebagai salah
satu pilihan lapangan pekerjaan dapat kehilangan kesempatan dari kehadiran
doktor-doktor muda itu jika tidak segera melakukan pembenahan internal.
Selama ini yang dikeluhkan adalah minimnya fasilitas laboratorium,
perpustakaan, dan dana riset. Meskipun hal-hal ini krusial, saya kira akar
permasalahan ada pada stagnasi sistem dan iklim kerja akibat karakter
kepemimpinan PT yang secara umum tidak adaptif dan lambat merespons ide-ide
pembaruan.
Rata-rata kepemimpinan
PT di Indonesia saat ini berada di tangan kaum tua. Atmosfer akademik juga
ditentukan oleh sepak terjang politik kaum tua, yang memain-mainkan kekuasaan
apa pun yang tergenggam di lahan sempit birokrasi kampus. Kasus-kasus di
beberapa tempat menunjukkan semangat dan kemauan dosen-dosen muda untuk maju
dengan melakukan pengembangan riset dan aktivitas akademik yang serius sering
dihambat atau bahkan dimatikan oleh mentalitas birokratis atasan atau
seniornya sendiri, alih-alih diberi ruang, diarahkan, dan dibimbing.
"Tua" di
sini tidak hanya dari segi usia biologis, tetapi juga perspektif kepemimpinan
dan orientasi pengembangan ilmu. Kepemimpinan kaum tua bisa saja berisi
orang-orang relatif muda usia, tetapi produk kerja akademik, khususnya
risetnya yang terakhir sudah 5-10 tahun lalu, bahkan lebih. Di antara mereka
ada yang sama sekali tidak memiliki pengalaman keilmuan internasional di
bidangnya. Entah bagaimana PT-PT dengan profil kepemimpinan demikian
mewujudkan misi "menjadi perguruan tinggi riset yang diakui dunia"
yang telah beramai-ramai mereka rumuskan sendiri.
Kehadiran
doktor-doktor muda dengan semangat dan perspektif baru berpotensi merevolusi
stagnasi atmosfer akademik dan membawa pembaruan kinerja secara radikal.
Namun, hal ini mustahil terjadi jika paradigma kepemimpinan PT tidak diubah
agar siap menerima kehadiran, kiprah, dan dinamika kerja kaum muda.
Karena itu, alih-alih
mewacanakan impor rektor yang malah memicu reaksi bernuansa xenofobis dan
chauvinistik, Menristek dan Dikti Muhammad Nasir (dan juga Presiden Jokowi!)
lebih baik menyiapkan cetak biru paradigma baru kepemimpinan PT agar dijiwai
semangat dan sifat-sifat kaum muda. Di antaranya progresif-gesit, terbuka
pada perubahan, dan akomodatif terhadap kebutuhan dan pengembangan potensi
warga kampus. Selain itu, dengan 35 persen hak suara di tangannya pada
pemilihan rektor PT negeri di seluruh Indonesia, Menristek dan Dikti harus
mengembangkan di dalam dirinya paradigma baru kepemimpinan PT yang
berorientasi pada kaum muda.
Paradigma kepemimpinan
PT perlu dirombak agar PT-PT di Indonesia menjadi pilihan lapangan pekerjaan
yang menarik dan kompetitif bagi ribuan doktor baru yang segera kembali ke
Tanah Air dan siap berbakti. Jika doktor-doktor itu dikelola dengan
kepemimpinan yang dilandasi semangat dan jiwa zaman sehingga mereka punya
ruang untuk berkembang optimal, masa depan PT di Indonesia pasti cerah. Pada
saat itu, persoalan rendahnya peringkat PT dan minimnya publikasi ilmiah,
yang tanpa disadari telah menjadi dasar dan rujukan hampir semua kebijakan
strategis pengelolaan PT saat ini, akan terselesaikan dengan sendirinya oleh
kinerja dahsyat mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar