Ancaman Rektor Asing
Budi Santosa ;
Guru Besar Teknik Industri; Anggota Senat Akademik ITS
|
KOMPAS, 18 Juni 2016
Setelah ada rencana
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk mendatangkan profesor asing,
berikutnya ada wacana mengangkat orang asing menjadi rektor perguruan tinggi
negeri untuk mengangkat mutu pendidikan tinggi kita.
Lewat Menteri Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi, pemerintah
ingin merekrut orang asing untuk menjadi rektor PTN di Indonesia.
Rencana ini mengundang reaksi dari berbagai pihak. Perlu kita kaji apakah
rencana ini akan menjadi ancaman atau justru menjadi peluang?
Belum lama ini
Menristek Dikti Muhammad Nasir
mengatakan, Presiden mengarahkan agar pendidikan tinggi Indonesia itu mampu
bersaing di kelas dunia. Dia mengungkapkan, Tiongkok, Singapura, dan Arab
Saudi memakai orang asing untuk menjadi rektor.
Di satu sisi, rencana
yang menimbulkan pro-kontra ini menunjukkan kepedulian Presiden akan mutu
perguruan tinggi kita. Presiden tentu saja ingin melihat kualitas universitas
kita mampu bersaing dengan perguruan tinggi lain di dunia. Di sisi lain,
reaksi masyarakat yang begitu bersemangat
menunjukkan isu ini adalah hal penting untuk disikapi.
Berbagai kalangan,
seperti forum rektor, menganjurkan agar pemerintah berhati-hati dengan wacana
ini. Selain itu, dari kalangan forum rektor juga persoalannya tidak mudah
karena berkaitan dengan sistem birokrasi dan politik, ada kekhawatiran akan
persoalan nasionalisme. Ada juga anggota DPR yang keberatan dengan rencana ini
karena akan menampar harga diri
sebagai bangsa.
Rencana mendatangkan
orang asing menjadi rektor mendapat tanggapan yang lebih keras dibanding
ketika Ditjen Dikti merencanakan mendatangkan dosen asing. Ini bisa dipahami
karena rektor adalah penguasa tertinggi sebuah universitas. Bisa dibayangkan
sebuah kampus yang berisi orang-orang pintar, banyak kebijakan strategis yang
sering ditelurkan dari sana, punya banyak potensi penelitian, lalu dipimpin
oleh orang asing, Pasti akan ada keberatan atau penolakan. Belum lagi itu
akan menutup pintu kesempatan bagi akademisi yang punya kemampuan memimpin
untuk menempati jabatan tertinggi di kampus.
Berbeda dengan posisi
yang sering diduduki orang asing, dalam hal rektor ini kita mengundangnya
secara sadar dengan berbagai pertimbangan. Bukan dalam keadaan terpaksa.
Justru di sini menunjukkan apa yang dilakukan berbeda dengan sebelumnya,
mengundang tamu asing dengan sadar. Tentu dengan begitu kita bisa menetapkan
syarat, batasan, dan standar evaluasi kinerja yang jelas. Jika ternyata
mereka tidak memenuhi syarat dan juga tidak mencapai standar kinerja yang
ditentukan, bisa dihentikan.
Mestinya kita tak
perlu khawatir dengan rencana ini sejauh dijalankan dengan syarat dan
pertimbangan terukur, sehingga kekhawatiran akan adanya masalah nasionalisme
dan sejenisnya bisa dicegah. Namun, jika alasannya adalah tertutupnya karier
bagi akademisi untuk mencapai puncak karier di kampus, maka ini memang
ancaman.
Posisi rektor
Ada setidaknya dua
aliran besar di dunia pendidikan tinggi mengenai peran dan latar belakang
rektor. Di Asia, Eropa, dan Australia, rektor adalah karier akademis.
Sementara di AS dan Kanada rektor adalah jabatan manajerial.
Di kelompok pertama,
seorang rektor adalah akademisi yang meniti karier di perguruan tinggi. Di
berbagai negara, rektor diseleksi melalui lowongan terbuka. Semua orang yang
memenuhi syarat bisa melamar, termasuk dari luar universitas dan dari luar
negeri. Dari sini akan diseleksi yang paling baik sesuai syarat yang ditetapkan. Ini lebih
objektif. Sementara di Indonesia dan
Korea, misalnya, rektor dipilih melalui proses pemilihan yang melibatkan dosen, karyawan, dan bahkan mahasiswa.
Rektor harus dosen dari universitas yang bersangkutan. Rektor adalah jabatan
yang sedikit bersifat politis, ada faktor-faktor yang kurang terukur yang
ikut memengaruhi pemilihannya.
Proses pemilihan
rektor biasanya diadakan melalui proses
penyaringan di tingkat akar rumput, lalu hasilnya dipilih oleh senat.
Dari pilihan senat lalu ditambah
suara pemerintah untuk menentukan hasil akhir pilihan senat bisa
berbeda dengan hasil penyaringan di akar rumput. Dari yang diajukan senat,
pemerintah yang akan menentukan dengan hak suaranya. Jika senat tidak bulat
suaranya, maka pengaruh suara pemerintah
bisa menghasilkan rektor yang tidak sama dengan pilihan senat.
Di AS dan Kanada
rektor adalah manajer, bukan karier akademik. Untuk menjadi rektor tak
dituntut harus seorang akademisi dengan syarat pendidikan hingga S-3 dan
kepangkatan tertentu. Lebih diutamakan mereka yang punya kemampuan manajerial
untuk menghimpun dana, membangun jaringan, dan memobilisasi sumber daya.
Dari pengalaman
empirik, kedua aliran itu terbukti
bisa bersaing. Dengan caranya masing-masing, universitas di AS bisa mencapai
kemajuan pesat seperti halnya universitas di Eropa atau beberapa di Asia.
Jadi, mau pilihan yang gaya Asia dan Eropa atau AS, sama bagusnya.
Masalah yang sering
dihadapi PTN di Indonesia dengan pilihan model sekarang adalah sering terjadi
rektor terpilih bukan yang sesuai suara akar rumput. Dan, itu sering
menghabiskan energi para dosen dan mengganggu kinerja universitas. Peristiwa
ini hampir terulang setiap empat tahun sekali. Kadang terjadi permusuhan antar-kubu yang
bersaing dalam suatu universitas melibatkan alumni, bahkan partai politik.
Permusuhan antarkubu dalam pemilihan rektor tidak selesai setelah pemilihan
rektor usai. Ini sesuatu yang kontraproduktif dalam manajemen universitas.
Di samping itu, hampir
semua orang yang pernah menjadi pejabat di PTN-mulai ketua jurusan, dekan,
rektor, atau pejabat yang membidangi sumber daya manusia-mengeluhkan fakta
bahwa mutu sebagian besar tenaga
kependidikan non-dosen sebagai pendukung dalam menjalankan aktivitas
perguruan tinggi. Jumlah mereka terlalu banyak, dengan kualitas yang tak
memadai serta beban kerja yang sangat rendah. Ini adalah akibat perekrutan di
masa lalu yang cenderung mengabaikan sisi kualitas dan jumlah yang
diperlukan.
Kemampuan sebagian
besar tenaga kependidikan non-dosen yang rendah menyebabkan banyak beban dan
tugas mereka ditangani oleh para dosen. Dosen lagi-lagi kurang fokus pada
pekerjaan utamanya. Pimpinan PTN tahu kondisi ini dan tahu solusinya. Namun, ketika mengetahui kenyataan itu,
rektor dan para pembantunya tidak berani mengambil tindakan tegas. Sulit
bersikap tegas kalau sudah berhadapan dengan persoalan manusia, apalagi kalau
mereka dulu adalah pendukungnya dalam pemilihan rektor. Tentu masih banyak
masalah lain, seperti anggaran, fasilitas, sistem manajemen, dan birokrasi.
Tapi masalah SDM adalah yang utama.
Bukan soal kualitas
Tidak diragukan, dalam
hal kemampuan manajerial dan juga akademik, banyak orang kita yang mumpuni
untuk menjadi rektor. Namun, catatan selama ini, sulit bagi perguruan tinggi
kita menjadi world class university. Meski beberapa PTN sudah diberi status
PTN Badan Hukum (BH) dengan berbagai otonomi pengelolaan keuangan dan juga
SDM, masih sulit kita mencapai target menembus 500 besar dunia. Yang justru
sering muncul adalah PTN-BH merasa menjadi anak emas dan meminta dana lebih
dari pemerintah, tetapi belum disertai peningkatan mutu yang diharapkan.
Kemajuan universitas
memang tak semata ditentukan faktor pimpinannya. Faktor dosen, karyawan,
fasilitas pendidikan beserta dana juga
sangat menentukan. Jadi sebenarnya diskusi pengangkatan rektor asing itu baru
sebagian dari sekian persoalan di PTN, bukan segalanya.
Barangkali
pengangkatan orang asing sebagai rektor bisa jadi jalan keluar untuk
mengatasi berbagai masalah. Dengan budaya yang berbeda dengan budaya kita, di
mana mereka biasanya membawa nilai-nilai baru seperti lebih terbuka, mau
menerima kritik, bersikap objektif, disiplin dan tegas, diharapkan mampu
membuat perubahan. Terutama masalah-masalah yang berhubungan dengan manusia.
Selain itu, rektor
orang asing dengan cara pengangkatan khusus diharapkan memotong rantai
persoalan pemilihan rektor yang berlarut-larut di beberapa PTN. Orang asing
diharapkan lebih profesional dan objektif melihat persoalan karena tak ada
hubungan khusus dengan dosen, karyawan, ataupun utang budi politis dengan
berbagai pihak. Dengan demikian, dia
akan berani bertindak objektif tanpa melibatkan lebih banyak perasaan.
Langkah ini akan
melengkapi rencana Dikti mengundang profesor asing untuk bekerja di
universitas dalam negeri. Jika keduanya bisa diatur secara sinergis, langkah
ini diharapkan bisa mendongkrak mutu pendidikan tinggi kita. Di sisi lain,
pemerintah dipaksa memperbaiki sistem manajemen dan birokrasi, termasuk
penggajian di PT agar bisa mengakomodasi kedatangan orang asing ini. Sistem
manajemen dan birokrasi yang tidak PNS sentris, tetapi berorientasi pada
kinerja dan mutu, bisa dikembangkan. Ini juga akan memaksa pemerintah
memperbaiki standar gaji dosen dan rektor, mengikuti persaingan di tingkat
internasional. Kalau tidak begitu, tawaran ini akan kurang menarik bagi mereka
yang berkualitas.
Untuk tahap awal bisa
dicoba satu-dua orang asing untuk memimpin PTN. Di sana, setelah beberapa
waktu, bisa kita melihat impaknya. Kalau ternyata berhasil, bisa diperluas
atau menjadi model bagi PTN lain atau rektor lain. Kalau sebaliknya atau sama
saja, maka cukup bukti bahwa masalahnya bukan sekadar faktor pimpinan. Jadi,
rencana mendatangkan rektor asing adalah lebih sebagai peluang menaikkan
kualitas pendidikan tinggi kita daripada ancaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar