Senin, 29 Februari 2016

Wanita Cantik Bernama Umberto Eco

Wanita Cantik Bernama Umberto Eco

Bre Redana ;   Penulis Kolom “CATATAN MINGGU” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 28 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dengan meninggalnya Umberto Eco (1932-2016), yang saya bayangkan adalah nasib era perbukuan. Selain filosof, ahli semiotik, novelis, siapa lagikah pencinta sekaligus kolektor buku sekaliber almarhum? Mudah-mudahan, bagi yang menempatkan "buku sebagai agama", seperti diungkapkan Jean-Philippe de Tonnac dalam percakapannya dengan Jean-Claude Carriere dan Umberto Eco: This is Not the End of the Book.

Pada buku yang terbit pertama tahun 2009 itu, De Tonnac melakukan wawancara luas dan mendalam dengan subyek khusus buku terhadap keduanya, yang merupakan kolektor buku-buku langka dan dianggap punya pengalaman khusus terhadap buku. Melalui keduanya hendak diungkap kodrat buku sejak ditemukannya manuskrip pertama pada sekitar abad ke-11 SM atau jauh sebelumnya lagi, sejak ditemukannya gulungan papirus.

Khusus menyangkut Eco, ia adalah kolektor buku amat langka, terutama buku-buku yang berhubungan dengan kekeliruan manusia, kesalahan, kepalsuan, keanehan, serta ilmu-ilmu supranatural. Melalui kekeliruan dan kedunguan manusia itulah ia coba menciptakan teori tentang kebenaran alias truth.

"Saya terpesona dengan kekeliruan (error), kesyirikan (bad faith), dan kesintingan (idiocy)," ungkap Eco.

Koleksinya termasuk "incunabula"-sebutan untuk buku-buku yang lahir pada seputar ditemukannya mesin cetak sekitar abad ke-15. Eco menceritakan rumahnya di Milan. Ia bertetangga dengan orang yang seperti dirinya, memiliki perpustakaan buku-buku langka. Mereka pernah saling mencocokkan untuk memperlihatkan kelangkaan koleksi masing-masing. Ternyata keduanya sama-sama memiliki buku sangat langka dan dianggap terindah di dunia, Hypnerotomachia Poliphili. Kopi ketiga buku itu dimiliki perpustakaan terkenal di Italia, Castello Sforzesco, yang kebetulan letaknya di sudut jalan dekat rumah Eco.

"Kami tertawa," kata Eco. "Ternyata kawasan kecil tempat kami tinggal merupakan konsentrasi tertinggi Hypnerotomachia di jagat."

Hubungan Eco dengan dunia buku tecermin dalam seluruh karyanya, baik berupa esai, artikel, maupun novel. Semuanya sangat ensiklopedik. Ingat novel The Name of the Rose, yang disebut para pemikir sebagai bagian dari gagrag anyar post-modernisme. Sejarah buku dihidupkan di situ, sampai kemudian bagaimana sivilisasi terbentuk.

Atau The Island of the Day Before, yang diakui Eco mendapatkan inspirasinya dari diabaikannya puisi-puisi Barok pada paruh pertama abad ke-20 dalam kurikulum pendidikan di Italia. Begitupun The Limits of Interpretation. Buku ini berhubungan dengan kegandrungan Eco terhadap dunia gadungan dan kepalsuan. Belum lagi kalau kita simak On Beauty, On Ugliness, On Literature, dan lain-lain. Mustahil buku-buku tersebut lahir tanpa dukungan perpustakaan raksasa.

Keluasan referensi dalam seluruh karya Eco, termasuk masuknya mitologi-mitologi, kadang membuat novel-novel Eco tidak gampang diikuti. Untuk hal ini, Eco mengaku pernah ditanya seorang pembaca, bagaimana novel-novelnya yang sulit dimengerti bisa menjadi buku laris di dunia dan dicintai banyak orang. Pertanyaan ini membuatnya kesal. Ia menyebut, itu sama saja pertanyaan terhadap wanita cantik, mengapa semua lelaki jatuh cinta klepek-klepek terhadapnya.

Saya sendiri pernah berbincang dengan konsul Italia yang riang di Bali mengenai karya-karya Eco. Saya katakan kepadanya, terus terang saya sering kesulitan mengikuti novel Eco. Sambil tertawa, sang konsul memberi tips: Jangan terlalu serius. Ikutilah seperti Anda mendengar legenda atau ketika Anda nonton wayang.

Seketika saya tersadar pada tradisi yang menghidupi berbagai kelompok kebudayaan. Ya, saya sering mendengar siaran wayang kulit semalam suntuk, sembari terkantuk-kantuk, timbul tenggelam antara tidur dan jaga.

Begitulah saya menikmati karya-karya Eco sekarang. Buku-bukunya saya baca berulang-ulang, seperti menikmati wayang. Sebagaimana wanita cantik, ditengok berulang kali, selalu muncul sudut-sudutnya yang memesona.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar