Senin, 22 Februari 2016

Inteligensia Indonesia

Inteligensia Indonesia

Ignas Kleden  ;   Sosiolog
                                                     KOMPAS, 19 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam pengertian yang disederhanakan, inteligensia adalah kaum terpelajar dan terdidik yang berperan sebagai ujung tombak perubahan dan pembaruan masyarakatnya.

Di pihak lain, kita mendapati kaum literati yang berperan sebagai benteng pertahanan nilai, norma, dan perilaku budaya. Mereka ini terpanggil merawat dan melestarikan nilai-nilai dan bentuk kebudayaan, khususnya dalam seni dan sastra, menurut pakem-pakem yang berlaku dalam tradisi. Sebaliknya, kaum inteligensia merasa terpanggil untuk menerobos batas-batas tradisi demi menjajaki kemungkinan lain yang diperlukan untuk memperbarui tradisi sebagai prasyarat bagi pembentukan masyarakat baru.

Ketika Sutan Takdir Alisjahbana (STA) berpolemik dengan guru-guru bahasa Melayu yang merasa harus setia kepada paramasastra Melayu, sementara STA membuka kemungkinan baru dalam pemakaian bahasa Indonesia, maka di sana terjadi polemik antara inteligensia dan literati. Sama halnya dalam debat dengan lawan-lawannya dalam Polemik Kebudayaan, dia bertindak sebagai inteligensia yang menganjurkan pembentukan kebudayaan Indonesia baru berdasarkan etos kebudayaan Barat, sambil mendesak agar kebudayaan lama dalam tradisi ditinggalkan saja sebagai kebudayaan pre-Indonesia. Sikap ini jelas memancing reaksi para literati yang melihat pentingnya tradisi dalam kebudayaan Indonesia,  baik karena tradisi itu sudah berfungsi selama ratusan tahun maupun karena kebudayaan Barat memperlihatkan berbagai ekses yang dapat merugikan kebudayaan Indonesia.

STA hanya salah satu contoh. Kebangkitan gerakan kebangsaan di Hindia Belanda sejak dasawarsa pertama abad ke-20 telah digerakkan para inteligensia. Para Ibu dan Bapak Bangsa, seperti Kartini, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Cokroaminoto, Haji Agus Salim, ataupun Sam Ratulangi adalah kaum inteligensia yang lahir dari pendidikan Barat hasil Politik Etis pemerintah kolonial, yang kemudian mengambil jarak dari tradisi politik kolonial yang intinya menciptakan rust en orde, yaitu ketenangan dan ketertiban di seluruh koloni. Dengan segala cara, kaum inteligensia berusaha membuka mata bangsanya bahwa ideal masyarakat yang tenang dan tertib hanya opium yang membuat orang tak sadar lagi tentang demikian banyak penderitaan, ketidakadilan, pemerasan, dan kehinaan yang diterima begitu saja oleh penduduk pribumi, yang merasa harus ikut bertanggung jawab atas terciptanya ketenangan dan ketertiban.

Diperlihatkan diskriminasi dan ketidakadilan yang terwujud dalam berbagai sektor. Di bidang sosial diciptakan diskriminasi rasial dalam pembagian kerja antara penduduk Eropa, penduduk Timur Asing, dan penduduk pribumi, sementara orang banyak dibius dalam diskriminasi ini melalui penamaan ilmiah yang keren, seperti ethnically stratified division of labor atau pembagian kerja berdasarkan stratifikasi etnik. Dalam ekonomi diperkenalkan dualisme ekonomi, dengan penjelasan bahwa ekonomi kolonial yang berorientasi ekspor harus dipisahkan dari ekonomi penduduk yang subsisten, yang menjamin ketenangan penduduk di pedesaan, karena ekonomi pasar tidak boleh mengganggu kerukunan hidup penduduk.

Dalam bidang bahasa diciptakan diskriminasi linguistik. Pribumi, khususnya anak-anak bangsawan lokal, diberi kesempatan belajar bahasa Belanda, tetapi dalam pergaulan sehari-hari penduduk setempat dilarang bicara Belanda dengan tuan-tuan Belanda, dan hanya boleh mempergunakan bahasa Melayu pasar, seakan bahasa Belanda terlalu mulia dipergunakan oleh para inlander. Dalam bidang politik dilancarkan secara gencar politik pecah-belah atau divide et impera melalui konflik dan persaingan yang direkayasa dan didorong antara para raja di berbagai kerajaan Nusantara, dan antara para bangsawan dan rakyat jelata. Pendidikan dibatasi hanya untuk anak-anak bangsawan atau para pejabat pribumi yang bergaji cukup, sementara patriarki dalam tradisi kebudayaan lokal diperkuat dengan membatasi pendidikan kaum perempuan.

Kesadaran kebangsaan

Kesimpulan para inteligensia kita: semua ketidakadilan, diskriminasi, penderitaan, dan kehinaan itu telah lahir dari satu kenyataan yang sama, yaitu hilangnya hak-hak suatu bangsa untuk menentukan dan mengatur dirinya sendiri, dan menggantungkan nasibnya pada kekuasaan bangsa lain. Perlahan lahir kesadaran kebangsaan. Ahli politik Ben Anderson menjadi masyhur di antara ahli ilmu sosial di seluruh dunia dengan definisinya tentang bangsa sebagai komunitas politik yang hanya terbayangkan karena sebagian besar anggotanya tak pernah bertemu dan tak saling mengenal, tetapi sama-sama merasa anggota suatu komunitas politik yang sama. Namun,  jauh sebelumnya, Soekarno bertolak dari paham lain dan berpegang pada definisi Otto Bauer: eine Nation ist eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft.

Soekarno menegaskan, bangsa lahir dari persatuan nasib yang membawa persatuan perangai. Betapa pun menariknya  argumen akademis dan teoretis yang diajukan Ben Anderson, suatu bangsa yang sedang bergolak tak dapat dikobarkan semangatnya jika kepada mereka dimaklumkan bangsa adalah an imagined political community. Dalam pengertian Soekarno, suatu bangsa tak lahir dari bayangan tentang suatu komunitas politik, tetapi  dari pengalaman tentang penderitaan yang sama, nasib sama, yang akhirnya menghasilkan perangai sama disertai tekad sama.

Lahir kemudian berbagai inisiatif untuk pembebasan sekaligus dibangun kesadaran nasionalis tentang hak suatu bangsa untuk mengatur dirinya sendiri, dan dengan cara itu menciptakan martabatnya di antara bangsa-bangsa lain di dunia sebagai bangsa dan negara merdeka. Hatta dan Sjahrir memberikan kursus-kursus untuk mendidik kader agar menguasai kepandaian teknis dan administratif sehingga para kader ini kelak sanggup mengambil alih administrasi pemerintahan dari tangan administrator kolonial. Soekarno, lewat pidato-pidatonya yang gempar, menekankan perlunya persatuan semua golongan sebagai sarana melumpuhkan tipu muslihat adu domba yang memecah-belah, dan sekaligus mengerahkan massa rakyat untuk bersatu padu dalam machtsvorming (pembentukan kekuatan politik).

Kartini, lewat surat-suratnya, membuka pintu emansipasi bagi kaum perempuan dan mendorong pendidikan untuk mereka. Tan Malaka mendirikan sekolah untuk anak-anak buruh perkebunan dan mengajarkan bahwa tenaga kerja buruh adalah faktor produksi yang sama penting dengan modal tuan-tuan besar pemilik perkebunan sehingga mereka harus berani dan sanggup membela tenaga kerja mereka berdasar asas keadilan menurut hukum berlaku. Cokroaminoto dan Agus Salim mendidik umat bahwa Islam memuliakan persamaan dan keadilan dan dapat jadi tempat perlindungan bagi mereka yang terdiskriminasi dan tertindas, sementara agama adalah ruang suci yang tak bisa diterobos oleh kekuatan asing.

Tentu saja tak dapat dikatakan, kaum inteligensia Indonesia 1930-1940-an adalah satu-satunya pihak yang membawa Indonesia kepada kemerdekaan. Ada begitu banyak golongan yang terlibat dalam perjuangan itu: para pemuda revolusioner, pemimpin agama, para saudagar, khususnya saudagar Islam yang terorganisasi dalam Serikat Dagang Islam, para pejuang gerilya, serta para buruh dan tani. Namun, kaum inteligensia  telah memberikan inspirasi pertama tentang kebangsaan dan kemerdekaan, dan memimpin perjuangan sepanjang jalan. Merekalah yang membuka mata rakyatnya terhadap perlunya kemerdekaan politik, kemerdekaan budaya, kemerdekaan ekonomi, kemerdekaan linguistis, serta kemerdekaan dalam pertahanan dan keamanan. Jenderal Sudirman adalah seorang guru, seorang inteligensia, yang kemudian bersinar sebagai idola bagi perjuangan bersenjata.

Apa dan siapa kaum inteligensia

Tak semua intelektual dan akademisi berperan sebagai inteligensia. Kelompok Mandarin dalam kekaisaran Tiongkok klasik adalah intelektual yang terdidik dan terpelajar secara literer dan humanistis. Mereka punya pengetahuan mendalam tentang sastra dan kebudayaan, tetapi pengetahuan ini menjadi prasyarat agar mereka diterima dalam salah satu dari sembilan tingkat kepegawaian dalam birokrasi Tiongkok klasik. Mereka berperan sebagai literati, tetapi bukan inteligensia.

Dalam sejarah intelektual di Barat, di bawah pengaruh zaman Romantik, dengan Rousseau di Perancis sebagai eksponen utama, muncul kelompok yang bukan saja melepaskan diri dari rasionalisme masa Pencerahan, tetapi juga dari basis sosial borjuasi baru, dan menjadi apa yang oleh sosiolog Karl Mannheim dinamakan sozial freischwebende Intellektuelle yang diterjemahkannya sendiri ke bahasa Inggris sebagai socially unattached intellectuals atau yang boleh kita namakan free-floating intellectuals. Mereka bukanlah intelektual organik dalam pengertian Gramsci, yaitu mereka yang merumuskan aspirasi kelasnya dan menjadi juru bicara kelas.

Inteligensia yang muncul di masa Romantik hidup dengan pandangan dunia yang romantis dalam kondisi ekonomis labil. Secara intelektual, mereka tak utamakan pengetahuan sistematis yang tersusun rapi tentang keadaan masyarakatnya, tetapi mengimpikan dan mendorong orang ke suatu susunan masyarakat lain yang baru. Untuk mereka, sikap romantis suatu kekuatan. Mannheim mengutip Novalis penyair Jerman yang hidup akhir abad ke-18 dan mewujudkan semangat romantik dalam sajak-sajaknya. Kata Novalis, "Bersikap dan berlaku romantis tak lain dari meningkatkan potensi seseorang secara kualitatif. Diri yang rendah diidentifikasikan sebagai diri yang lebih baik dalam sikap ini.. Karena tatkala melihat nilai yang tinggi dalam sesuatu yang banal, memberi wibawa yang penuh rahasia kepada  pada yang remeh temeh, menemukan martabat dari sesuatu yang tak dikenal dalam apa yang dikenal, dan memandang yang fana seolah-olah suatu yang abadi, maka saya bertindak romantis."

Intelektual yang berperan sebagai inteligensia tak jadi tawanan masa sekarang, tetapi jadi perintis masa depan. Mengutip filosof Ernst Bloch, mereka bukanlah orang yang menikmati dan mempertahankan apa yang ada, tetapi mengambil risiko mewujudkan yang belum ada. Ini bukan ideal khayali. Soekarno tak membangun kantor kontraktor bangunan, tetapi menceburkan diri dalam usaha pembangunan lain yang bernama nation building. Agus Salim sebagai polyglot yang mendekati genius, tak mendirikan sekolah bahasa asing atau jadi juru bahasa tingkat tinggi, tetapi bergiat sebagai pejuang yang mencerdaskan rakyat melalui berbagai tulisan. Hatta tak menyewakan tenaganya sebagai konsultan ekonomi, atau bankir, tetapi memberi pendidikan untuk koperasi bagi rakyat, dan bersama Sjahrir mendidik para kader politik. Sam Ratulangi tak melamar jadi guru besar matematika, tetapi memimpin perjuangan politik di daerah.

Semua ini dikatakan tak untuk menafikan pentingnya profesionalisme, kepandaian teknis, atau keahlian para spesialis bagi kemajuan bangsa. Namun, perlu diingat kembali, Indonesia tak akan bangkit berdiri sebagai bangsa dan negara kalau kaum yang paling terpelajar dan terdidik pada suatu masa yang genting tak mengutamakan kemajuan diri mereka dan mantapnya basis ekonomi dan sosial yang dimungkinkan untuk mereka berkat keahlian yang dikuasai, tetapi memilih menjadi freschwebende Intellektuelle seperti kata sosiolog Mannheim, dan mencoba  jadi inteligensia yang berenang dan mengambang di antara beberapa kemungkinan yang sempit, memperkenalkan ide baru tentang kebangsaan dan kemerdekaan, yang untuk bangsanya sendiri pada saat itu, barangkali merupakan gagasan asing yang dianggap hanya menggantang asap. 

Dalam lintasan sejarah modern Indonesia, para inteligensia pada awal abad ke-20 adalah mereka yang terlibat dalam perjuangan politik dengan menjadi penggagas nasionalisme dan kemungkinan untuk merdeka. Pada tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan, mereka merelakan diri menjadi statesmen, yaitu negarawan yang memimpin bangsa dan negaranya, hidup dalam kehidupan ekonomi serba compang-camping bersama rakyatnya dan membangun kepercayaan diri bangsanya untuk tegak berdiri. Pada zaman Demokrasi Terpimpin dan sesudahnya, mereka jadi kelompok yang berjuang dalam partai-partai politik yang yakin bahwa ideologi masing-masing adalah jalan terbaik membawa Indonesia menuju kemajuan.

Pada masa Orde Baru, kaum terpelajar amat dibutuhkan oleh administrasi pemerintahan Soeharto dan diserap dalam administrasi pemerintahan Orde Baru. Ideologi dianggap momok yang menghalangi pembangunan ekonomi. Pembangunan diterjemahkan jadi teknokrasi, ibarat mesin yang tiap bagiannya harus dijalankan oleh masing-masing insinyur berijazah khusus. Pada masa reformasi, kaum terpelajar memilih di antara tiga kemungkinan tersedia, jadi bagian dari administrasi pemerintahan, bergabung dengan kekuatan politik dalam parpol, atau mencari basis sosial dalam dunia industri dan bisnis sebagai tenaga ahli atau konsultan yang dibayar mahal. Inteligensia adalah bagian sejarah lahirnya suatu bangsa dan negara merdeka. Peran ini tak boleh hilang karena orang enggan hidup dengan mengambil risiko labilnya basis sosial-ekonomi yang jadi zona nyaman untuk hidupnya sendiri. Peran ini layak dipertahankan agar kita tak mengulang teriakan dan ratapan bangsa Jerman setelah kalah Perang Dunia II dengan menyanyikan elegi baru bagi negeri ini, noch ist Indonesien nicht verloren, Indonesia belum kalah  dan belum  hilang lenyap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar