Senin, 29 Februari 2016

Revolusi Rakyat

Revolusi Rakyat

Trias Kuncahyono ;   Penulis Kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 28 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 1986. Sebagai wartawan muda, memperoleh kesempatan meliput pemilu di Filipina yang ternyata berujung pada revolusi rakyat sungguh sebuah kemewahan. Apalagi inilah pengalaman pertama pergi ke luar negeri, yang tidak terbayangkan sebelumnya.


Tidak hanya sebuah kemewahan—meliput pemilu presiden di Filipina itu— tetapi juga kehormatan. Siapa sangka bahwa pemilu itu berujung revolusi. Revolusi sering diartikan sebagai perubahan radikal, transformatif. Sebagai sebuah proses sejarah, ”revolusi” menunjuk pada sebuah gerakan, sering kali dengan kekerasan, menyingkirkan rezim lama dan berakibat terjadi perubahan menyeluruh dalam institusi fundamental masyarakat (Laura Neitzel).

Setelah Revolusi Perancis pada abad ke-18, yang mendongkel monarki dan berusaha mengubah lagi masyarakat dari atas ke bawah, revolusi menjadi searti dengan perubahan radikal terhadap masa lalu. Modernitas, banyak yang meyakini, hanya dapat dicapai melalui transformasi dengan kekerasan dan total.

Banyak revolusi yang terjadi sepanjang abad ke-20, terinspirasi oleh Revolusi Rusia (1917) yang dipimpin Vladimir Lenin. Yang dilakukan Lenin didasarkan pada buah pikiran kaum Marxis yang melihat revolusi sebagai produk kekuatan sejarah yang tidak dapat ditahan, yang berpuncak pada pertarungan antara kaum borjuis dan proletar. Menurut Crane Brinton (1952), revolusi di Perancis dan Rusia diikuti perubahan politik, sosial, dan ekonomi.

Apa yang terjadi di Rusia itu menginspirasi gerakan anti kolonial dan revolusi kaum nasionalis, seperti yang dilakukan Sun Yat-sen di Tiongkok dan Ho Chi Minh di Vietnam.

Revolusi Iran (1979) menyodorkan model lain lagi. Revolusi Islam ini berusaha melakukan transformasi radikal terhadap negara dan masyarakat yang telah dicemari oleh budaya dan nilai-nilai Barat serta kehidupan sekuler. Revolusi Iran menempatkan kaum nasionalis dan nilai-nilai Islam di pusat pemerintahan dan masyarakat.

Sampai di sini terbaca ada beberapa tipe revolusi. Samuel Huntington mengklarifikasi ada empat kategori revolusi: perang internal, kudeta revolusioner, kudeta perbaikan, dan revolusi istana. Menurut Huntington, revolusi Kemal Ataturk di Turki bisa disebut sebagai kudeta revolusioner; sementara kudeta di Argentina (1955) digolongkan sebagai kudeta perbaikan

Di Turki, ”Young Turk” melakukan revisi komplet terhadap otoritas politik yang mengarah pada penumbangan Kekhalifahan Ottoman dan menggantikannya dengan mendirikan sebuah republik. Sementara itu, di Argentina, revolusi terhadap Peron bertujuan untuk mereformasi kesalahurusan Peron terhadap ekonomi dan ketidakpuasan kekuatan politik utama, yang berujung pada perlawanan terhadap eksekutif politik yang opresif.

Yang terjadi di Filipina, 30 tahun silam, rasanya berbeda lagi. Revolusi EDSA—begitu biasa disebut karena penumpukan massa terjadi di Epifanio de los Santos Avenue, jalan di Quezon City, Metro Manila—adalah revolusi rakyat. Revolusi rakyat dukungan Gereja dan militer. Revolusi tak berdarah yang mengubah wajah Filipina. Revolusi yang menumbangkan seorang diktator yang selama lebih dari dua puluh tahun menjadi penguasa tunggal di Filipina, Ferdinand Marcos, yang menjabat sebagai presiden sejak 30 Desember 1965 hingga 25 Februari 1986.

Revolusi itu dimulai 22 Februari hingga 25 Februari 1986, Revolusi Filipina 1986, atau Revolusi Kuning (menunjuk pada warna kuning dari kaus, baju, dan rompi, juga topi yang digunakan para penentang Presiden Ferdinand Marcos). Aksi damai selama empat hari yang dilakukan oleh jutaan rakyat Filipina di Metro Manila berakhir dengan tumbangnya Presiden Ferdinand Marcos dan tampilnya Ny Corazon Aquino sebagai Presiden Filipina.

Inilah yang kemudian disebut sebagai Revolusi Kekuatan Rakyat (People Power Revolution). Kekuatan Rakyat adalah sebuah bentuk kesadaran. Kekuatan Rakyat adalah sebuah eufemisme untuk kekuasaan rakyat banyak atau lebih persisnya hukum rimba (mob rule). Kekuatan Rakyat adalah tentang perbaikan ”institusi moralitas yang tak kelihatan” (Peter Ackerman dan Jack Duvall). Dan istilah tersebut—Kekuatan Rakyat—diciptakan di Filipina untuk menggambarkan tumpahnya ke jalan-jalan rakyat yang melawan Ferdinand Marcos.

Jadi benar yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, bahwa rakyat bisa mengubah jalan negara mereka. ”Bahkan, orang yang sangat kuat sekali pun tidak dapat memerintah tanpa kerja sama dengan yang diperintah (rakyat),” kata Mahatma Gandhi.

Banyak contoh tentang hal itu. Pada tahun 1980, Gerakan Solidaritas (kaum buruh) di Polandia melakukan pemogokan untuk memaksa agar rezim komunis yang berkuasa mengizinkan berdirinya serikat buruh bebas. Ditekan oleh puluhan juta buruh, akhirnya Presiden Wojciech Jaruzelski takluk. Solidaritas menang.

Dari tahun 1985 hingga 1990, Front Demokratik Bersatu di Afrika Selatan memboikot dan mogok untuk menghancurkan bisnis yang mendukung apartheid. Gerakan mereka berhasil. Rezim apartheid tumbang. Sepanjang tahun 1989 hingga 1990, di Praha, Berlin Timur, Sofia, Ulan Bator, dan ibu-ibu kota negara yang ada di bawah pengaruh Uni Soviet terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan rakyat. Mereka menduduki tempat-tempat umum dan memaksa pemerintah menggelar pemilu. Tujuannya adalah melepaskan diri dari rezim otoritarian. Di Serbia terjadi hal yang sama. Yang terakhir, revolusi rakyat menerjang sejumlah negara di Timur Tengah.

Semua itu adalah moment of truth. Tiga puluh tahun silam, rakyat Filipina sudah bosan, muak terhadap korupsi dan ketamakan pemimpin otoritarian, Marcos. Filipina ibarat orang yang sakit: korupsi merajalela, kemiskinan menyebar, yang kaya makin kaya yang miskin semakin terkubur dalam kemiskinan, polarisasi masyarakat, instabilitas politik, dan kekecewaan di mana-mana. Ketika pemilu Marcos curang, rakyat bergerak didukung Gereja dan tentara. Saat itulah ”kebenaran” menang. Marcos tumbang.

Di sini, 30 tahun kemudian setelah Revolusi Kekuatan Rakyat di Filipina, diteriakkan ”Revolusi Mental”. Tidak tahu, sampai mana....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar