Senin, 22 Februari 2016

Jika Seni Jadi Budaya Tanding Kekerasan

Jika Seni Jadi Budaya Tanding Kekerasan

Bambang Asrini Widjanarko ;   Pekerja Seni
dalam Komunitas Pengembangan Seni Rupa Balai Perupa
                                                     KOMPAS, 21 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pelukis legendaris Affandi, dalam ceramah tentang karyanya di gedung Sorbonne, Perancis, yang dimuat di majalah Budaya pada 1953 pernah mengutarakan, apa hakikat seni bagi kemanusiaan. Seperti katanya, ”Saya pernah melukis emosi sedih bersimbol semut lumpuh tentang seseorang yang dituduh mata-mata dan dipukuli rame-rame. Bagi saya, tidak penting apakah ia benar atau salah, namun ia tetap manusia.”

Peristiwa kekerasan belakangan ini, baik secara fisik seperti peristiwa terorisme di Sarinah, Jakarta (14/1/2016), maupun secara simbolik yang dipertontonkan di televisi yang meruyak hebat di tahun 2015 tentang pertikaian antarlembaga negara dan lewat cybermedia, yakni perilaku caci-maki dan saling fitnah oleh berbagai elemen masyarakat, benar-benar mengoyak nilai-nilai kemanusiaan.

Motif atau latar belakang pemicu kekerasan bisa jadi beragam, dari fundamentalisme keyakinan, kegagalan negara menjamin rasa keadilan di masyarakat dengan penegakan hukum yang mengakibatkan frustrasi dan putus harapan; ataupun keniscayaan kondisi secara global. Dunia dicekam perubahan-perubahan budaya dalam perspektif ekonomi, politik, dan sosial yang mendesak dan ekstrem.

Kita bisa mengenalinya dalam istilah fenomena volatile, yakni gerakan-gerakan masif tak terduga dan sangat cepat, kemudian ditandai dengan gejala patahan-patahan dan kejutan psiko-sosiologis yang tajam; dan kondisi ketidakpastian yang datang dari segala arah. Hal ini tentunya bermuara pada konflik simbolik dan fisik pada masyarakat dunia, tanpa kecuali bangsa Indonesia.

Seperti kita tahu ”pertarungan antar-peradaban” yang dikenalkan puluhan tahun silam oleh Samuel Huntington, dalam Clash of Civilization, ternyata dihela oleh fakta hari ini bahwa budaya non-Barat yang berjuang tampil dengan menguatnya Ekonomi-Politik Asia, semacam Tiongkok dan India serta sebagian negara Amerika Latin, telah membuat kondisi global di sebagian wilayah mengalami ”transisi” identitas. Di sisi lain, menguatnya gerakan-gerakan politik Islam fundamentalis ekstrem yang mengukuhkan alternatif cara pandang lain memahami realitas dunia anyar. Kemanusiaan di dunia kemudian tercekam kengerian hebat, berbagai sebab dan akibat tersebut memunculkan kekerasan demi kekerasan multidimensi.

Seni meredusir kekerasan

Empati Affandi pada nilai-nilai kemanusiaan, yang ditunjukkan dalam ceramahnya di Perancis, dalam paragraf awal tulisan memberi kita harapan meski samar-samar. Seni yang memberi frasa mysterium tramendum et fascinocum di masa lalu—sebagai sebuah romantisme paras seni yang merengkuh kalbu personal karena inspirasi kekuatan Ilahiah, bisakah hadir kembali dengan bentuknya yang lain?

Menimbang pembaruan jenis seni ini, dengan makin kompleksnya dunia modern, apalagi hadirnya media baru dengan akses cybermedia tanpa batas, sebagai sebuah komitmen seni menjadi bagian dari gerakan budaya tanding, counter-culture, harus dicoba. Budaya tanding ini, dalam pengertian sebagai sebuah strategi pola hidup berbeda atas arus budaya yang telah ada dalam konteksnya adalah upaya untuk meredusir budaya kekerasan. Tentu secara bersama di antara berbagai elemen di masyarakat tanpa kecuali dan secara ajek dalam periode yang panjang. Tidak hanya menggunakan meme, imej, dan gambar-gambar yang disebarluaskan di internet secara sporadik, tapi lebih dari itu, sebuah sikap konkret dengan komitmen jelas dalam program-program yang difasilitasi oleh pemerintah atau inisiatif mandiri dari kantong-kantong komunitas seni dengan habitusnya.

Jika pemikir seperti Johan Galtung dengan esainya dalam Cultural Violence menyatakan bahwa budaya kekerasan adalah aspek-aspek bidang simbolis, seperti ideologi, bahasa dan seni, agama dan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk melegitimasi kekerasan fisik ataupun struktural lewat sistem sosial, maka Muthien dan Cumbrinck (Africa World Press 2003) membuat proposisinya bahwa bisa juga jika seseorang atau komunitas tertentu dalam masyarakat bersepakat mengeliminasi kekerasan fisik dan struktural dengan mentransformasikan individu dan institusinya dengan cara baik; maka mereka punakan mendapatkan perdamaian budaya, sebuah kompromi bisa diwujudkan.

Penekanan pada transformasi dalam sistem sosial itulah yang bisa menjadi kunci bagi budaya tanding. Kekuatan simbolik dalam seni mampu mengonstruksi kenyataan, dengan menciptakan, memelihara, dan mengubah nilai-nilai masyarakat tertentu, merembes secara laten dalam benak. Budaya tanding dalam relasinya denganseni diciptakan sebagai sebuah rekayasa kultural yang dioperasikan dengan kesadaran utuh. Kata ”Tidak Takut” terhadap kekerasan sudah selayaknya tersublimasi dalam aktivitas dan kegiatan keseharian, dalam hal ini tak hanya tindakan sporadik dan spontanitas merespons sebuah peristiwa kekerasan.

Kegiatan dan program budaya tanding seharusnya lebih dipandang sebagai menciptakan sebuah peristiwa-peristiwa kultural dengan penekanan pada acara atau festival integral yang bisa diakses masyarakat banyak;yang akan merangsang kepekaan dan imajinasi. Ini bisa digambarkan dalam 3 zona penting kehidupan berbangsa kita, yakni dengan menimbang keragaman cara pandang dan realitas kebudayaan yang majemuk ketiga hal itu adalah memproduksi karya-karya seni yang menyiratkan kebebasan dari rasa takut akan sistem represif struktural politik dari negara. Yang ke-2 kebebasan dari kekerasan horizontal yang berlatar keyakinan atau religi; serta yang ke-3 adalah bebas dari rasa takut untuk berekspresi secara aktif dalam kebinekaan berbudaya.

Dengan demikian, seni sebagai medium transformasi sosial bukanlah sebuah utopia, tetapi sebuah kerja nyata dari budaya tanding terhadap kekerasan fisik ataupun simbolik dari mana pun mereka mereka berasal, baik yang dilakukan oleh individu,negara, maupun organisasi kemasyarakatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar