Jumat, 19 Februari 2016

Pencalonan Tak Demokratis

Pencalonan Tak Demokratis

Ramlan Surbakti  ;   Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga;  Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
                                                     KOMPAS, 18 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Salah satu tahapan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota yang perlu dikoreksi dalam revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah adalah proses pencalonan. Lima isu persoalan perlu dikoreksi dari tahap pencalonan kepala dan wakil kepala daerah.

Kelima isu adalah, pertama, Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 7 huruf r dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 yang melarang anggota keluarga petahana menjadi calon kepala atau wakil kepala daerah. Dengan pembatalan pasal itu, muncul masalah baru, yaitu memungkinkan seorang kerabat petahana menjadi calon hanya karena kerabat petahana. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 27 UUD 1945 yang menjamin kesetaraan antar-warga negara. "Seseorang tidak boleh menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah karena kerabat petahana," sama buruknya (sama-sama tidak demokratis, sama-sama melanggar hak asasi manusia) dengan "seseorang menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah hanya karena kerabat petahana".

Kedua, jumlah pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah pada Pilkada 2015 sangat sedikit. Kebanyakan hanya dua pasangan calon, bahkan di tiga daerah hanya satu pasang calon (uncontested election). Syarat dukungan sebesar 20 persen kursi atau 20 persen suara untuk dapat mengusulkan pasangan calon tampaknya terlalu besar bila dibandingkan dengan persyaratan pencalonan presiden, yakni 20 persen dari 35-100 kursi DPRD provinsi atau 20 persen dari 20-50 kursi DPRD kabupaten/kota untuk pilkada, dibandingkan dengan pilpres yang hanya 20 persen dari 560 kursi DPR.

Kenyataan menunjukkan, jumlah dukungan kursi pada proses pencalonan tak berdampak apa pun terhadap efektivitas kepemimpinan kepala daerah karena keputusan daerah tentang perda dan APBD diambil tidak dengan pemungutan suara, melainkan dengan "bancaan" (kolutif, kartel). Dari Kemendagri muncul gagasan untuk mengurangi jumlah partai politik yang mendukung pencalonan. Gagasan ini muncul karena diduga penyebab jumlah pasangan calon yang sedikit tidak lain karena suatu pasangan calon "membeli" dukungan semua partai.

Ketiga, proses pencalonan tidak demokratis, yaitu inklusif (tak melibatkan anggota partai) dan tak menjamin desentralisasi (mengharuskan rekomendasi dari dewan pimpinan pusat parpol). Pasal 15 Ayat (2) UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menegaskan hak anggota dalam menentukan kebijakan dan hak untuk dipilih dan memilih, tetapi tak ada parpol yang menjabarkan lebih lanjut ketentuan ini dalam AD/ART masing-masing. Persoalan yang dihadapi Partai Golkar dan PPP dalam Pilkada 2015 tak lain karena parpol dikelola tidak secara demokratis, melainkan secara oligarkik, bahkan personalistik. Parpol yang dikelola secara oligarkik niscaya akan menimbulkan konflik antar-elite partai apabila kepentingan semua unsur elite utama partai tidak dapat dipenuhi.

Keempat, persentase dukungan pemilih kepada pasangan calon perseorangan terlalu berat. Putusan MK yang tak mengubah persentase, tetapi mengubah dari jumlah penduduk menjadi jumlah pemilih memang meringankan tetapi masih cukup besar. Kelima, Pasal 47 tentang larangan menerima dan memberi imbalan dalam proses pencalonan tampaknya tak bergigi karena harga pasar dukungan satu kursi DPRD kabupaten/kota mencapai Rp 1 miliar. Uang mahar atau sewa perahu masih berlaku walaupun sudah disertai sanksi berat. Tak hanya karena ketentuan ini tak disebutkan dalam Ketentuan pidana pemilu, tetapi juga karena proses pembuktian terlalu kompleks dan lama.

Perlu perubahan mendasar

Berdasarkan kelima kelemahan itu, perlu dilakukan perubahan mendasar dalam proses pencalonan. Pertama, jumlah parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPRD yang dapat mengajukan satu pasangan calon dibatasi maksimal tiga. Gabungan parpol peserta pemilu ini harus dilihat sebagai koalisi, dan koalisi yang solid dan efektif maksimal terdiri atas tiga partai. Suatu koalisi yang terdiri atas lebih dari tiga parpol tak akan efektif sebagai koalisi, melainkan tak lebih dari kumpulan kepentingan elite yang tak berkaitan dengan kepentingan rakyat.

Kedua, persentase kursi atau suara sebagai syarat bagi satu atau lebih partai untuk dapat mengajukan satu pasangan calon harus diturunkan menjadi 15 persen seperti dalam UU No 32 Tahun 2004 juncto UU No 12 Tahun 2008. Pada masa yang akan datang, apabila ambang batas juga diberlakukan untuk DPRD, syarat dukungan ini dapat dihapuskan.

Ketiga, parpol atau gabungan parpol yang berhak mengajukan pasangan calon melakukan seleksi dari berbagai alternatif calon dan kemudian menetapkan dua bakal pasangan calon. Gabungan parpol menyepakati calon dari partai apa menjadi calon kepala daerah dan calon dari partai apa menjadi calon wakil kepala daerah. Kedua bakal pasangan calon berkompetisi meyakinkan anggota partai di akar rumput untuk memilih mereka dalam pemilihan pendahuluan. Pengurus partai wajib menjamin persaingan bebas dan adil antar-bakal pasangan calon. Keempat, pemilihan pendahuluan tingkat desa/kelurahan dalam lingkungan parpol masing-masing: anggota partai memilih calon dari partai masing-masing. Kalau Partai X disepakati menjadi calon wakil kepala daerah, maka anggota Partai X memilih siapa yang akan jadi calon wakil kepala daerah dari dua calon wakil kepala daerah yang ada.

Kelima, pelaksanaan konvensi parpol tingkat kabupaten/kota untuk penentuan pasangan calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan calon wakil wali kota, dan konvensi parpol tingkat provinsi untuk penetapan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Konvensi partai dilakukan dengan dua agenda utama: rekapitulasi hasil pemilihan pendahuluan dan pengesahan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Untuk dapat melaksanakan pemilihan pendahuluan ini, setiap parpol perlu mengatur secara rinci anggota yang berhak memilih, pendaftaran ulang anggota partai, mekanisme proses dialog antara bakal pasangan calon dan anggota partai, penentuan siapa yang memimpin pemilihan pendahuluan, dan penetapan mekanisme pengambilan keputusan apabila pemilihan pendahuluan menghasilkan hasil yang sama.

Berita acara kesepakatan antarparpol untuk mengajukan dua bakal pasangan calon, berita acara penetapan dua pasangan calon, berita acara dan hasil pemilihan pendahuluan di setiap desa/kelurahan, dan berita acara konvensi partai, rekapitulasi hasil pemilihan pendahuluan, dan pengesahan pasangan calon diserahkan kepada KPU kabupaten/kota atau KPU provinsi sebagai lampiran pendaftaran pasangan calon. KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota wajib memverifikasi berita acara dan hasil pemilihan pendahuluan dan hasil konvensi tersebut. Proses penentuan pasangan calon yang tak sesuai UU wajib diulangi satu kali, dan bila pengulangan juga tak sesuai dengan UU, maka hak parpol mengajukan pasangan calon dibatalkan baik pada pilkada bersangkutan maupun pilkada berikutnya.

Politik dinasti dan politik uang

Apabila seorang kerabat petahana terpilih menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah melalui proses pencalonan yang diusulkan tersebut niscaya tidak bisa disebut praktik politik dinasti karena yang bersangkutan menjadi calon karena lulus seleksi partai, ikut berkompetisi secara bebas dan adil dengan calon lain, dan yang menentukan dia sebagai calon bukan pengurus melainkan anggota partai. Bila proses penentuan calon dilakukan dengan persaingan yang terbuka, bebas, dan adil antarcalon, dan bila para anggota yang menentukan pemenang hasil persaingan (kompetisi dan partisipasi), maka kesetaraan antarwarga negara dan hak asasi manusia dijamin.

Sengketa dalam syarat mengajukan pasangan calon karena kepemimpinan pusat partai yang ganda seperti dialami Golkar dan PPP tak lagi akan terjadi karena pengambilan keputusan partai tak lagi di tangan pengurus, melainkan anggota partai. Pengambilan keputusan partai di tangan anggota sejalan dengan prinsip yang ditegaskan dalam UU tentang Parpol dan AD/ART Parpol, yaitu kedaulatan partai berada di tangan anggota, bukan di tangan pengurus seperti selama ini terjadi.

Dua langkah perlu diadopsi dalam UU Pilkada baru untuk mencegah praktik penyalahgunaan uang dalam pilkada. Pertama, "praktik pemberian dan penerimaan imbalan dalam proses pencalonan kepala dan wakil kepala daerah" sepenuhnya digolongkan sebagai tindakan pelanggaran Ketentuan Administrasi Pemilu (KAP). Dalam UU No 8 Tahun 2015, praktik pemberian dan penerimaan imbalan dalam proses pencalonan dikategorikan baik sebagai tindak pidana ataupun tindakan pelanggaran KAP sehingga proses penegakannya menjadi sangat kompleks.

Kedua, instansi yang menegakkan (menyelidiki, menyidik, dan mengambil keputusan) kasus pelanggaran itu diserahkan kepada Komisi Penegak Hukum Pemilu (KPHP) dengan prosedur lebih sederhana. KPHP adalah Bawaslu yang ditransformasi menjadi election tribunal dengan keanggotaan dan fungsi berbeda. Salah satu wujud prosedur lebih sederhana itu adalah naik banding merupakan upaya hukum terakhir. Naik banding terhadap putusan KPHP kabupaten/kota dapat diajukan ke KPHP provinsi, dan naik banding terhadap putusan KPHP provinsi dapat diajukan ke KPHP pusat.

Karena praktik pemberian dan penerimaan imbalan dalam proses pencalonan sepenuhnya dikategorikan sebagai tindak pelanggaran ketentuan administrasi pemilu, maka sanksinya juga sepenuhnya administratif. Bagi yang terbukti menerima imbalan dikenakan dua sanksi, yaitu tak dapat mengajukan pasangan calon pada pilkada berikutnya dan denda 10 kali dari jumlah imbalan yang diterima. Bagi yang terbukti memberi imbalan dikenakan sanksi pembatalan penetapan sebagai pasangan calon, pembatalan pasangan calon terpilih, atau pembatalan sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota sesuai tahapan pilkada ketika putusan diambil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar