Senin, 22 Februari 2016

Indonesia dan Proteksionisme

Indonesia dan Proteksionisme

Stephen V Marks  ;   Profesor Ekonomi Elden Smith di Pomona College
                                                     KOMPAS, 19 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Langkah yang baru-baru ini diambil Pemerintah Indonesia memperlihatkan adanya suatu maksud untuk memperkuat pelibatan ekonomi Indonesia dengan seluruh dunia. Di antaranya adalah dimulainya kembali pembicaraan perdagangan dengan Uni Eropa pada awal 2015, diumumkannya oleh Presiden Joko Widodo-saat berada di Amerika Serikat-bahwa Pemerintah Indonesia ingin bergabung dengan perjanjian dagang Kemitraan Trans Pasifik (TPP), serta perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang sedang berlangsung dan bertujuan untuk memperdalam integrasi antara ASEAN dan enam mitra dagang utamanya, termasuk Tiongkok.

Komentar yang dilontarkan Menteri Perdagangan Thomas Lembong juga memberikan suatu harapan. Thomas mengakui bahwa proteksionisme tidak memberikan hasil yang baik dalam jangka panjang. Ia pun secara arif menegaskan, apabila kita khawatir mafia-mafia yang terlibat dalam kegiatan penggemukan sapi di Indonesia akan menimbun daging sapi, maka cara terbaik untuk memerangi praktik ini adalah dengan membuka perekonomian terhadap impor daging sapi tambahan, yang akan mengurangi harga hewan ternak yang diduga ditimbun.

Sinyal kurangi proteksi

Perkembangan-perkembangan tersebut menunjukkan sinyal adanya keinginan untuk mengurangi kebijakan proteksionis yang telah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir. Untuk menggambarkan seberapa besar permasalahannya, pangsa pos tarif yang dikenakan tindakan nontarif (non-tariff measures atau NTMs) di sisi impor tumbuh dari 37 persen pada 2009 jadi 51 persen pada 2015. Tarif impor juga telah meningkat baik secara sementara maupun permanen. Jumlah NTMs ekspor meningkat tiga kali lipat selama periode yang sama dan memengaruhi 41 persen dari nilai ekspor.

Salah satu ukuran distorsi yang disebabkan pembatasan perdagangan adalah tingkat proteksi nominal (nominal rate of protection/NRP), yaitu persentase perbedaan harga di tingkat produsen lokal dengan harga di perbatasan negara. Pada sisi impor, selama enam bulan pertama 2015, NRP untuk beras rata-rata mencapai 64 persen-dibandingkan dengan 37 persen yang saya ukur dengan Sjamsu Rahardja dari Bank Dunia pada awal 2008. NRP gula saat ini adalah 55 persen, dibandingkan 36 persen pada awal 2008. Harga internasional beras dalam rupiah, 45 persen lebih mahal saat ini dibandingkan awal 2008, sementara gula 69 persen lebih tinggi, sehingga perkembangan NRP ini menyebabkan harga beras dan gula naik tajam pada tingkat konsumen.

Daging dan jeroan secara keseluruhan memiliki NRP 37 persen dalam beberapa tahun terakhir. Demikian pula NRP untuk buah-buahan saat ini sebesar 25 persen, sementara NRP untuk sayuran adalah 19 persen. Tepung terigu juga telah dikenakan bea masuk anti dumping, bea masuk perlindungan dan kuota impor sejak 2009, dan pernah memiliki NRP sebesar 22 persen.

Lonjakan harga juga tak hanya terbatas pada produk-produk pertanian. NRP besi dan baja adalah 17 persen, disebabkan oleh bea masuk anti dumping selektif dan tarif impor yang tinggi pada impor dari banyak negara. Sebuah perbandingan harga internasional baru-baru ini mengungkapkan bahwa harga telepon pintar 49 persen lebih mahal di Jakarta daripada di Singapura, dan komputer tablet 65 persen lebih mahal.

 Langkah-langkah prosedural seperti peraturan karantina secara ekstensif yang dikeluarkan Kementerian Pertanian, pemeriksaan pra pengiriman atas impor yang dipersyaratkan Kementerian Perdagangan, dan penerapan Standar Nasional Indonesia yang diatur oleh Kementerian Perindustrian telah menimbulkan tambahan terhadap biaya impor berbagai produk.

Selain konsumen, pihak-pihak yang terkena dampak kebijakan tersebut, antara lain, produsen daging olahan dan awetan, serta produk roti dan mi. Para produsen kapal juga menghadapi kenaikan biaya baja seperti halnya industri konstruksi.

Pada sisi ekspor, larangan ekspor kayu gelondongan telah lama diberlakukan, tetapi larangan sepenuhnya terhadap ekspor rotan diberlakukan pada 2011, sehingga harga yang diterima oleh para pengumpul rotan di beberapa daerah turun 30 persen. Larangan sepenuhnya pada ekspor rotan merupakan suatu instrumen yang tumpul: beberapa varietas rotan yang sebelumnya pernah diekspor bahkan tidak digunakan oleh produsen Indonesia.

 Ekspor-ekspor bahan mineral yang belum diproses dan semi diproses telah dikenakan larangan atau pembatasan ketat sejak 2014 dan dikenakan pajak ekspor sejak 2012. Untuk bijih dan konsentrat logam, saya memperkirakan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut setara dengan pajak ekspor sebesar 40 persen untuk bauksit, 28 persen untuk tembaga, 15 persen untuk nikel dan 14 persen untuk besi, dan larangan sebelumnya pada ekspor bijih timah setara dengan pajak ekspor sebesar 57 persen. Belum jelas sejauh mana kebijakan ini telah mendorong pembangunan industri pengolahan hilir.

Begitu pula, pajak ekspor terhadap biji kakao, minyak kelapa sawit, dan kulit mentah mengalihkan sebagian pendapatan petani ke industri pengolahan dan pemerintah. Mungkin perkebunan besar kelapa sawit yang telah berkontribusi terhadap masalah kabut asap di Indonesia semestinya tidak mendapat simpati, kendati demikian para petani kecil menghasilkan 40 persen kelapa sawit dan 90 persen biji kakao di Indonesia. Pajak ekspor tersebut secara langsung menurunkan pendapatan mereka.

Meningkatkan daya saing

Akibat dari semua langkah yang diambil akhir-akhir ini adalah ekonomi berbiaya tinggi yang dibebani oleh distorsi demi distorsi, yang banyak memberikan dampak langsung terhadap konsumen Indonesia. Saya memperkirakan semua kebijakan terkait perdagangan, bahkan setelah memperhitungkan subsidi untuk produk-produk minyak bumi dan elpiji, meningkatkan biaya hidup sebesar 7,5 persen di Indonesia.

Jika hanya pembatasan impor beras yang dihilangkan, dampak kebijakannya terhadap biaya hidup akan turun jadi 4,8 persen. Tak jelas berapa banyak dari kenaikan harga beras dan gula yang dinikmati petani padi dan tebu, terutama petani yang memiliki ukuran tanah terkecil. Namun, kenaikan harga pangan berdampak negatif terhadap konsumen berpenghasilan rendah.

Pengalaman di seluruh dunia membuktikan, kemampuan negara bersaing secara global tidak pernah akan meningkat terkecuali pengusaha negara tersebut menjalani proses persaingan global. Meski demikian, proses tersebut dapat diperkenalkan kepada perekonomian negara dengan cara yang teliti, bukan dengan cara yang sembarangan.

 Dengan latar belakang inilah inisiatif-inisiatif yang baru-baru ini dilakukan oleh Presiden dan Menteri Perdagangan harus dipahami. Dengan memberikan sinyal untuk membuka rezim perdagangan, dan dengan menangani beberapa NTMs impor yang dianggap lebih memberatkan melalui paket-paket deregulasi baru-baru ini, pemerintah telah mengambil langkah penting menuju reformasi yang akan meningkatkan daya saing, mendorong pembangunan sektor swasta, dan pada akhirnya membuka lebih banyak kesempatan untuk pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar