Rabu, 17 Februari 2016

Kebijakan Rasional Jaksa Agung

Kebijakan Rasional Jaksa Agung

M Ali Zaidan  ;  Dosen Ilmu Hukum UPN Veteran Jakarta;
Mantan Anggota Komisi Kejaksaan RI
                                                     KOMPAS, 15 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Presiden telah memanggil Kapolri serta Jaksa Agung dan meminta agar kasus yang tengah membelit Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan diselesaikan. Ungkapan "diselesaikan" itu perlu dipertegas apakah dimaksudkan dengan menghentikan perkara atau melanjutkan perkara itu ke ranah pengadilan.

Tak ada tafsir resmi dan tunggal untuk menjelaskan makna di balik ungkapan Presiden, tetapi rasionalitas pimpinan penegak hukum terutama Jaksa Agung menjadi penentu segalanya. Sekarang bola panas berada di tangan Jaksa Agung, khususnya perkara yang menyangkut Novel Baswedan (NB). Terakhir, diperoleh informasi bahwa kejaksaan telah menarik berkas perkara yang seyogianya akan disidang di pengadilan negeri, Jaksa Agung telah mengambil alih perkara itu dari tangan kejari setempat.

Alternatif yang membentang di hadapan Jaksa Agung terdiri dari tiga opsi, yakni deponering, surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) atau melanjutkan perkara itu ke sidang pengadilan. Ketiga, alternatif itu memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk memberikan keputusan yang rasional dalam rangka penegakan hukum khususnya dalam konteks pemberantasan korupsi. Hal ini mengingat ketiganya merupakan pimpinan dan ikon pemberantasan korupsi. Sungguh suatu ironi apabila ketiganya yang telah dikenal luas mendedikasikan dirinya untuk membersihkan negeri ini dari korupsi harus berujung pada jerat hukum yang membelenggu kehidupannya. Mereka korban kriminalisasi penegakan hukum legalistik.

Istilah kriminalisasi atas ketiganya harus dibaca dalam konteks yang netral karena mereka tengah menghadapi tuntutan hukum untuk membuktikan apakah mereka bersalah atau tidak dalam kasus yang dipersangkakan. Namun, yang pasti, hingga saat ini ketiganya-termasuk juga yang lain-berada dalam kondisi kritis meskipun perkaranya dihentikan atau dilanjutkan.

Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW) telah melewati masa kritis karena tak lagi berkedudukan sebagai pimpinan KPK, apabila kriminalisasi bertujuan agar keduanya "tersingkir" dari kepemimpinan institusi yang jadi musuh para koruptor.

Akan halnya NB, juga tengah berada di titik kritis mengingat delik yang dipersangkakan adalah tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian yang diancam dengan pidana penjara tujuh tahun, berdasarkan ketentuan hukum pidana Pasal 78 ayat (1) ke 3 bahwa tenggang waktu daluwarsa tindak pidana itu adalah dua belas tahun. Hal ini berarti bahwa Kejaksaan (Agung) berada dalam titik kritis pula ketika (akan) melimpahkan perkara itu ke pengadilan.

Demi hukum

Deponering atau seponering pada hakikatnya kewenangan Jaksa Agung sebagaimana ditetapkan UU. Perkara yang pernah menimpa Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah telah membekas dalam benak publik mengingat ada pandangan bahwa perkara itu pada hakikatnya "ada", tetapi dikesampingkan demi kepentingan umum. Hal ini terus digelontorkan sebagian ahli hukum. Jika dikaitkan dengan asas praduga tak bersalah, keduanya wajib dianggap tak bersalah dan perkaranya dianggap tak pernah ada. Intinya, kebijakan deponering yang diberikan Jaksa Agung ketika itu bukan solusi tepat. Sebagai alternatif, deponering berisiko munculnya kontroversi lanjutan.

Pilihan kedua, menghentikan perkara itu berdasarkan kewenangan yang dimiliki kejaksaan, dengan mengeluarkan SKP2, khususnya terhadap NB, mengingat ketentuan hukum materiil dalam KUHP telah menentukan tenggang waktu daluwarsa. Penetapan SKP2 hanya terjadi dalam tiga kemungkinan, salah satunya penuntutan dihentikan demi hukum. Artinya, hukum materiil telah menentukan agar perkara itu tidak dilanjutkan lagi.

Dasar rasionalitas itu telah ditentukan oleh doktrin hukum pidana yang menggariskan demi kepastian hukum, suatu perkara jangan sampai berlarut-larut dan membelenggu hak asasi manusia seseorang. Seseorang harus dibebaskan dari unofficial punishment sebagai akibat proses hukum legalistik. Jika prinsip individualisasi diterapkan, terhadap AS dan BW dapat diberikan deponering, sedangkan NB diberikan SKP2.

Apabila argumentasi di atas dikaitkan dengan tujuan hukum yang terdiri dari keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, nilai manakah yang akan dicapai dari proses hukum dari ketiganya khususnya NB? Telah dikatakan bahwa hukum materiil dengan tegas menentukan adanya daluwarsa. Demi kepastian hukum, pengaturan tentang daluwarsa tidak dapat ditafsirkan lain. Haruskah untuk menghukum BN ketentuan hukum materiil dikesampingkan?

Hukum pengayoman

Nilai kemanfaatan bukan terletak pada dijatuhi hukuman terhadap seorang pelanggar hukum semata, tetapi seberapa jauh ketentuan hukum materiil dalam KUHP diindahkan. Mengambil alih berkas perkara bukan dimaksudkan untuk menyempurnakan tuntutan mengingat berkas tersebut telah cukup lama, atau sebagai dasar menetapkan penyampingan perkara demi kepentingan umum. SKP2 merupakan bentuk penghentian perkara demi kepentingan hukum.

Ketiga alternatif punya konsekuensi yang berbeda, tetapi dapat digunakan guna mencapai tujuan yang sama, yakni terwujudnya keadilan sebagai tujuan hakiki penegakan hukum. Publik tidak mengharapkan ketiganya tersandera. Hukum secara subyektif membebaskan ketersanderaan dan secara obyektif berfungsi sebagai alat pengayoman.

Fungsi itu yang harus dikedepankan oleh JA sebagai pengendali kebijakan penegakan hukum di bidang penuntutan dan tidak saja mengejar kepastian hukum yang terkadang mekanistik. Keadilan substantif harus diwujudkan dalam proses hukum terhadap ketiganya, dengan mengedepankan fungsi pengayoman hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar