Sabtu, 27 Februari 2016

Politik Uang, Mana Tahan...

Politik Uang, Mana Tahan...

M Subhan SD ;   Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 25 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Partai Golkar tidak pernah senyap dari gosip. Baru saja kegaduhan mereda setelah dua kubu (Aburizal Bakrie dkk dan Agung Laksono dkk) "berdamai", suasana tidak lantas tenang. Kegaduhan baru, muncul lagi. Menjelang musyawarah nasional, angin bertiup kencang lagi. Pohon beringin pun kembali bergoyang-goyang. Aroma politik uang mulai menyengat dalam bursa calon Ketua Umum Partai Golkar.

Fungsionaris Partai Golkar Nurdin Halid bilang ada kandidat ketua umum yang mulai main uang. Si kandidat memberikan 10.000 dollar Singapura kepada pemilik suara (satu DPD). Kemudian, kandidat lain, Ade Komarudin, diadukan ke Mahkamah Kehormatan DPR karena dianggap mendapat gratifikasi berupa fasilitas pesawat mewah.

Ade memang Ketua DPR, menggantikan Setya Novanto yang turun setelah terkena sanksi etik dalam kasus "papa minta saham", akhir 2015. Anggota tim sukses Ade, Bambang Soesatyo, menampik. Pesawat mewah itu, kata Bambang, milik sendiri, yaitu milik PT Kodeco-Jhonlin. Dan, Bambang komisaris di PT itu.

Setya juga siap bertarung merebut kursi tertinggi Partai Golkar. Nama lain yang beredar di antaranya Mahyudin, Aziz Syamsuddin, Airlangga Hartarto, Idrus Marham, Syahrul Yasin Limpo (Gubernur Sulsel). Aburizal dan Agung sudah menjadi cerita lama.

Namanya pertarungan, pasti sengit dan berisik. Perang urat saraf dan kampanye hitam menjadi trik lumrah. Secara terbuka mereka menolak politik uang (money politics), tetapi uang transportasi, misalnya, dianggap bukan politik uang. Absurd!

Sebetulnya politik uang di arena Munas Golkar adalah trik klasik. Semua orang sudah mafhum: orang partai itu pragmatis dan transaksional. Istilah "gizi atau logistik" sudah lama dikenal di panggung politik, termasuk di setiap Munas Golkar. Munas tahun 2009, kekuatan uang disinyalir bermain. Namanya politik uang, cuma baunya yang menyengat seperti "gas busuk".

Uang dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang. Saling tak melihat, tetapi selalu beriringan. Kalau mau berkuasa, siapkanlah banyak uang. Bisa juga dibalik. Kalau mau banyak uang, rebutlah dulu kekuasaan. Secara teoretis, politik uang itu haram, karena merusak demokrasi. Namun, anehnya makin dilarang, main uang justru makin diminati.

Alan Simpson, mantan senator Amerika Serikat dari Wyoming-mengutip laporan The Wall Street Journal 2014-menyebut 70 persen publik AS frustrasi dan marah karena sistem politik di negara mereka hanya bekerja untuk uang dan kekuasaan. "Politik adalah bisnis mahal yang sialan," kata Joe Biden, Wakil Presiden AS, saat mulai menjadi senator dari Delaware awal 1970-an.

Meskipun "membenci" politik uang, mereka tetap "mencintainya". Para politisi lah yang tidak tahan untuk tak berpolitik uang. Mari kita buktikan di Munas Golkar nanti: tahankah para kandidat tidak menggunakan politik uang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar