Jumat, 19 Februari 2016

Defisit Pangan Menjadi Ancaman

Skenario Indonesia 2045 (4-Habis)

Defisit Pangan Menjadi Ancaman

Budiman Tanuredjo  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 18 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kondisi Indonesia tahun 2045 tidak terlepas dari kondisi dunia yang mengalami defisit pangan. Dua puluh sembilan tahun dari sekarang, Indonesia belum akan mampu memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan karena itu negara mengalami kesulitan.

Skenario Air Terjun, skenario keempat yang dibangun Tim Skenario Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), memberikan gambaran wajah Indonesia 2045. Pesimisme sekaligus optimisme tergambar pada Skenario Air Terjun tersebut. Digambarkan, akibat krisis pangan ini akan terjadi letupan-letupan di sejumlah daerah. Namun, letupan tersebut dapat dimitigasi karena kedaulatan pangan dijadikan fokus utama dalam mengelola ketahanan pangan, misalnya, melalui pengembangan usaha petani dalam bentuk struktur yang lebih sesuai.

Keempat skenario yang dibangun Lemhannas, yakni Skenario Mata Air, Skenario Sungai, Skenario Kepulauan, dan Skenario Air Terjun, merupakan hasil diskusi tim dengan sejumlah narasumber lintas profesi. Sejumlah ahli terlibat, seperti Andrinof Chaniago, Arif Budimanta, Azyumardi Azra, Bambang Susantono, Chappy Hakim, Darmin Nasution, Emil Salim, Makarim Wibisono, Said Aqil Siroj, Kurtubi, dan sejumlah pakar.

"Proses itu berjalan lebih dari satu setengah tahun dan masih terus berjalan," kata Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji kepada Kompas.

Setelah empat skenario selesai dibangun, Lemhannas kemudian menyerahkan dokumen itu untuk disosialisasikan dan diantisipasi oleh para pemangku kepentingan.

Dengan model pembangunan skenario bersifat transformatif, menurut Ketua Tim Skenario Panutan Sulendrakusumah, intervensi bisa dilakukan untuk mengantisipasi kecenderungan yang bakal terjadi, termasuk juga soal defisit pangan. Peringatan defisit pangan sebenarnya masuk akal jika melihat proyeksi perkembangan pertumbuhan penduduk. Pada 2045 jumlah penduduk Indonesia mencapai 321 juta jiwa. Sementara itu, pada kondisi aktual sekarang ini, swasembada pangan belum bisa dicapai. Impor beras dan bahan pangan lain selalu dilakukan.

Ketimpangan

Skenario Air Terjun juga menarasikan penurunan kemiskinan yang terjadi sejak era sebelumnya belum dapat mengurangi ketimpangan pendapatan yang semakin lebar.

Ketimpangan menjadi isu yang harus dicermati. Dampak pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sekitar 6 persen per tahun, ternyata lebih banyak dinikmati kelompok berpendapatan tinggi, yang jumlahnya hanya 5 persen dari populasi penduduk Indonesia. Hal itu akan menimbulkan ketimpangan pendapatan yang makin mencolok.

"Rasio gini yang begitu menganga bisa meningkatkan kriminalitas, konflik sosial, dan instabilitas politik, bahkan mengarah pada penurunan pertumbuhan ekonomi secara drastis," kata Komisaris Jenderal Suhardi Alius, fasilitator dan Sekretaris Utama Lemhannas.

Pemerintah memang terus berupaya mengurangi kemiskinan melalui berbagai program. Berbagai program terus dilakukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar warga negara secara layak, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat miskin, penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat, serta percepatan pembangunan daerah tertinggal.

Panutan Sulendrakusumah menjelaskan, dalam Skenario Air Terjun, pembangunan Indonesia pada 2045 telah berdasarkan tiga pilar dalam konsep pengembangan Sustainable Development Goals (SDG).

Pilar pertama melekat pada pembangunan manusia, yaitu pembangunan pendidikan dan kesehatan. Pilar kedua melekat pada lingkungan kecil (social economic development), yaitu ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan serta pertumbuhan ekonomi. Adapun pilar ketiga melekat pada lingkungan yang lebih besar (environmental development), berupa ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan berdasarkan standar global dalam konsep pembangunan berkelanjutan secara terukur. Menurut Panutan, pembangunan Indonesia berbasis karbon pada 2045 merupakan penerapan ekonomi hijau (green economy) sebagai respons terhadap perubahan iklim demi ketahanan ekosistem.

"Penggunaan energi tidak ramah lingkungan, seperti minyak dan batubara, harus ditinggalkan. Saatnya Indonesia menggunakan energi terbarukan, antara lain tenaga surya, untuk mengurangi emisi rumah kaca," kata Panutan.

Perubahan iklim

Panutan mengingatkan, wilayah Indonesia tahun 2045 akan mengalami peningkatan suhu rata-rata permukaan Bumi akibat peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer. Pemanasan diikuti perubahan iklim akan meningkatkan curah hujan yang berpotensi menyebabkan banjir dan erosi.

Berkaitan dengan persiapan untuk menciptakan energi terbarukan, Menteri Energi Sumber Daya Mineral Sudirman Said yang dihubungi Kompas di Jakarta, Rabu (17/2), mengatakan, pengelolaan karbon, emisi, pembangunan energi, dan pangan merupakan isu strategis yang tak bisa ditangani dengan perspektif jangka pendek.

"Harus mampu menjaga jarak dengan problem kekinian. Apalagi kita merancang pembangunan energi, pangan, dan kaitannya dengan perubahan iklim," kata Sudirman.

"Sebagai pengelola sektor energi, saya makin memahami bahwa kita sempat agak terlena dengan pendekatan myopic, berpikir pendek, mengerjakan yang mudah, dan terjebak pada kebijakan yang diwarnai transaksi kepentingan jangka pendek," tutur Sudirman.

Sudirman mengakui, ada kesenjangan yang dia rasakan. Kesenjangan antara lokasi sumber daya dan kebutuhan, kesenjangan antara sumber daya dan ketersediaan energi, kesenjangan antara energi fosil yang semakin kritis dan kemampuan di bidang energi terbarukan.

"Jika kesenjangan itu tak segera diatasi, bukan tidak mungkin suatu saat kita akan mengalami krisis energi yang sulit diatasi," kata Sudirman.

Menurut Sudirman, yang harus dilakukan adalah berani melakukan lompatan, mendorong kebijakan energi yang mungkin dalam jangka pendek tidak menyenangkan, tapi dalam jangka panjang memberi keamanan bagi kepentingan nasional. "Keberanian memilih jalan tidak populis akan menentukan keamanan energi di masa depan," kata Sudirman.

Empat skenario yang disusun Lemhannas memang bukanlah sebuah kepastian atau proteksi karena itu adalah narasi yang mungkin terjadi. Masalahnya adalah bagaimana segala kecenderungan dari empat skenario itu diantisipasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar