Minggu, 14 Februari 2016

Patung Arjuna

Patung Arjuna

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
                                            KORAN JAKARTA, 13 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Patung tokoh wayang Arjuna di kecamatan Wanayasa, Purwakarta terbakar, atau dibakar, Kamis lalu. Apa salah Arjuna, atau bentuk patung setinggi 7 meter itu? Bupati Dedy Mulyadi dua hari sebelumnya baru saja menerima anugrah budaya yang diberikan saat Hari Pers Nasional di Lombok, bersama pejabat lainnya yang dianggap berjasa dalam bidang budaya. Bupati yang mulai jadi bahan perbincangan nasional ini mengatakan bahwa sejak tahun 2010 ada perusakan patung-patung wayang di derah sekitarnya . Atau dirobohkan , seperti keberadaan patung Semar, Bima , Nakula dan Sadewa.

Itu tokoh-tokoh dalam dunia wayang. Arjuna adalah tokoh dari keluarga Pandawa yang digambarkan sangat sakti, dan… memiliki istri terbanyak dibandingkan tokoh lain dalam dunia perwayangan. Patung Arjuna juga banyak ditampilkan di Jakarta, atau Boyolali, Jawa Tengah dei tempat yang ramai dan mudah dilihat. Dalam wayang kulit, atau wayang orang Jawa, Arjuna digambarkan lemah lembut, sementara dalam film televise produksi India, Arjuna yang sering dimainkan perempuan dalam wayang orang, digambarkan berdada six pack. Senjata andalannya berupa panah, maka patungnya sering memperlihatkan adegan tengah memanah. Patung yang sama ada di kompleks olah raga Bung Karno, Senayan, Jakarta meskipun mungkin bukan Arjuna yang dimaksud. Di Solo sendiri nama stadionnya Manahan—dengan simbol ksatria yang tengah memanah.

Kisah dalam wayang sudah sejak awal hidup di dalam masyarakat Jawa. Sudah beradaptasi dengan budaya setempat—kalau disebut asalnya dari India. Bahkan nama salah satu senjata paling sakti, tak ada yang sanggup menandingi, dinamakan Jimat Kalimasada. Ajimat yang tidak berbentuk senjata seperti kerius, atau panah, atau gada, atau tombak, itu konon menggambarkan kesaktian Kalimat Syahadat. Ajian itu bahkan ditempatkan dalam ikat kepala raja “berdarah putih” Puntodewa, putra sulung keluarga Pandawa.

Bentuk wayang juga pernah menjadi penyelamat komik di Indonesia. Kisahnya di tahun 1952-1955 ketika buku komik di negeri ini didominasi jenis superhero yang fiktif, termasuk lahirnya Sri Asih, Garuda Putih, Lungga dan tokoh fiktif lainnya. Oleh pihak pemerintah hal ini dianggap tidak mendidik, dan membuat anak-anak tidak mau belajar. Maka penerbitan komikkomik ini dirazia. Akibatnya buku komik lenyap dari pasaran. Dalam kondisi terjepit dan sekarat itu para komikus, seniman komik membuat komik wayang—yang sebetulnya lebih fiktif dan lebih kaya khayal. Wayang telah diterima sebagai bagian budaya yang sah dan aman. Begitulah komik jenis wayang, waktu itu dipakai istilah komik klasik, muncul dan diterima di masyarakat. Bukan hanya penerbit Jakarta dan Bandung saja yang menerbitkan komik wayang, melainkan juga di kota Medan—pusat penerbitan komik setelah Jawa. Yang menggembirakan adalah bersama dengan itu munculah jenis komik dari kisah-kisah tradisional, hero lokal yang tadinya hanya ada di pentas ketoprak. Dalam pengertian ini Arjuna dan tokoh-tokoh pewayangan yang lain, pernah menjadi penyelamat komik Indonesia dan membuka pilihan pada kisah atau cerita tradisional. Tanpa selingan dengan wayang, komik di Indonesia tak berlanjut ketika dirazia. Atau setidaknya perkembangannya menjadi berbeda.

Maka ketika patung Arjuna ter, atau di, bakar pada pagi hari muncul beberapa pertanyaan. Karena wayangnyakah? Karena patungnyakah? Karena apa atau yang mana menjadi penting untuk diketahui jawabannya, karena bisa menjadi bahan pelajaran dan pengajaran bagaimana sebaiknya pendekatan dalam mengembangkan atau mengadakan seni wayang, atau seni patung, atau seni penempatan, atau tata ruang budaya kita ini. Apakah hanya di Purwakarta, atau juga tempat lain.

Secara pribadi saya lebih senang mendengar dibangunnya patung sebagai karya seni, dibanding dengan berita penghancurannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar