Senin, 29 Februari 2016

Saudaraku

Saudaraku

Jean Couteau ;   Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 28 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Aku sudah berkali-kali berpapasan dengan mangku (pinandita) dari pura desaku. Aku memang kerap melihatnya melangkah pincang, dengan tubuh ringkih, udeng (destar) putih melingkar di kepala, di jalan-jalan di seputar desa. Setiap berpapasan dengan aku, senyuman halus selalu menyinari kerutan wajahnya.

Bagi dia, aku "tamu" dari lembah desa "sana", penghuni rumah pinggir sungai di dekat tugu si "duwe berambut panjang" yang konon ditakut-takuti anak-anak sedesa. Jadi wajahku sudah menjadi bagian dari dunianya-termasuk dunia pertanyaannya. Sedangkan bagiku, tampilan serba putihnya serta perannya sebagai penyedia air suci menyiratkan kemungkinan suatu iman yang berbeda. Berbeda, tetapi, harapanku, tetap "sama".

Aku tak dapat menutupi keherananku ketika, pada suatu hari, aku tiba-tiba melihat Pak Mangku itu tampil di ambang pintu rumahku, dipapah oleh dua pemuda desa. Mereka telah membantunya turun, terpincang-pincang menuruni ke-50 tangga menuju rumah lembahku yang rimbun itu.

"Pak Mangku ingin berbicara dengan Bapak," kata mereka. Rada kikuk melihatnya di sini, aku mengajak dia masuk, dan duduk. Lalu, suaranya berbaur gemerisik dedaunan dialun angin, dia membuka hatinya. "Pak Kadek," ujarnya memanggil dengan julukan Baliku, "Saya berharap Bapak bisa memenuhi harapan saya. Lihatlah saya ini! Sudah reot. Saya sudah 'metirta yatra' di pura-pura kedalaman hutan dan puncak bukit se-Bali, yang dewa dan bataranya semua saya haturkan persembahan saya. Percuma! Bahkan saya sudah ke Banyuwangi, meminta piwulang dari 'orang tua' bijak negeri itu. Saya mempelajari beberapa baca ayat sucinya. Tetapi saya terus gagal, Pak Kadek. Hingga kini, saya belum berhasil menunggalkan keempat saudara saya."

Dia terus menatapku. Aku bingung, tidak paham. Dengan gugup aku mengajaknya menghirup tehnya. Namun, dia terus mendesak: "Saya dengar bahwa Pak Kadek mempunyai banyak buku lontar. Siapa tahu di antaranya terdapat rumus yang dapat membantu saya menyatukan keempat saudara saya."

Itulah "jeda" yang aku harapkan. Aku memohon diri dan menghilang ke tengah ruang perpustakaanku. Dua menit kemudian aku keluar, setumpuk buku berhuruf Bali di tangan. Dia membuka-bukanya sebentar, lalu menoleh sendu: "Saya tahu semua itu, Pak Kadek. Bukan itu rumus yang saya nantikan." Lalu dia melanjutkan: "Ketahuilah, Pak Kadek, ketika saya lelap tertidur, saya kerap didatangi impian yang sama. Saya berada di pantai. Lalu datanglah sebuah perahu layar putih penuh orang berpakaian putih pula yang mendekati pantai di mana saya berdiri. Kapal itu merapat di darat, lalu-selalu sama-orang-orang itu melambai-lambaikan tangan kepada diri saya. Tetapi, saya bergeming. Setelah beberapa waktu, usai lambaian tangan terakhir, mereka kembali menaiki kapalnya, dan saya, terpaku, memandang-mandang layar putih menjauh, lalu menghilang-hilang di kejauhan lautan lepas. Saya tidak tahan lagi, Pak Kadek. Saya kesepian. Tolong, bantulah saya menyatu dengan keempat saudara saya."

Tiba-tiba, di benakku, tebersit makna yang sebenarnya dari permohonan Pak Mangku itu. Yang didambakannya tiada lain ialah maut itu sendiri. Yang melambai-lambainya, di perahu layar putih yang konon selalu menjauh, ialah para leluhurnya, yang selalu datang, dan selalu gagal pula menjemputnya. Sedangkan keempat saudaranya-Catur Sanak di dalam bahasa Bali-adalah saudara kosmis, yang konon telah terlahir bersamaan dengannya sebagai janin, puluhan tahun lalu, di dalam rupa ari-arinya.

Makin gugup, saya tidak berkata apa pun. Apakah yang dia harapkan dariku, sang "tamu dari pinggir sungai", suatu rumus ke maut yang dinanti-nantikannya? Aku tidak tahu. Maka aku dengan gugup menambahkan bahwa aku masih mempunyai banyak buku lain. Kataku, bila aku menemukan "rumus" andal untuk menunggalkan keempat saudaranya, aku pasti akan memberitahukannya. Aku janji.

Dia berdiri, mengangguk-angguk, lalu memohon diri, dipapah kedua pemuda, siap menaiki ke-50 anak tangga ke dunia asalnya. Aku langsung ke kamarku, lalu roboh di tempat tidur, dikitari buku hampaku itu: "Siapa kalian, keempat saudaraku, dan di mana kalian, di kosmos yang mana, agar aku pun dapat menyatu dengan kalian, ketika bakal tiba 'saatku'. Lalu aku menangis tersedu-sedu."

Kini, Pak Mangku tiada, tetapi setiap kali aku berpapasan dengan seorang mangku yang tua, aku berpikir tentang layar putih di lautan lepas, dan tentang Kau, Pak Mangku, Saudaraku....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar