Senin, 15 Februari 2016

Kerja Wartawan Gawat Sekali

Kerja Wartawan Gawat Sekali

Eddy Koko  ;   Mantan Pemred Radio Sindotrijaya
                                               KORAN SINDO, 10 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bung Karno pun bicara dengan lantang,”Saudara-saudara, saudara punya pekerjaan adalah gawat sekali. Gawat!” Begitu diingatkan Presiden Sukarno kepada wartawan di Istana Bogor, 20 November 1965, yang terangkum dalam Buku Revolusi Belum Selesai.

Jadi, kerja wartawan tidak main-main dan tidak untuk mainan. Jika Bung Karno mengingatkan bahwa pekerjaan wartawan gawat, bahkan gawat sekali, menjadi wartawan tidaklah sembarangan. Masih kata si Bung, taraf sesuatu bangsa itu dilihat dari mereka punya persuratkabaran. Bung Karno mengatakan itu pada 1965. Sekarang dunia persuratkabaran atau media makin maju.

Saking majunya sampai banyak yang kebablasan. ”Kalau sudah masuk surat kabar, orang menilai, sudah nyata benar. Sudah pasti benar. Jadi jangan main hantam kromo, asal menulis atau menyiarkan. Inilah kegawatan pekerjaan saudara. Jadi jangan sampai wartawan menerbitkan satu perkataan pun yang tidak berisi kebenaran,” tegas Bung Karno. Kualitas suatu media tentu tidak luput dari kualitas wartawannya.

Menjadi wartawan bukan asal bisa mencatat dan mengetik kemudian mengirim tulisannya ke redaksi. Wartawan harus memiliki pemahaman terhadap setiap isu yang sedang berkembang kemudian melakukan pendalaman atau investigasi. Wartawan harus paham bahwa tulisannya dibaca masyarakat maka berita yang disampaikan harus bisa dipertanggungjawabkan, berdasarkan fakta lapangan, berimbang, dan bersumber dari pihak yang kompeten.

Masyarakat mempercayakan kepada wartawan terhadap berita yang mereka perlukan. Ketika banyak pihak menjadikan sebuah media sebagai rujukan dalam mengambil sikap, itulah bentuk kepercayaan publik. Setiap zaman memang berbeda dari isi dan caranya. Zaman baru pasti lebih modern sehingga relatif lebih lancar. Jika dulu belum ada radio, televisi, internet kemudian menjadi ada sebagai sebuah kemajuan zaman.

Tetapi, zaman dulu tetap menjadi pelajaran mereka yang hidup pada masa kemudian. Begitu juga praktiknya menjadi wartawan pada zaman di mana belum ada internet tetap menjadi contoh generasi baru. Wartawan senior mungkin akan mengatakan, wartawan sekarang enak karena berbagai fasilitas dan kemudahan ada di manamana. Sementara dahulu, untuk mengirim berita ke redaksi diperlukan perjuangan waktu dan kesabaran.

Dahulu, setiap wartawan harus berpikir mencari cara bagaimana artikelnya bisa terkirim ke ruang redaksi dengan tepat waktu agar bisa dicetak dan diterbitkan. Ketika laptop dan warung internet belum ada, wartawan menenteng mesin ketik yang lumayan besar dan berat adalah hal biasa. Bagaimana cara mengirim berita dari daerah yang belum ada kantor telepon atau kantor telegram (telex) sementara berita harus naik cetak malam ini?

Kegesitan, kejelian, dan kecerdasan setiap wartawan masa itu betul-betul diperlukan setiap waktu. Tetapi, keterbatasan fasilitas tidak mengurangi kualitas berita yang dilaporkan. Berita bencana alam di daerah, pencarian jatuhnya pesawat terbang, dan peristiwa lainnya yang terjadi jauh dari kota, bahkan di hutan, tetap bisa terbit dan dibaca masyarakat.

Dulu dan Sekarang

Kritik perlu disampaikan bahwa dalam hal tertentu, banyak wartawan masa kini kualitasnya menurun jika dikaitkan dengan banyaknya fasilitas dan kemudahan dalam mengumpulkan bahan berita. Termasuk cara mengirim materi berita ke ruang redaksi yang begitu mudah dan cepat. Dengan berlimpahnya informasi dan kemudahan menjalankan profesi wartawan, seharusnya berita yang disajikan dapat lebih baik lagi atau lebih dalam penyajiannya.

Yang terjadi banyak disajikan dalam bentuk informasi, mengabaikan kaidah jurnalistik, dan kurang berimbang. Banyak ditemukan antara media satu dan lainnya menerbitkan materi berita yang sama tanpa ada kelebihan. Terjadi kecenderungan para wartawan mencari berita bersama- sama dengan narasumber yang sama kemudian, banyak terjadi pada media online, mengirim berita ke redaksi pada saat yang sama juga. Alhasil, media satu dan lainnya menjadi mirip.

Memburu sumber berita dengan cara berkelompok bukan sesuatu yang salah. Tetapi, menyajikan hasil buruannya haruslah dengan bumbu yang berbeda agar betul-betul memenuhi selera pembaca dan memberi pengetahuan baru. Bagaimana cara mendapatkan bumbu yang berbeda? Itulah tugas wartawan dengan kejelian, kecerdasan, kecerdikan, dan kadang perlu sedikit menabrak aturan untuk mendapatkan bumbu baru dan beda.

Maka itu, tidak ada cara lain, seorang wartawan dituntut harus terus-menerus belajar. Jika malas belajar, meminjam istilah Bung Karno, bisa gawat akibatnya. Dibandingkan wartawan tempo doeloe, wartawan masa kini jauh lebih baik dalam hal pendidikan yang mayoritas lulusan perguruan tinggi. Namun, pada zaman di mana media begitu banyak dan persaingan cukup ketat tidak bisa dipungkiri banyak wartawan menabrak etika jurnalisme.

Atas alasan berita harus segera disiarkan, khawatir media pesaing lebih dahulu terbit, media sosial lebih dahulu menginfokan, aturan seperti check and recheck pun diabaikan. Kejar-mengejar dan dahulu-mendahului sesama media mirip bus Metromini yang mengabaikan aturan dan keselamatan (keakuratan berita) tidak terhindarkan lagi. Jurnalisme angkot ini sungguh gawat karena membawa berita yang prematur.

Konyolnya lagi, sering terjadi pada media online, begitu kedapatan berita yang sudah naik ternyata salah dengan mudah redaksi menghapus dari halaman medianya. Sesuatu yang tidak akan terjadi pada masa lampau. Yang juga menarik, belakangan ini, munculnya ide kreatif sejumlah wartawan saling mengkopi rekaman wawancara yang mereka beri istilah cloning audio.

Kasusnya, biasanya, dalam sebuah acara jumpa pers atau wawancara ada wartawan terlambat hadir sehingga tidak sempat merekam. Tetapi, karena dituntut harus menyiarkan peristiwa tersebut berikut audionya, rekam-merekam sesama wartawan terjadi. Wartawan radio banyak melakukan cara ini walau tidak semua. Dengan kenyataan tersebut menjadi terkesan mudah sekali menjadi seorang wartawan. Tentu ini tindakan yang tidak elok, tetapi dianggap sah dan wajar.

Gawat! Harus diakui bahwa dalam era klik (sekali klik muncul semua) yang hiruk-pikuk ini masih tetap ada media cetak, online, radio dan televisi yang baik, memberikan pencerahan dan pendidikan. Mereka masih dinilai sebagai media yang layak sebagai rujukan di tengah begitu banyak bermunculan media baru.

Wartawan Bodrex

Wartawan abal-abal juga populer dengan sebutan wartawan bodrex. Siapa orang yang memulai menyebut dengan istilah wartawan bodrex memang tidak jelas. Tetapi, istilah ini muncul pada dekade delapan puluhan ketika sekelompok orang mengaku wartawan dan selalu hadir dalam berbagai acara dengan alasan meliput. Namun, berita liputannya tidak pernah muncul di media karena medianya memang tidak ada.

Kelakuan para abal-abal ini biasanya menyerbu panitia kegiatan atau pejabat, pengusaha, dan lainnya dalam suatu acara, juga di kantor atau rumah. Tujuannya bukan mencari materi berita, tetapi minta uang. Saat kelompok abal-abal mulai beroperasi wartawan sejati yang sedang meliput biasanya menepi seraya berbisik kepada sesama teman wartawan, ”Awas, bodrex menyerang!”

Kalimat bodrex menyerang ini terinspirasi dengan iklan obat sakit kepala Bodrex yang ketika itu populer di TVRI. Tampak di televisi pasukan tentara Bodrex menyerang virus sakit kepala yang tiba-tiba datang. Gambar iklan disertai teriakan para pasukan tentara Bodrex, ”Bodrex menyerang!” Keberadaan wartawan bodrex atau abal-abal ini pada kenyataannya tumbuh subur dan sulit hilang karena memang ”dipelihara” pihak tertentu.

Setidaknya mereka hidup karena ada pihak-pihak berkepentingan untuk kerja sama memainkan uang anggaran kantor pemerintah. Karena sulit memengaruhi wartawan sejati untuk kerja sama memainkan anggaran, staf pemerintahan mengajak wartawan bodrex bermain. Lama kelamaan keberadaannya sama dengan wartawan. Jumlahnya bahkan makin banyak karena satu abal-abal kemudian mengajak dua abalabal lainnya.

Banyak pejabat mengaku pusing menjelang hari raya karena tiba-tiba disodori puluhan nama wartawan bodrex dari media abal-abal untuk diberi THR. Suatu kali bahkan muncul peristiwa nekat di Senayan, kaum abal-abal memohon sumbangan kematian seorang rekannya kepada sejumlah anggota Dewan.

Setelah sukses terkumpul dana dari anggota Dewan tersebut selanjutnya dibagi rata dengan yang dikabarkan meninggal tadi. Jadi, yang meninggal ikut ngopi sambil bagi hasil uang dari anggota Dewan.

Tapi, apakah antara obat Bodrex dengan wartawan bodrex ada kaitan dan kesamaan? Tentu tidak. Sebab, obat Bodrex menyembuhkan sakit kepala, sedangkan ”wartawan bodrex” justru membuat sakit kepala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar