Selasa, 16 Februari 2016

Menjadi Wartawan

Menjadi Wartawan

Komaruddin Hidayat  ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
                                               KORAN SINDO, 12 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di Jakarta, kuliah sambil bekerja atau bekerja sambil kuliah, rupanya tidak sulit dijalani. Banyak keluarga di kota besar yang memerlukan guru privat untuk mengajari matematika dan agama untuk anak-anaknya.

Tentu ini peluang bagus bagi mahasiswa yang terjun bebas ke Jakarta seperti saya yang tidak mendapatkan dukungan uang dari keluarga di kampung karena memang tidak mampu. Pagi saya kuliah, sorenya mengajar privat agama dan aktif bakti sosial di Kompleks Mabad, Rempoa, tak jauh dari kampus.

Di kompleks ini saya dikenal layaknya pelaksana tugas pengurus RK (rukun kampung) yang mengurus KTP dan berbagai kepanitiaan acara sosial. Semuanya saya jalani dengan riang. Yang penting saya bisa kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, sebuah dunia baru yang sangat menggairahkan.

Keberhasilanku terdaftar sebagai mahasiswa pada perguruan tinggi negeri sungguh merupakan hiburan dan anugerah hidup di luar perhitungan nalar mengingat agenda pertama saya ke Jakarta mau bekerja sebagai buruh, apa pun jenis pekerjaannya yang penting halal untuk menopang hidup mencari pengalaman di Ibu Kota.

Saya tercatat sebagai mahasiswa IAIN angkatan 1974 yang berlokasi di Ciputat, wilayah perkampungan yang masih sepi dan sangat tenang saat itu. Berkat aktivitasku di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Ciputat, saya berkenalan dengan senior saya, Farid Hadjiri, yang kuliah sambil bekerja sebagai wartawan Panji Masyarakat di bawah kepemimpinan almarhum Buya Hamka.

Dari perkenalan inilah sebuah jalan baru terbuka. Saya sampaikan ke Mas Farid, saya ingin belajar dan bekerja sebagai wartawan. Sejak dari pesantren saya sudah terbiasa menulis dan membuat mading atau majalah dinding. Bahkan Kiai Hamam Ja’far (alm) mewajibkan menulis buku harian dan seminggu sekali menyusun karangan lepas yang kemudian dijadikan bahan latihan pidato (muhadharah) di depan teman-teman. Setelah berlalu belasan tahun saya baru sadar bahwa membiasakan menulis akan berpengaruh untuk berpikir sistematis, ekonomis, dan terstruktur.

Demikianlah, tahap awal saya diajak melihat dan mendampingi Mas Farid melakukan wawancara tokoh sambil memegang kamera. Ketika hasil wawancara terbit di majalah, otakku mengingat kembali dan merenungkan tahapan proses dari awal wawancara sampai tersajikan dalam rubrik majalah, dengan disertai foto. Hatiku berkata, saya pasti bisa bekerja sambil kuliah sebagai wartawan, minimal sebagai reporter karena saya sudah terbiasa menulis esai.

Pikirku, wartawan itu keren, bisa bertemu tokoh-tokoh hebat, pekerjaan bisa dilakukan di luar jam kuliah. Sosok lain yang menginspirasi saya merambah dunia wartawan adalah Fachry Ali, sesama mahasiswa IAIN angkatan ‘74 yang juga aktif di HMI Ciputat. Sejak mahasiswa Fachry Ali rajin menulis puisi, naskah drama, dan menulis opini di surat kabar. Saya, Fachry Ali, disusul Iqbal Saimima (alm) dan Azyumardi Azra akhirnya bergabung sebagai wartawan Panji Masyarakat sambil kuliah dan aktif di HMI.

Terdapat korelasi positifproduktif antara professi wartawan dan dunia mahasiswa. Sebuah kerja semi-intelektual yang mendatangkan uang, memperluas pengetahuan dan pergaulan yang sekaligus juga memperkaya wawasan sebagai aktivis mahasiswa. Dengan pengalaman jurnalistik meliput acara-acara seminar nasional dan internasional, duduk di kelas mendengarkan kuliah dosen terasa ringan dan mudah membuat kesimpulan.

Mungkin pengaruh dari pengalaman bertemu berbagai tokoh nasional, muncul kesombongan membuat penilaian siapa dosen yang berbobot dan siapa dosen yang ilmunya pas-pasan. Siapa dosen yang rajin membaca dan mengikuti buku-buku mutakhir, dan siapa dosen yang hanya mengandalkan buku teks lama.

Berdekatan dengan Buya Hamka, seorang ulama dan pujangga besar yang semua novelnya pernah saya baca, sungguh sangat membanggakan dan menambah rasa percaya diri saya bekerja sebagai wartawan majalah Panji Masyarakat . Penyajian majalah dituntut memiliki bobot ilmiah dan mendalam, beda dari surat kabar berita.

Suatu pengalaman yang tak pernah lupa, suatu hari saya membuat janji wawancara dengan Dr Taufik Abdullah, sejarawan ternama, seputar Islam dan politik di Indonesia. Mungkin kurang percaya dengan penampilan saya, justru dia yang memulai mengajukan pertanyaan pada saya:

”Pernah membaca buku karangan saya? Apa kesan saudara tentang buku itu?” Langsung saya jawab dengan lancar dan percaya diri isi buku Islam Indonesia sehingga Taufik Abdullah berkata,”Baik, wawancara bisa kita mulai. Saya percaya pada kemampuan saudara untuk memahami pikiran saya.”

Pengalaman serupa ternyata saya temui lagi ketika wawancara Bang Ali Sadikin, Gubernur DKI waktu itu. Dia mengajukan pertanyaan, berupa jumlah penduduk Jakarta, apa problem terbesar yang dihadapi masyarakat Jakarta? Rupanya dia ingin menjajaki kesiapan intelektual saya untuk berdiskusi dan menangkap pemikirannya seputar kehidupan sosial Ibu Kota.

Sekian narasumber yang pernah saya wawancarai seperti Juwono Sudarsono, Sarlito Wirawan Sarwono, Suryanto Puspowardoyo, sampai sekarang masih terjalin persahabatan intelektual. Figur-figur yang telah meninggal yang semasih hidup pernah saya wawancarai dan terjalin persahabatan layaknya guru dan mahasiswa antara lain Mochtar Lubis, Ruslan Abdul Gani, Andi Hakim Nasution, Adam Malik, Slamet Iman Santoso, dan beberapa tokoh lain.

Mereka semua telah menularkan virus intelektual, bahwa saya tidak boleh berhenti sebagai wartawan yang membuat janji untuk wawancara. Suatu saat wartawan yang mencari dan menemui saya untuk minta wawancara, tekadku kala itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar