Senin, 29 Februari 2016

Selamatkan RUU Kebudayaan

Selamatkan RUU Kebudayaan

Yudhistira ANM Massardi ;   Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa,
 TK-SD Batutis Al-Ilmi di Bekasi
                                                     KOMPAS, 27 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ramainya penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Kebudayaan yang sekarang tengah dalam pembahasan pemerintah terasa menggembirakan sekaligus menyedihkan. Dikatakan menggembirakan karena di tengah rusak dan runtuhnya etika, moral, nilai-nilai, norma-norma, serta konvensi-konvensi yang selama ini menjadi penyangga peradaban dan persatuan bangsa, masih ada suara-suara dan keyakinan-keyakinan bagi pentingnya menjaga nilai-nilai luhur kebudayaan dengan keragaman maknanya.

Disebut menyedihkan karena argumen-argumen canggih yang "pokoknya menolak" itu, ironisnya, justru bagaikan senandung puritanisme dari menara gading yang seolah-olah juga menolak perubahan. Penolakan tersebut justru terasa bagaikan sebuah sikap pembiaran terhadap seluruh kerusakan adab dan budaya yang tingkat kekerasan dan intoleransinya sedang menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan peradaban bangsa sekarang ini.

RUU tersebut memang memiliki banyak kelemahan, terutama perangkap yang bisa menjerumuskan negara menjadi rezim totaliter, seperti rezim Mao di Tiongkok dengan Revolusi Kebudayaan-nya yang merusak dan berdarah. Namun, di sisi lain, melihat urgensinya, sesungguhnya RUU yang seharusnya bernama "RUU Produk Kebudayaan" itu sangat dibutuhkan kehadirannya sekarang ini!    

Kementerian Kebudayaan

Jika RUU itu bisa segera diundangkan dengan perbaikan di sana-sini, dan sesudah itu pemerintah bersama DPR secara saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya membuat aturan pelaksanaannya, maka akan sangat banyak hal yang bisa diwujudkan dan diselamatkan.

Selain mengandung hal-hal negatif sebagaimana yang terungkap dalam banyak argumen yang disiarkan koran ini, sesungguhnya banyak juga hal positif yang ditawarkan RUU ini, yang sejatinya sejak lama menjadi impian para pemikir dan khususnya para pelaku seni dan budaya di negeri ini.

Pertama, jika menjadi UU, maka inilah produk hukum yang akan memerintahkan kepada negara, siapa pun presidennya, untuk membentuk sebuah Kementerian Kebudayaan yang otonom, mandiri, dan membebaskan "kebudayaan"  dari statusnya selama ini yang hanya menjadi  "embel- embel" dari Kementerian Pendidikan. Padahal, kebudayaan adalah ibunda yang menjadi rahim bagi seluruh embrio kehidupan dan peradaban. Adalah kebudayaan yang melahirkan pendidikan, hukum, pasar, tradisi, seni dan sebagainya. Bukan sebaliknya!

 Bukankah itu yang selama ini ditangisi dan diidamkan oleh para seniman dan budayawan? Yakni, adanya sebuah Kementerian Kebudayaan yang memiliki  kewenangan dan anggaran yang otonom.

Ia akan menjadi sebuah lembaga tinggi negara yang akan dihuni oleh para empu dan pakar seni dan budaya, yang kelak- bersama masyarakat-merumuskan sebuah politik dan strategi kebudayaan bagi peningkatan kualitas hidup, adab, dan martabat bangsa. (Semoga rezim pemerintah yang sekarang membahasnya tidak mengebiri peluang lahirnya Kementerian Kebudayaan ini!)

Perisai bangsa

Kedua, inilah UU yang akan memerintahkan kepada negara agar segenap pemerintahan dari tingkat pusat hingga daerah melakukan inventarisasi, revitalisasi, menghidupkan kembali, memfasilitasi, mendanai, dan memanfaatkan seluruh kekayaan tradisi, seni, dan budaya warisan nenek moyang maupun yang modern. Semua itu demi dan untuk kemakmuran dan kejayaan bangsa.

Dengan demikian, seluruh akar jati diri bangsa yang beribu-ribu ragamnya akan menggeliat, bertunas, dan bertumbuh kembali dari Sabang sampai Merauke: meneguhkan kemandirian, menghaluskan akal-budi, mengeratkan kebinekaan, mengilaukan "zamrud khatulistiwa", dan memberikan warna otentik di aras global.

Jika itu terjadi, bukan hanya keadiluhungan budaya dan kegairahan ekonomi (industri kreatif/turisme) yang akan marak bergerak serempak, melainkan juga perisai bangsa akan tegak: menahan, menangkal, dan melawan budaya asing yang negatif dan destruktif, baik yang datang dari Barat maupun dari Timur, seperti Talibanisme dan Wahabianisme yang menjadi penghancur artefak seni budaya peninggalan nenek moyang. Meski demikian, semangat untuk menghidupkan kembali jiwa Islam Nusantara, pendidikan karakter bangsa, revolusi mental, mendapatkan fondasi yang nyata, kokoh, dan membumi.

Untuk kesejahteraan

Dalam pada itu, nasib para pelaku seni dan budaya akan mendapatkan perlindungan dan jaminan dari negara bagi kinerja serta eksistensinya. Artinya, inilah UU yang mewajibkan negara memberikan fasilitas dan modal serta pasar untuk membantu para pelaku seni dan budaya agar mereka bisa terus bekerja, berproduksi, ekshibisi, berpromosi,  meningkatkan kemampuan untuk bisa gagah berkompetisi di pasar bebas ASEAN dan dunia. Dengan begitu, berkat hasil cipta-karyanya yang laku dan dimuliakan, mereka bisa mencapai kesejahteraan, dan bisa menikmati kehidupan masa tua yang layak dan terhormat.

Jadi, sekali lagi, setelah direvisi seperlunya, RUU Produk Kebudayaan ini harus diselamatkan dan diundangkan. Segera sesudah itu, aturan pelaksananya harus dibuat selekas-lekasnya. Agar industri kreatif secara keseluruhan mendapatkan payung dan perlindungan hukum yang kuat serta dorongan penciptaan yang bergairah. Agar akhlak dan moral bangsa yang bobrok dan koruptif bisa segera dihaluskan dengan suara gending dan puisi. Agar nafsu dan perilaku kekerasan yang sudah merusak jiwa orang dewasa hingga kanak-kanak bisa dihentikan dengan kebersamaan dan harmoni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar