Senin, 15 Februari 2016

Akhir Sejarah

Akhir Sejarah

Trias Kuncahyono  ;   Penulis Kolom “KREDENSIAL’ Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 14 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dahulu kala, pada suatu masa, sekitar tahun 2004 SM, Kekaisaran Neo-Sumeria yang diperintah oleh Dinasti Ketiga Ur, jatuh. Kerajaan itu runtuh oleh invasi, pemberontakan, dan kelaparan. Kota Ur yang berdiri di tepi Sungai Efrat, Mesopotamia Selatan, sekarang daerah Irak Selatan, itu tinggal cerita. Sungai Efrat terus mengalir ke selatan dan bertemu dengan Sungai Tigris. Keduanya bersatu masuk ke Teluk Parsi, melupakan Ur.

Ketika itu yang berkuasa adalah Ibbi-Sin. Ia raja yang lemah. Karena itu, ketika salah seorang pemimpin militernya, Ishbi-Erra, memberontak, Ibbi-Sin tak berdaya. Runtuhlah Kekaisaran Neo-Sumeria. Dan, berakhirlah kekuasaan orang Sumeria, digantikan orang keturunan Semit, Ishbi-Erra (Susan Wise Bauer, Sejarah Dunia Kuno, dari Cerita-cerita Tertua sampai Jatuhnya Roma, 2010).

Kejatuhan Ur diratapi. Tidak hanya keluarga kerajaan, rakyat, tetapi juga para seniman, artis, dan para penggerak budaya pada masa itu yang meratapi kejatuhan Ur. Kejatuhan Ur tidak hanya berarti kejatuhan sebuah kota, tetapi juga kejatuhan suatu kebudayaan. Kepedihan akan kejatuhan Ur itu antara lain terungkap dalam puisi-puisi:

Mayat-mayat ditumpuk di gerbang-gerbang kota yang megah,
di jalan-jalan tempat dahulu pesta-pesta diselenggarakan berserakan kepala-kepala,
di tempat dahulu tari-tarian ditampilkan, mayat-mayat bertimbun-timbun...
Di sungai, debu telah menggunung,
tidak ada lagi air yang mengalir disalurkan ke kota
dataran yang tertutup rumput telah retak-retak seperti tungku pembakaran.

Tragedi yang menimpa Ur, lebih dari 3.000 tahun itu, seperti berulang. Dan yang menjadi korbannya adalah Baghdad, kota megah yang ketika itu menjadi pusat Kekhalifahan Abbasiyah. Baghdad ada di wilayah Irak bagian tengah dan sekarang menjadi ibu kota Irak.

Kala itu, tanggal 12 Muharam 656 atau 19 Januari 1258. Sebanyak 200.000 tentara berkuda Mongol mengepung Baghdad yang hanya dijaga 10.000 tentara berkuda. Di bawah pimpinan Hulagu, pasukan Mongol mendirikan tenda di sekeliling tembok kota.

Semula Khalifah Al-Mu’tashim dari Bani Abbasiyah, penguasa Baghdad, bersama rakyatnya bertekad akan menghadapi pasukan Mongol. Namun, akhirnya menyadari bahwa kekuatan mereka tidak seimbang. Daripada darah orang-orang tak berdosa membasahi bumi Baghdad, Al-Mu’tashim dan dua putranya disertai para pembesar istana memutuskan menemui Hulagu.

Apa yang terjadi ketika Khalifah dan rombongannya bertemu Hulagu? Mereka dibunuh. Niat baik dibalas dengan kekejaman luar biasa. Al-Mu’tashim dipenggal kepalanya.

Hulagu lantas memimpin pasukannya masuk Baghdad. Mereka membunuh 800.000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tinggal di Baghdad. Jenazah mereka dibiarkan bergelimpangan di mana-mana, selama 40 hari. Darah mengalir bagaikan sungai dan bergerak mengalir masuk Sungai Tigris. Itulah tragedi yang digambarkan dalam The Fall of Baghdad (Trias Kuncahyono, dari Damaskus ke Baghdad, 2004).
Sejarah seperti selalu berulang, l 'histoire se répète. Philip Guedalla (1889-1944), seorang pop kultur asal Inggris, mengatakan, ”Sejarah berulang dengan sendirinya. Sejarawan saling mengulang satu sama lain.” Sebelumnya, Karl Max (1818-1883) pernah mengatakan, ”Sejarah mengulang dirinya sendiri, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon.”

Namun, yang terjadi di Baghdad pada tahun 1258 tentu bukan lelucon, melainkan tragedi. Tragedi umat manusia. Bagaimana orang dengan mudah membunuh sesama. Pembunuhan dengan keganasan seperti itu selalu terjadi pada setiap zaman, dengan cara yang berbeda-beda. Khmer Rouge (Khmer Merah), selama empat tahun berkuasa di Kamboja, 1975-1979, menghancurkan Kamboja secara lengkap, baik ekonomi, politik, maupun demografi. Mereka membunuh 2,5-3 juta orang. Hitler dengan pasukan Schutzstaffe atau SS membunuh sekitar enam juta orang Yahudi, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara dipaksa menghirup gas beracun, ditembak, dipukuli, disiksa, dan juga dijadikan eksperimen ”ilmiah” serta dibiarkan kelaparan. Masih banyak lagi contoh lainnya.

Perang di Suriah sekarang ini juga merupakan tragedi kemanusiaan yang tak terkira. Sejak pecah pergolakan 15 Maret 2011, sudah lebih dari 250.000 orang tewas, 4 juta orang mengungsi, dan 7 juta orang lainnya tercerai-berai mencari selamat. Situasi di Suriah dan juga Irak bertambah buruk setelah lahirnya kelompok bersenjata yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ ISIS). Sepak terjang mereka menggilas nilai-nilai kemanusiaan, merontokkan harkat kemanusiaan. Mereka membunuh siapa saja yang tidak sejalan dengan ideologi dan garis hidup mereka.

Suriah menjadi medan laga, medan perang dari berbagai pihak—pasukan pemerintah melawan oposisi bersenjata, melawan NIIS; oposisi dan NIIS berebut wilayah. Situasi bertambah rumit karena terlibatnya kekuatan luar: AS, Rusia, negara-negara Arab, Iran, dan Turki. Rusia yang mendukung rezim Bashar al-Assad, misalnya, setiap hari dengan mesin perangnya menebar kematian. Prospek perdamaian di negeri itu semakin suram. Sementara NIIS hingga kini belum bisa diredam bahkan menebar teror dan kematian keluar dari Suriah dan Irak. Mereka masuk ke Libya, Eropa, bahkan sampai ke Indonesia.

Apakah Suriah akan memasuki tahap, mengutip istilah yang digunakan oleh Francis Fukuyama (1989) the end of history? Suriah akan berakhir dan muncul negara-negara baru di bekas negara itu? Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan pada Libya, yang hingga kini masih didera perang saudara. Nasib yang sama juga menimpa Yaman, demikian pula Irak. Apabila pihak-pihak yang berseteru di Suriah juga di negara-negara lain tidak mau berkompromi dan bersepakat, ”akhir sejarah” itu tidak mungkin dihindarkan.

Dahulu, orang-orang Ur menunjuk dewa bulan, Nanna, dan dewa-dewa pelindung lainnya tak berdaya melindungi kota itu. Mereka pun berkeluh kesah:

Bapa Nana
nyanyianmu telah berubah menjadi tangisan,
kotamu menangis di hadapanmu, seperti seorang anak hilang di jalan
rumahmu menjulurkan tangan kepadamu
sambail berteriak, ”Di manakah kamu?”
Berapa lamakah engkau akan menjauh dari kotamu?

Tetapi, kepada siapakah rakyat Suriah, Irak, Yaman, dan Libya akan berkeluh kesah? Tidak ada lagi dewa-dewa di sana. Bahkan, tidak ada lagi homo homini socius (manusia menjadi sahabat bagi sesamanya), tetapi yang ada hanyalah homo homini lupus (manusia sebagai serigala bagi sesamanya). Manusia benar-benar telah kehilangan kemanusiaannya. Buta terhadap manusia lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar