Minggu, 14 Februari 2016

Koalisi

Koalisi

Putu Setia  ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                              KORAN TEMPO, 13 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ROMO Imam menepuk jidatnya begitu membaca "teks berjalan" di layar televisi yang mengabarkan ada 25 orang meninggal dunia di Sleman, Yogyakarta, karena minum minuman oplosan. "Media sangat aneh, pantas Presiden Jokowi pun memberikan kritiknya. Ada 25 nyawa melayang karena minuman oplosan tapi beritanya hanya sekilas, sementara satu orang mati minum kopi beritanya menggegerkan Nusantara," katanya.

Saya menanggapi dengan santai. "Kita mudah tergiring dengan opini yang dibentuk media massa. Makanya Romo, mari kita membicarakan hal-hal yang mulai dilupakan orang," kata saya. "Misalnya, kita bicara soal reshuffle kabinet."

Romo tampaknya terpancing. "Reshuffle kabinet itu kan berangkat dari isu partai oposisi yang membelot mendukung pemerintah. Koalisi Merah Putih katanya mulai ditinggalkan beberapa partai, lalu muncul dugaan Jokowi akan memberikan hadiah menteri kepada partai yang baru mendukung. Padahal Jokowi belum tentu memberikan jatah itu. Lagi pula partai yang hengkang dari koalisi itu kan cuma dagelan."

Ah, saya terkesiap. Romo melanjutkan, "Koalisi Merah Putih dibentuk untuk membendung partai-partai yang mendukung Jokowi. Karena calon presiden mereka kalah dan tak mungkin dapat jabatan di eksekutif, koalisi bergerilya menguasai pimpinan parlemen. Secepat kilat membuat undang-undang baru untuk merebut jabatan penting di parlemen. PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu yang secara etika politik mestinya menjadi pimpinan DPR, tak berdaya. Kini, setelah pimpinan parlemen mereka pegang, incaran selanjutnya jabatan eksekutif, berebut jatah menteri. Jalan satu-satunya adalah seolah-olah mendukung pemerintah."

"Seolah-olah, Romo?" saya kaget. "Ya, seolah-olah. Kalau mereka betul mendukung Jokowi dengan ikhlas, semestinya mereka rela pimpinan parlemen dikocok ulang dan diberikan kepada partai pemenang pemilu. Anggap sebagai imbalan agar Jokowi dan partai pengusung semakin mesra. Tapi itu tak terjadi. Lagi pula, kalau mereka serius mendukung Jokowi, kebijakan Jokowi pun harus didukung. Ini kan tidak," kata Romo.

Saya menyela, "Kebijakan apa yang tak didukung?" Romo menjawab, "Satu contoh saja, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sembilan fraksi di DPR menyetujui isi draf revisi itu dalam rapat di Badan Legislasi DPR pada Rabu lalu. Yang menolak hanya Partai Gerindra. Sehari setelah itu, Partai Demokrat berbalik mendukung Gerindra. Padahal Gerindra merasa ditinggalkan sendiri di Koalisi Merah Putih dan Demokrat bukan partai koalisi pendukung Jokowi."

Romo melanjutkan, "Malah pengusul draf itu Ichsan Soebagyo dari PDI Perjuangan. Yang direvisi terkait jabatan komisioner KPK, Dewan Pengawas, wewenang SP3 oleh KPK, penunjukan penyidik dan penyelidik independen oleh KPK, serta wewenang menyadap. Ini semua memperlemah KPK dan yang ditentang Jokowi."

"Wah, kalau begitu, koalisi tak ada artinya," saya memotong. "Persis begitu," jawab Romo cepat. "Koalisi itu hanya mengincar jabatan, bukan mendukung kebijakan. Ada koalisi atau tidak, koalisi gendut atau kurus, sama saja selama partai-partai bertujuan mengumpulkan duit untuk pemilu mendatang. Apalagi Pemilu 2019 berbeda, presiden dan DPR dipilih serentak dan setiap partai peserta pemilu berhak mencalonkan presiden dan wakil presiden. Tak perlu kuota suara, yang diperlukan duit. Maka jadi aneh tabiat partai sekarang, menyebut pendukung pemerintah tetapi menelikung. Yang berada di luar pemerintah justru mendukung Jokowi."

Saya nyeletuk, "Terbalik-balik dan memang lucu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar