Senin, 29 Februari 2016

Media dan Konspirasi

Media dan Konspirasi

Irwanto ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta
                                                     KOMPAS, 27 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sungguh menarik mengamati tren pemberitaan di media dan kaitannya dengan gejolak masyarakat. Bukan saat ini saja, sudah lama media di negeri ini dimiliki oleh politisi dan dijadikan bagian dari kiprah politik pemiliknya. Akibatnya, banyak sekali kepentingan publik yang tidak terkait dengan urusan politik jadi dirugikan.

Provokasi media?

 Ada dua contoh dalam tulisan ini. Pertama, kasus JIS (April 2014) yang berkaitan dengan kejahatan pedofilia. Sebelum kasus itu terungkap, partai yang berkuasa dirundung berbagai peristiwa memalukan yang berpotensi merambah istana. Kasus JIS dan kekerasan seksual adalah isu sempurna untuk mengalihkan perhatian publik dari skandal politik. Apalagi, pada 5 Mei 2014 terungkap kasus kekerasan seksual di Sukabumi terhadap 110 anak. Semakin sempurnalah kesempatan melencengkan persoalan.

Media yang membuat berita provokatif tentang JIS dan Sukabumi ditanggapi secara emosional oleh publik. Semua kemarahan dan frustrasi publik karena merasa dikhianati partai politik yang pernah memberikan harapan tertumpah ruah pada institusi "asing" yang dianggap mewakili komunitas kelas atas. Sebaliknya, kasus Sukabumi luput dari perhatian.

Tanggal 8 Mei 2014, Presiden menyelenggarakan rapat kabinet terbatas dengan mengundang aktivis dan ahli perlindungan anak sekaligus mengesahkan Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual terhadap Anak (GN-AKSA). Maka pimpinan nasional muncul sebagai figur "pemimpin yang peduli" dan menarik simpati publik.

Contoh berikutnya adalah hebohnya kasus ketua DPR dan Freeport akhir tahun lalu. Kasus ini membuat publik merasa muak dengan politik dalam negeri. Saat seru-serunya perhatian publik pada kasus tersebut, muncul pemberitaan tentang penyebab terbunuhnya mahasiswa Universitas Indonesia yang diduga karena hubungan asmara lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT). Isu makin mencuat ketika ada lagi berita pembunuhan wanita bernuansa LGBT.

Kasus pembunuhan seperti ini sudah berulang kali menjadi berita, tetapi tidak pernah ditanggapi media sehebat ini dan memunculkan gerakan anti LGBT yang dikonstruksikan sebagai kekuatan internasional untuk menghancurkan bangsa Indonesia. Apa pun motif di balik pemberitaan itu, tujuan mereka tercapai. Untuk kesekian kalinya media berhasil mengaduk-aduk emosi masyarakat dan nyaris menciptakan ketegangan yang dapat berujung pelanggaran HAM.

Tentu saja menghubung-hubungkan peristiwa seperti di atas perlu dukungan fakta lebih dalam untuk membuktikan benar tidaknya ada rekayasa media untuk pembelokan perhatian publik. Namun, hal ini bukan mustahil terjadi.

Pelengkap penderita

Masyarakat Indonesia sudah lama sekali hidup bersama fenomena LGBT tanpa masalah, bahkan mau mengeluarkan uang untuk menikmatinya. Lebih dari 40 persen industri enter(info)tainment memanfaatkan fenomena itu untuk mengeruk keuntungan. Tipisnya batasan jenis kelamin dalam gaya hidup dan fashion juga masih kita nikmati sampai hari ini.

Pengaruh mereka dalam budaya tradisional baik dalam seni pertunjukan (ludruk, warok) maupun komunitas adat (Bissu di Sulawesi Selatan) tidak pernah ada masalah dan bahkan diapresiasi. Selama ini, fenomena LBGT dalam kehidupan masyarakat tidak menimbulkan gejolak berarti. Mengapa tiba-tiba persoalan ini dipertanyakan dan didorong ke ranah moral dan agama?

Jika LGBT hanya didorong masuk ke dalam perdebatan moral, persoalan HAM akan muncul dan mudah diselesaikan. Namun, jika basis moralnya adalah agama, maka pertimbangan substansi menjadi pertimbangan terakhir. Kita ingat betapa Galileo Galilei (1564-1642) dihukum dan dikucilkan Gereja Katolik karena membela pandangan heliosentrisme Copernicus (1473-1543). Galileo melalui pengamatan dan perhitungan matematikanya menyatakan bahwa Bumi-lah yang berputar mengelilingi Matahari, bukan sebaliknya seperti dipercaya dalam Alkitab. Jika Gereja Katolik menerima pandangan Copernicus dan Galieo, dikhawatirkan umat bisa habis. Jadi inilah alasannya, bukan persoalan benar atau salah empirik.

Demikian juga persoalan LGBT. Perdebatan empirik tak akan pernah ada ujungnya karena masing-masing kubu akan mencari bukti-bukti empirik pendukung. Jika ujungnya adalah agama, seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini, maka kepentingan umat menjadi lebih menonjol.

Manuver merugikan

Jika asumsi saya cukup meyakinkan pembaca, saya sangat menyesalkan manuver ini. Dalam setahun terakhir, tokoh-tokoh masyarakat melemparkan teori konspirasi penghancuran bangsa oleh kekuatan asing yang dikemas bukan untuk penyelamatan bangsa, tetapi untuk tujuan-tujuan pragmatis. Penggalangan opini untuk pendongkrakan citra politik, keluar dari kemelut politik yang memalukan, rating program, dan lain-lain. Semua ini mempunyai dampak buruk luar biasa.

Teori konspirasi pada hakikatnya menyatakan bahwa ada kekuatan-kekuatan eksternal yang sulit diketahui aktor-aktornya secara pasti, yang bekerja sama untuk menghancurkan bangsa Indonesia melalui narkotika, terorisme, dan gaya hidup LGBT. Ada tiga dampak buruk dari manuver ini.

Pertama, bangsa Indonesia dikonstruksikan sebagai bangsa lemah yang mudah dipengaruhi berbagai kekuatan jahat dari luar. Misalnya, karena Mahkamah Agung AS mengesahkan perkawinan sejenis, keputusan itu seolah-olah akan berdampak katastropik pada kehidupan perkawinan di Indonesia. Jauh panggang dari api.

Kedua, dalam teori konspirasi, kekuatan ataupun pihak yang bermotif jahat dan berhasrat menghancurkan bangsa ada di "luar" negara ini. Akibatnya, publik sulit untuk diajak melakukan due diligent merefleksikan faktor-faktor intern-domestik yang merongrong bangsa. Korupnya sektor hukum, agama, pendidikan, dan politik adalah pembunuh utama bangsa.

Sejarah panjang

Dalam hal narkotika, sejarah mencatat bahwa masalah narkotika sudah dialami negeri ini sejak ditulis Empu Prapanca di Negerakertagama (tahun 689), zaman kolonialisme dan perang candu, lalu zaman hippies tahun 1970-an (Musto, 1999). Bahwa ada unsur budaya global perlu diakui, tetapi seharusnya diakui juga unsur organized crime lokal, kebutuhan lokal, serta bahan lokal yang juga berkontribusi.

Kematian terkait narkoba bukan hanya karena konsumsi, tetapi juga karena kurangnya kemauan politik dan investasi publik pada program rehabilitasi. Sama halnya dengan terorisme, keadilan sosial masih menjadi pekerjaan rumah besar, tak perlu dikaitkan dengan elemen impor.

 Ketiga, teori konspirasi menciptakan ketakutan dan fobia terhadap segala sesuatu yang asing. Kedua hal itu akan mendorong masyarakat melakukan tindakan diskriminasi, pengucilan, bahkan kekerasan terhadap ekspresi yang berbeda. Ini pernah terjadi pada perempuan berhijab pada 1986-1987-an di Indonesia.

Untuk mendorong bangsa ini ke masa depan dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain, kita harus mampu menyikapi manuver-manuver politik lewat media yang membodohkan masyarakat. Media yang tidak dikuasai kekuatan politik harus bahu-membahu dengan masyarakat mengembangkan optimisme, sikap kritis, dan empati dalam membangun lingkungan yang mendukung perkembangan manusia dengan keberagaman mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar