Rabu, 17 Februari 2016

Memperkuat Pelemahan KPK

Memperkuat Pelemahan KPK

Saldi Isra  ;  Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas
                                                     KOMPAS, 15 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di tengah gelombang penolakan, mayoritas kekuatan partai politik yang tergabung di Badan Legislasi DPR menyetujui naskah revisi Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari 10 kekuatan politik di DPR, hanya Fraksi Partai Gerindra dan Partai Demokrat yang secara tegas menolak naskah revisi hasil kerja badan legislasi itu.

Dengan adanya kesepakatan mayoritas tersebut, karya Badan Legislasi DPR hanya tinggal menunggu pengesahan rapat paripurna menjadi rancangan UU usul inisiatif DPR. Ketika hanya dua partai politik yang tidak setuju dengan revisi UU No 30/2002 tentang KPK, banyak kalangan berpandangan bahwa pengesahan dalam rapat paripurna hanya sebatas pemenuhan kebutuhan formalitas belaka.

Namun, karena terjadi pergeseran sikap beberapa kekuatan politik setelah penetapan Badan Legislasi, langkah mendapatkan persetujuan dalam sidang paripurna terpaksa ditunda hingga minggu depan. Artinya, pergeseran ini memberi ruang untuk memperdebatkan lebih dalam ihwal bagaimana sesungguhnya implikasi rencana revisi UU No 30/2002 terhadap masa depan institusi KPK dan sekaligus masa depan agenda pemberantasan korupsi.

Sebelum sidang paripurna terlaksana, akan jauh lebih baik jika substansi revisi UU No 30/2002 ditelaah kembali secara mendalam. Ihwal ini, bagaimana sejatinya empat substansi revisi: (1) keinginan pembentukan dewan pengawas KPK; (2) penyadapan dan penyitaan yang memerlukan izin dewan pengawas; (3) pemberian wewenang bagi KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan; dan (4) pengangkatan penyidik independen dalam koridor "revisi harus memperkuat KPK"?

Dasar utama menggeser ke substansi revisi perubahan disebabkan pengalaman pengujung pada 2015. Ketika itu publik memiliki alasan untuk mempersoalkan dan menggugat revisi UU No 30/2002 karena rencana tersebut tidak termasuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Saat ini jelas berbeda: perubahan UU KPK tercantum sebagai salah satu dari 40 daftar rencana legislasi dalam Prolegnas 2016.

Memperkuat vs melumpuhkan

Pertanyaan mendasar, apakah revisi UU No 30/2002 memenuhi klausul "revisi harus memperkuat KPK" dapat dijelaskan dari empat butir utama yang akan dijadikan materi perubahan? Jika penjelasan keempat substansi perubahan memang menguatkan KPK, tidak kuat alasan meneruskan rencana revisi UU No 30/2002. Namun, jika yang terjadi mengarah ke pendulum berlawanan, rencana revisi mesti dihentikan dan tidak perlu dibawa ke sidang paripurna.

Pertama, pembentukan dewan pengawas KPK. Jamak dipahami, salah satu basis argumentasi menciptakan "institusi baru" berupa lembaga pengawas KPK didasarkan pada pengalaman dan kecurigaan selama ini. Pokok kecurigaan, munculnya penilaian bahwa dalam melaksanakan wewenangnya, KPK sangat mungkin melakukan tindakan di luar ketentuan UU No 30/2002. Bilamana hendak ditelusuri, kecurigaan ini berada di sekitar penggunaan wewenang KPK dalam penyadapan. Karena pandangan demikian, lembaga pengawas KPK dibentuk menjadi institusi yang akan mengontrol penggunaan wewenang penyadapan.

Secara sederhana, alasan yang didasarkan pada kecurigaan tersebut sepertinya masuk akal. Namun, jika dilacak pengalaman penggunaan wewenang penyadapan KPK, tidak terdapat bukti valid yang menunjukkan KPK pernah menyalahgunakan wewenang tersebut. Dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, keinginan membentuk lembaga pengawasan KPK dapat dikatakan sebagai bagian dari strategi memata-matai operasi senyap KPK dalam melacak pergerakan penikmat perilaku koruptif.

Kedua, pengaturan wewenang penyadapan (dan penyitaan) yang memerlukan izin dewan pengawas. Soal ini, pilihan membatasi wewenang penyadapan dengan cara memerlukan izin dewan pengawas berpotensi melumpuhkan langkah penindakan KPK. Potensi melumpuhkan KPK bisa dilacak dari menggelindingnya keinginan penyadapan dilakukan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis dewan pengawas. Disadari atau tidak, syarat komulasi tersebut jelas akan melumpuhkan KPK karena model penyadapan yang dipraktikkan KPK selama ini terbukti sangat ampuh dalam melacak para pencoleng uang negara.

Banyak kalangan percaya, sekiranya cara berpikir untuk mengatur penyadapan tetap diteruskan, KPK akan mengalami kelumpuhan, terutama dalam tindakan operasi tangkap tangan. Karena itu, pada banyak kesempatan, saya selalu mengingatkan, mereka yang sejak awal berencana merevisi UU KPK target sesungguhnya adalah membonsai wewenang penyadapan. Bagaimanapun, selama wewenang penyadapan tidak dibatasi, KPK tetap leluasa "menelusuri" semua kalangan yang berada di episentrum penikmat perilaku koruptif.

Karena itu, bagi sebagian pihak yang amat terganggu dengan penyadapan KPK, mengatur begitu rupa wewenang penyadapan jadi target utama. Artinya, jika rencana pembatasan tetap diteruskan, KPK tidak hanya akan mengalami kelumpuhan, tetapi juga kehilangan mahkotanya sebagai institusi yang ditempatkan sebagai extra-ordinary dalam desain besar pemberantasan korupsi. Dengan demikian, rencana revisi UU No 30/2002 dengan salah satu target utamanya melakukan pembatasan wewenang penyadapan menjadi strategi paling melumpuhkan KPK.

Ketiga, menambahkan wewenang KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Sama dengan kedua usul di atas, penambahan wewenang KPK untuk menerbitkan SP3 sangat mungkin beranjak dari pengalaman sebelumnya, yaitu sangat mungkin KPK keliru dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Sebagaimana di institusi penegak hukum yang lain, SP3 menjadi instrumen menghentikan penyidikan.

Bagi KPK, sebagai lembaga yang sejak awal didesain memiliki kewenangan luar biasa, juga harus disertai aturan yang memaksa lembaga ini bertindak superhati-hati. Ketiadaan kewenangan menerbitkan SP3 merupakan instrumennya. Jika kelak pembentuk UU membuka ruang tersebut, justru pembentuk UU secara tak sadar malah menurunkan standar KPK dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Apalagi mekanisme praperadilan dapat digunakan untuk menilai sah atau tidaknya penetapan status tersangka.

Keempat, memberikan wewenang bagi KPK mengangkat penyidik independen. Secara jujur harus diakui, mungkin hanya wewenang ini yang berpotensi memenuhi koridor untuk memperkuat KPK. Apalagi selama ini memang terjadi perdebatan yang tidak berkesudahan ihwal keinginan KPK merekrut penyidik sendiri di luar penyidik dari polisi dan jaksa. Merujuk bentangan empirik, KPK memang memerlukan penyidik yang direkrut sendiri.

Namun, perlu dicatat, tanpa revisi atas UU No 30/2002, KPK masih dimungkinkan merekrut penyidik sendiri. Sekiranya dilakukan penafsiran sistematis terhadap Pasal 43, 45, dan 51 UU No 30/2002 yang mengatur soal penyelidik, penyidik, dan penuntut pada KPK, maka KPK dimungkinkan merekrut sendiri. Dari ketentuan itu, pengaturan secara spesifik hanya pada posisi penuntut umum yang merupakan jaksa penuntut umum. Aturan terkait siapa yang dapat jadi penuntut umum tentu kembali kepada pengaturannya, yakni UU tentang Kejaksaan.

Misalnya, Pasal 45 UU No 30/2002 menyatakan: penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Dengan adanya frase "diangkat dan diberhentikan oleh KPK", secara kelembagaan KPK dapat mengangkat penyidik yang berasal dari kepolisian dan yang tidak berasal dari kepolisian. Apalagi tak ada ketentuan yang eksplisit menyatakan bahwa penyidik harus berasal dari polisi dan jaksa sebagaimana penegasan soal penuntut umum yang secara eksplisit dinyatakan dari jaksa penuntut umum.

Berdasarkan penjelasan di atas, empat butir utama materi revisi UU No 30/2002 sangat terang tidak memiliki alasan untuk memperkuat KPK. Bahkan, rencana itu dapat dikatakan jadi semacam ancaman sistematis untuk melumpuhkan KPK. Karena itu, dari empat butir substansi perubahan, pendapat yang muncul ke permukaan bahwa revisi UU No 30/2002 dimaksudkan untuk memperkuat KPK ternyata jauh dari kebenaran. Kemungkinan yang akan terjadi, empat butir revisi tersebut justru makin berpotensi memperkuat upaya pelemahan KPK.

Bergantung presiden

Melacak kecenderungan sebagian kekuatan politik di DPR kepada KPK sejak lembaga ini mampu menjamah semua episentrum penikmat perilaku koruptif, publik tidak bisa  berharap terlalu banyak kepada DPR. Dalam posisi demikian, harapan tentunya lebih banyak ditumpukan kepada Presiden Joko Widodo. Harapan demikian muncul karena sejak jadi calon presiden sampai beberapa kesempatan terakhir, ia tak pernah surut dengan posisi "mendukung penguatan KPK". Agar tidak jadi pemanis bibir belaka, paling tidak tiga langkah yang harus dilakukan Jokowi.

Pertama, melakukan konsolidasi semua partai politik pendukung pemerintahan Jokowi untuk menolak rencana revisi UU No 30/2002. Paling tidak, konsolidasi pada partai politik yang masih berada dalam posisi ragu-ragu menerima hasil Badan Legislasi DPR. Tidak hanya itu, komunikasi juga perlu dibangun dengan partai politik lain di luar pendukung pemerintah yang juga tidak sepenuhnya menerima revisi UU No 30/2002. Jika langkah ini dilakukan, kita tidak perlu berhabis energi berada dalam posisi pro-kontra selama pembahasan di DPR.

Kedua, apabila langkah pertama tidak berhasil dilakukan, karena revisi UU No 30/2002 merupakan usul inisiatif DPR, sikap Presiden Jokowi harusnya menjadi sikap menteri yang mewakili presiden di DPR. Dalam soal ini, Presiden Jokowi harus memastikan menteri yang mewakili di DPR benar-benar sejalan dengan sikap Presiden ihwal revisi hanya untuk menguatkan KPK. Langkah pertama, daftar inventarisasi masalah (DIM) yang dibuat pemerintah harus mengarah pada menolak substansi revisi yang dimuat dalam rancangan yang diajukan DPR.

Ketiga, kalau pembahasan antara pemerintah dan DPR terus berlangsung, maka sesuai Pasal 20 Ayat (3) UUD 1945, Presiden harus memastikan pemerintah menolak memberikan persetujuan bersama. Jika mengikuti alur dan logika "persetujuan bersama" dalam Pasal 20 Ayat (3) UUD 1945, dalam hal menteri yang mewakili presiden menolak memberikan persetujuan bersama, maka persetujuan tak akan terjadi. Artinya, dengan tidak mendapat persetujuan bersama, revisi UU No 30/2002 tak akan pernah memasuki tahap pengesahan oleh presiden.

Berdasarkan penjelasan tersebut dan mengikuti logika posisi Presiden di dalam proses pembahasan rancangan undang- undang, publik masih memiliki harapan bahwa revisi UU No 30/2002 akan kandas di tengah jalan. Kuncinya, Presiden Jokowi harus istikamah dengan janji mendukung penguatan KPK. Kita baru khawatir jika naskah yang dihasilkan Badan Legislasi DPR dimaknai Jokowi bukan sebagai bentuk pelemahan KPK. Kalau itu terjadi, Jokowi akan berada dalam barisan yang memperkuat pelemahan KPK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar