Selasa, 16 Februari 2016

Islam Melampaui Politik?

Islam Melampaui Politik?

Ahmad Fuad Fanani  ;  Peneliti MAARIF Institute for Culture and Humanity;
BPRI LPDP Awardee di the University of Toronto, Kanada
                                               KORAN SINDO, 13 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jika kita memfokuskan relasi Islam dan negara di Indonesia hanya dalam bidang politik, tampaknya yang terdengar lebih banyak adalah cerita-cerita kekalahan umat Islam. Hal itu tampak terlihat mulai dari era sebelum kemerdekaan hingga hari ini.

Meskipun kemerdekaan bangsa ini diperoleh lewat kerja sama para anak bangsa yang berasal dari berbagai agama, suku, dan daerah, posisi umat Islam sangat penting. Islam menjadi kekuatan penentu baik secara jumlah maupun peran. Namun, umat Islam banyak dikecewakan ketika mereka berkeinginan untuk memasukkan Piagam Jakarta, mereka mengalami kegagalan di awal mula kelahiran bangsa ini.

Piagam Jakarta tidak jadi dimasukkan dalam Pembukaan UUD 1945 karena dianggap bisa mengancam persatuan bangsa ini. Juga disebabkan ada sebagian anak bangsa di Indonesia bagian timur yang mengancam akan mendirikan negara sendiri jika umat Islam memaksakan piagam itu. Akhirnya, umat Islam diberi hadiah dengan ada Kementerian Agama yang dijadikan sarana untuk mengurusi persoalan agama di Indonesia, khususnya agama Islam.

Cerita kekalahan itu berlanjut pada Sidang Konstituante pada 1950-an ketika terjadi perdebatan keras di parlemen untuk menentukan dasar negara Indonesia. Debat itu dilakukan antara golongan Islam dan nasionalis. Perdebatan itu sebetulnya berjalan secara dinamis dan sudah hampir mencapai titik temu.

Namun, karena Soekarno tidak sabar dan dia punya keinginan yang besar untuk menjadi kepala negara yang tidak hanya simbolis, akhirnya dia membubarkan Konstituante dan meniadakan semua hasil perdebatan itu melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Langkah politik yang dilakukan Soekarno selanjutnya adalah menjalankan Demokrasi Terpimpin yang kebijakannya di antaranya membubarkan Partai Masyumi dan PSI. Pembubaran Partai Masyumi sebagai representasi aspirasi politik umat Islam ini sangat menimbulkan rasa kecewa dan kekalahan pada diri umat Islam.

Kekalahan Politik

Jatuhnya Soekarno pada akhir 1960-an dan naiknya Soeharto memberikan harapan baru pada umat Islam untuk bisa terjun kembali ke dunia politik. Namun, Soeharto tampaknya melihat umat Islam dapat menjadi ancaman dalam politik jika diberi ruang lebih besar. Maka itu, rehabilitasi Masyumi ditolak oleh Soeharto dan semua partai-partai Islam termasuk Parmusi (wajah baru Masyumi) diminta untuk berfusi menjadi satu partai, melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Tentu saja ini memberikan kekecewaan yang sangat berarti pada umat Islam dalam bidang politik. Kekalahan dan kekecewaan yang beruntun dalam bidang politik itu menyebabkan munculnya gerakan perlawanan dari kalangan umat Islam. Sebagian dari mereka menganggap bahwa rezim Soeharto tidak memberikan ruang bagi umat Islam untuk bergerak, baik dalam bidang politik maupun ekonomi.

Kekecewaan ini dalam beberapa hal menumbuhkan gerakan Islam radikal yang mulai muncul pada era Soeharto seperti Komando Jihad, Gerakan Warsidi, NII, Jamaah Islam (JI), dan sebagainya. Di sisi lain, untuk menebus kekecewaan dalam bidang politik ini, sebagian umat Islam lebih memilih untuk menekuni bidang dakwah, pendidikan, dan sosial- budaya.

Gerakan yang kedua ini mendorong berbagai hal yang mengarah pada pelaksanaan substansi Islam melalui berbagai bidang di luar politik misalnya dalam perjuangan UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, pendirian IAIN/perguruan tinggi Islam, pendirian bank-bank Islam, bisnis Islam, dan sebagainya. Pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada masa akhir era Soeharto juga merupakan bagian dari gerakan substansialisasi Islam ini (Bahtiar Effendy, Islam and the State in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2001).

Jatuhnya Soeharto pada 1998 memunculkan harapan baru bagi umat Islam untuk kembali terjun ke dunia politik secara total. Berdirinya banyak partai-partai Islam dan berdirinya organisasi-organisasi Islam model baru menunjukkan keinginan itu. Usaha ini memberikan hasil yang signifikan.

Meskipun perolehan suara partai Islam kalah jauh dibandingkan suara PDI Perjuangan dan Golkar, mereka berhasil membentuk Poros Tengah dan sukses menaikkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI, Amien Rais sebagai ketua MPR RI, dan Akbar Tanjung sebagai ketua DPR RI. Keberhasilan ini sering disebut sebagai kemenangan politik umat Islam dan lahirnya era santri yang berkuasa di negeri ini.

Namun, kemesraan politik ini hanya berlangsung sebentar. Setelah itu terjadi perpecahan di kalangan partai Islam dan umat Islam yang berujung pada diturunkannya Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan pada 2001. Pada saat yang hampir bersamaan, keinginan sebagian partai Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) untukmemasukkan Piagam Jakarta dalam amendemen UUD 1945 juga mengalami kegagalan.

Dari rangkaian perjalanan politik di atas, tampaknya perjalanan politik umat Islam di negeri ini banyak mengalami kekecewaan dan kekalahan. Hingga hari ini para pemimpin negeri banyak didominasi oleh kalangan luar Islam. Perolehan suara- suara partai Islam pun terus mengalami kemerosotan dan kemunduran.

Ketika pada Pemilu Legislatif 2014 kemarin partai-partai Islam mendapat kenaikan suara, upaya untuk mempersatukan mereka pun mengalami penolakan dan kegagalan. Dan, seperti yang diprediksi sebelumnya, partai Islam tidak ada yang mengajukan calon sendiri pada pilpres.

Islam Indonesia Kontemporer

Ketika kita membicarakan tentang Islam Indonesia, hendaknya kita melihat Islam secara lebih adil. Islam tidak hanya tentang politik. Islam mencakup dan mewarnai banyak kehidupan di negeri ini. Jika pada era Soeharto sebagian umat Islam bergerak di luar politik, pada era Reformasi pergerakan umat Islam itu semakin berjalan secara dinamis dan progresif.

Kita melihat semarak orang berislam di Indonesia semakin berjalan maju dan umat Islam tidak lagi berada dalam posisi pinggiran dan perdesaan. Kaum santri dan umat Islam yang dulu diidentikkan dengan kaum sarungan dan umat pinggiran sekarang ini banyak penganut Islam yang taat (pious Muslims) yang berasal dari kalangan kelas menengah dan kelas atas. Banyak kalangan profesional yang mengkaji Islam dan dengan bangga menggunakan atribut Islam.

Islam pun banyak mewarnai dan memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan di negeri ini (Greg Fealy dan Sally White (editors), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia , Singapore: ISEAS & RSPAS ANU, 2008). Hari ini kita melihat perkembangan semarak Islam dalam berbagai kehidupan di negeri ini seperti munculnya ekonomi Islam melalui bank-bank Islam, pelaku-pelaku bisnis muslim seperti (Soetrisno Bachir, Choirul Tanjung, Aburizal Bakrie, dan sebagainya), pelaku dunia usaha muslim, dan industri kreatif muslim.

Dalam bidang pendidikan, kita juga melihat munculnya banyak sekolah-sekolah unggulan muslim seperti Insan Cendekia, Al-Azhar, Al- Izhar, Madania, Lazuardi, berkembangnya UIN/IAIN/STAIN di berbagai daerah, dan sebagainya. Pada bidang dakwah, kita juga menyaksikan semaraknya tayangan-tayangan kajian keagamaan yang merambah berbagai media pop, baik di televisi, radio, cetak, juga media sosial.

Para dai-dai sekarang tak ubahnya seperti selebritas yang digandrungi banyak orang dan diliput oleh media ke mana pun ia pergi. Fenomena ekspresi Islam kontemporer yang berkembang pesat itu juga tampak pada bidang kesenian, media massa, fashion, film, kedokteran Islam, ziarah ke wali atau tempat ulama, haji dan umrah, buku-buku dan novel islami, kaligrafi Islam, filantropi Islam, ormas-ormas Islam, dan sebagainya.

Model-model islamisasi ini tampaknya terus berkembang dan menumbuhkan minat yang besar di kalangan masyarakat (M.C. Ricklefs, Islamisation and Its Opponents in Java, Singapore: NUS Press, 2012). Perkembangan Islam selama 14 tahun terakhir pasca- Soeharto ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Islam yang berkembang dan mendominasi Indonesia bukan hanya Islam radikal, terorisme, dan Islam politik.

Namun, perkembangan Islam di wilayah lain juga tumbuh pesat dan menawarkan banyak pilihan pada masyarakat. Varian Islam yang berkembang itu ternyata diminati banyak masyarakat dan tidak menimbulkan ancaman. Justru mendatangkan keuntungan baik secara sosial, ekonomi, maupun budaya.

Dengan ragam ekspresi Islam yang luas dan variatif itu, juga bisa menjadikan Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam yang mampu mempraktikkan demokrasi dengan damai dalam kehidupannya sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar