Senin, 29 Februari 2016

Paus yang "Membangun Jembatan"

Paus yang "Membangun Jembatan"

Ihsan Ali-Fauzi ;   Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Yayasan Paramadina
                                                     KOMPAS, 27 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saling komentar antara Paus Fransiskus dan Donald Trump, yang luas diberitakan, mengungkap gagasan penting soal tugas agamawan "membangun jembatan" (perdamaian). Dengan sumber daya yang ada pada mereka, para agamawan dapat mencontoh Paus dalam memperjuangkan gagasan ini: agar agama menjadi rahmat, bukan laknat, bagi manusia.

Dalam kampanyenya sebagai salah satu bakal calon presiden Amerika Serikat, Trump menyatakan ingin membangun tembok yang memisahkan AS dan Meksiko. Ditanya komentarnya atas pernyataan itu, Paus menjawab, "Seseorang yang hanya berpikir tentang membangun tembok, di mana pun, dan bukan membangun jembatan, bukanlah orang Kristen." Disebut demikian, Trump balik menyerang, "Bagi seorang pemimpin agama, mempertanyakan iman seseorang itu tak patut."

Tak penting benar siapa menang atau kalah di sana. Tak gampang juga mengukurnya. Sambil mengutip satu survei, John Sides, guru besar ilmu politik di Universitas George Washington, malah menyatakan bahwa mayoritas rakyat AS sudah kadung lebih suka kepada Paus (69 persen) ketimbang Trump (34 persen) (Washington Post, 19/2). Perbedaan ini ditemukan tak hanya di kubu pemilih Partai Demokrat, juga di kubu Independen dan Republikan.

Yang lebih penting, jangan-jangan Paus bisa menyampaikan gagasan itu tanpa beban, tanpa hitung untung-rugi, karena dia pemimpin agama. Posisi ini bertentangan dengan posisi Trump: pengusaha-politisi yang ingin dipilih dalam pemilu.

"Bridging" dan "bonding"

"Membangun jembatan" jelas tak mudah. Gagasan ini menjadi populer (lagi) ketika Robert Putnam mempertebal konsep modal sosial dalam Making Democracy Works (1994). Tersedianya modal sosial yang kuat, yang dicirikan oleh trust di antara satu dan lain orang atau kelompok, akan memperkuat kerja sama dan, akhirnya, tujuan dan kepentingan bersama.

Belakangan dalam Bowling Alone (2000), Putnam lebih merinci dua cara kita melihat modal sosial: bonding dan bridging.  Keduanya terkait soal dengan siapa atau kelompok mana kita membangun jembatan karena identitas orang (kelompok) juga berlapis. Untuk kepentingan yang berbeda, Paus dan Trump mencerminkan panggilan kedua modus modal sosial ini.

Bonding mengacu kepada jejaring sosial di antara kelompok homogen. Modal sosial ini sangat penting bagi kelompok marjinal untuk bersekutu dalam jejaring lebih besar untuk kepentingan bersama. Misalnya, dalam sejarah awal perjuangan menegakkan hak-hak perempuan, feminisme internasional lebih fokus kepada pendekatan "perempuan dalam pembangunan", ketika inisiatif pembangunan disalurkan khusus kepada kaum perempuan (hak reproduksi, pendidikan). Hal ini memperkuat jejaring mereka yang memfasilitasi pencapaian cita-cita bersama mereka.

Bonding juga diterapkan dalam rangka penguatan kapasitas kelompok rentan lain, seperti masyarakat adat dan petani. Mereka bekerja bersama atas dasar kepentingan bersama. Kekuatan yang diperoleh dari keanggotaan in-group ini mendorong agensi bersama memperjuangkan kepentingan bersama. Bonding juga berguna sebagai jaring pengaman sosial untuk menjaga kepentingan anggota dari invasi kelompok lain.

Namun, bonding juga punya sisi gelap. Ia dapat mendorong praktik diskriminatif berbasis kecurigaan, intoleransi, dan kebencian kepada kelompok lain. Selain itu, bonding dapat memperkuat sistem patronase vertikal, ketika modal sosial digunakan menumbuhkan nepotisme demi kepentingan kelompok sendiri. Di sini bonding merampas kesempatan kelompok lain memperoleh layanan negara atau memperjuangkan kepentingan secara adil.

Modal sosial kedua, bridging, diperlukan untuk mengatasi sisi gelap ini. Ia mengacu kepada jejaring sosial di antara kelompok sosial yang heterogen. Bridging memungkinkan kelompok berbeda saling berbagi informasi, pengalaman, gagasan, bahkan inovasi. Lewat modal sosial ini, kelompok berbeda dapat membangun konsensus bersama.

Bonding dan bridging tak harus bertentangan. Bridging memperlebar modal sosial dengan meningkatkan apa yang disebut Francis Fukuyama (2004) sebagai radius of trust. Jika radius trust pada yang pertama cukup sempit, hanya di antara kelompok masyarakat yang homogen, maka bridging bisa menumbuhkan modal sosial yang didukung kelompok lebih luas dan heterogen. Untuk inilah jembatan harus dibangun.

Politisi versus agamawan?

Dalam kasus Paus vs Trump, yang terakhir berseru agar rakyat AS memperkuat bonding di antara mereka. Untuk itu, tembok fisik dapat dibangun untuk memisahkan AS dari Meksiko.

Masyarakat AS saya sebut homogen? Pada dirinya sendiri AS tentu saja bukan masyarakat homogen, tetapi dengan paranoia yang diembuskan Trump, AS sedang dikerangkakan sebagai bangsa yang tengah diserang semua pihak di luarnya, termasuk negeri yang jauh lebih kecil, tetapi kebetulan menjadi tetangganya, seperti Meksiko. Trump sedang mengembangkan perasaan bersama USA versus the Rest!

Di seberang Trump berdiri Paus, yang menyerukan solidaritas umat manusia, memperkukuh modal sosial bersama lewat bridging, melampaui tembok-tembok. Dia sedang mengampanyekan ekumenisme, ukhuwwah insaniyah, melawan nasionalisme sempit. Dan, Paus tak kekurangan sumber daya untuk menyatakan seruannya di atas dan mengamalkannya. Berkat Paus-lah langkah perdamaian antara AS dengan Kuba dimulai kembali sesudah 50 tahun bermusuhan. Berkat perannya itu, Presiden AS Barack Obama dan Presiden Kuba Raul Castro menyampaikan terima kasih!

Apa sumber kemampuan Paus sebagai agen perdamaian? Apakah karena dia agamawan, bukan politisi, yang akan hitung-hitungan? Diperlukan riset menjawab pertanyaan itu, tetapi dalam studinya yang sudah jadi klasik, Intermediaries in International Conflict, Thomas Princen menyebut lima kapasitas yang dimiliki Gereja Katolik dan memungkinkannya tampil sebagai mediator yang kredibel: memiliki legitimasi moral; dapat menjaga netralitas; dapat menjangkau opini publik dunia; memiliki jaringan informasi dan kontak; dan dapat menjaga kerahasiaan pihak-pihak yang bertikai. Kesimpulan itu diperoleh sesudah mempelajari peran Gereja Katolik dalam memediasi konflik Argentina dan Cile (1978-1984).

Meski sebagai lembaga Gereja Katolik punya lima kemampuan di atas, tak semua Paus bisa memainkan kepemimpinannya dengan baik sebagai agen, leader, yang memperjuangkan perdamaian. Untungnya, Paus adalah leader dengan visi dan komitmen besar seperti itu. Kata The Guardian (17/12/2014), tak kurang dari 18 bulan dihabiskan Paus dan timnya memperjuangkan agar pembicaraan soal pertukaran tawanan perang antara AS dan Kuba terjadi-dan dengan itulah langkah perdamaian dibicarakan lagi.

Sudah terlalu sering kekuatan agama sebagai agen perdamaian disepelekan. Kini saatnya inisiatif, seperti yang dilakukan Paus, memperoleh apresiasi setinggi-tingginya. Apa sumber-sumber kekuatannya perlu dipelajari dan lessons learned diambil darinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar