Jumat, 19 Februari 2016

Ancaman Militerisasi Laut Tiongkok Selatan

Ancaman Militerisasi Laut Tiongkok Selatan

Rene L Pattiradjawane  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 18 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kolonialisasi maritim Laut Tiongkok Selatan (LTS) yang dijadikan acuan di harian ini dalam mengamati kebangkitan Tiongkok (Kompas, 17/1 dan 16/12/2015) mungkin bisa digambarkan sesuai pernyataan yang pernah disampaikan Menteri Luar Negeri Ali Alatas tentang situasi LTS pada tahun 1995 yang menyebutkan, "the repetition of an untruth will eventually make it appear as truth."

Dan kolonisasi maritim Tiongkok diwujudkan secara tegas dan jelas ketika menggelar rudal darat-ke-udara jenis HQ-9, yang disebut sebagai hongqi (bendera merah), di Pulau Woody, yang disebut Tiongkok sebagai Yongxin. Pulau yang terletak di Kepulauan Paracel ini memiliki klaim tumpang tindih kedaulatan. Selain Tiongkok dan Taiwan, juga diklaim Vietnam.

Rudal HQ-9 adalah rudal jenis baru ukuran menengah jarak jauh (mencapai sekitar 200 kilometer) dan memiliki teknologi radar pelacak aktif. Banyak pertanyaan yang muncul dengan niatan digelarnya rudal HQ-9 ini menjelang berakhirnya pertemuan puncak ASEAN-Amerika Serikat di Sunnyland, California. Anehnya, pernyataan bersama KTT ASEAN-AS tidak menyinggung sama sekali tentang LTS, hanya mengacu pada masalah keamanan maritim.

Ada beberapa indikasi yang bisa menjelaskan kehadiran rudal HQ-9 dan beberapa helikopter militer Tiongkok di Kepulauan Paracel. Pertama, sebagai reaksi atas operasi patroli Angkatan Laut AS atas nama kebebasan navigasi di Pulau Triton, 160 km dari Pulau Woody, bulan lalu. Kedua, tindakan unilateral militer Tiongkok, Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) yang baru reorganisasi, sebagai uji kesiapan menggelar rudal sebanyak dua baterai (masing-masing 6 tabung peluncur), sekaligus menguji reaksi negara-negara di sekitar LTS.

Dan ketiga, kehadiran rudal HQ-9 sebagai pengganti utama sistem persenjataan Tiongkok di Kepulauan Paracel, karena penempatan pesawat tempur TPR-Udara jenis J-11 di Pulau Woody pada bulan November lalu menghadapi persoalan. Isu utama pesawat tempur di pulau kecil dalam waktu lama adalah ancaman karat dari air dan udara laut, yang bisa mengganggu operasi pesawat tempur.

Asumsi kehadiran rudal HQ-9 adalah bentuk konkret Tiongkok menggelar kolonialisasi maritim sebagai warisan sejarah sejak masa dinasti Yuan (1271-1368) kekaisaran Mongol. Pada masa kejayaan Kubilai Khan, kekaisaran Mongol menganggap kolonialisasi maritim memiliki peluang membangun kekuatan relatif kecil bersenjata lengkap dan tertata secara baik untuk menguasai daratan maupun lautan. Konsep ini baru terwujud pada dinasti Ming (1368-1644) yang menggelar ekspedisi maritim di luar lingkup pengaruh daratan Tiongkok.

Perubahan tata kelola geopolitik di LTS mengisyaratkan bahwa upaya pembentukan tata perilaku (code of conduct) menjadi usang. Terlihat dari semakin agresifnya Tiongkok membangun "pulau palsu" serta militerisasi wilayah LTS menjadi suatu kenyataan. Bagi Indonesia dan ASEAN, perangkat keras militer RRT di wilayah laut LTS adalah ancaman langsung bagi stabilitas dan perdamaian kawasan.

Perilaku asertif Tiongkok yang tidak hanya bersifat diplomasi, tetapi juga menggunakan kekuatan militer, menyulitkan ASEAN dan Indonesia mencari resolusi damai yang memadai. Hal ini juga menggoyahkan keseimbangan kepentingan nasional dan regional Asia Tenggara. Militerisasi kawasan LTS akan mengubah keseluruhan asumsi pengendalian hubungan negara besar dengan ASEAN, yang membahayakan upaya pertumbuhan pembangunan bagi kesejahteraan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar