Kamis, 09 Januari 2014

Rumitnya Papua

                                                      Rumitnya Papua

Endang Suryadinata  ;   Penggemar Sejarah
TEMPO.CO,  09 Januari 2014
                                                                                                                        


Entahlah, masalah dan dukacita datang silih berganti di Papua. Litani kekerasan seolah tiada henti. Kelompok sipil bersenjata berjumlah 20 orang baru menyerang pos Brimob Polri di pos Kelurik di Puncak Jaya, Sabtu pekan lalu. Sudah ratusan nyawa, baik dari aparat keamanan maupun warga sipil Papua, melayang. 

Menyedihkan memang memikirkan keterbelakangan Papua. Sayang, keterbelakangan itu tidak pernah dicarikan solusinya. Pendidikan, yang seharusnya bisa mencerdaskan, belum sepenuhnya digarap. Papua menjadi korban ketidakadilan struktural. Memang sudah ada Otonomi Khusus Papua berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001, yang menjamin 80 persen hasil hutan dan tambang untuk rakyat Papua. Tapi dalam implementasinya, banyak penyelewengan.

Tidak mengherankan jika kaum separatis OPM kini kian dilirik. Apalagi perjuangan diplomasi OPM tampaknya juga kian diakui dan diterima oleh sebagian kalangan di Australia, Afrika, atau di Eropa. Kita pernah kebakaran jenggot menyusul pembukaan kantor OPM di Inggris. Jika diplomasi kita tidak cerdas dalam masalah ini, Papua bisa lepas dari NKRI.

Ketika penulis ke Belanda baru-baru ini, sebagian publik Belanda setuju pada gagasan Papua merdeka. Apalagi, di bumi Papua, Belanda masih menyisakan cukup banyak jejak historis. Mulai abad ke-16, sudah ada jejak pelaut Belanda di Papua, seperti William Jansen, William Schouten, dan Le Maire. 

Tonggak sejarah yang cukup mengagetkan tertoreh pada 1 Desember 1961, ketika Belanda memerintahkan bendera Bintang Kejora Papua Barat dikibarkan berdampingan dengan bendera Belanda. Momentum ini yang dianggap Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat. 

Sebagai reaksinya, pada 11 Januari 1962, Presiden Sukarno membentuk Komando Mandela Pembebasan Irian Barat yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto. Berkat operasi militer ini, perjuangan diplomasi untuk mengembalikan Irian berhasil. Amerika Serikat mendesak Belanda untuk mengembalikan Irian Bagian Barat kepada Indonesia lewat PBB. 

Puncaknya, pada 15 Agustus 1962 tercapai persetujuan yang disebut New York Agreement. Isinya antara lain mengamanatkan Indonesia wajib mengadakan semacam referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sebelum akhir 1969: warga Irian Barat bisa memilih tetap dalam NKRI atau memutuskan hubungan dengan Indonesia. Akhirnya, sesuai dengan New York Agreement juga, pada 1 Oktober 1962, Belanda resmi meninggalkan Irian Barat dan menyerahkan kepada PBB. Lalu, pada 1 Mei 1963, PBB menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.

Namun, kita jangan hanya mengatakan bahwa Papua bagian dari NKRI yang merupakan harga mati. Pasalnya, jika warga Papua sendiri tetap merasa sebagai anak tiri di negeri ini, keinginan merdeka di antara rakyat Papua jelas kian susah dibendung.

Memang persoalan di Papua sangat rumit dan kompleks. Ada empat permasalahan dasar, yakni 1) marginalisasi dan diskriminasi, 2) kegagalan pembangunan, 3) kekerasan negara dan pelanggaran HAM, serta 4) sejarah dan status politis. Keempatnya saling berkorelasi. Dialog, bukannya kekerasan senjata, tetap menjadi kunci guna menemukan solusi permanen atas permasalahan Papua.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar