Senin, 28 Oktober 2013

Berebut Klaim Kata “Allah”

Berebut Klaim Kata “Allah”
Tom Saptaatmaja  Kolumnis, Alumnus STFT Widya Sanana Malang
dan Seminari St Vincent de Paul
SINAR HARAPAN, 26 Oktober 2013


Pengadilan banding Malaysia baru-baru ini memutuskan melarang satu koran Kristen menggunakan kata "Allah".

Tiga hakim di pengadilan banding Malaysia membatalkan putusan tahun 2009 dari sebuah pengadilan tinggi yang mengizinkan edisi bahasa Melayu koran The Herald. Menurut keputusan hakim, kata ”Allah” hanya boleh digunakan umat Islam.

Menurut hakim, jika umat kristiani menggunakan kata “Allah”, hanya akan memicu kebingungan, apalagi kata “Allah” dianggap bukan merupakan bagian integral dari kepercayaan Kristen (Antara, 14/10).
Para pengacara The Herald beralasan kata “Allah” sudah sangat luas digunakan orang-orang Melayu Kristen di bagian negeri itu di Sabah dan Sarawak selama berabad-abad.

Mereka akan mengajukan banding atas keputusan ini kepada Mahkamah Agung Malaysia. Mereka menambahkan, terkait kata “Allah”, umat Kristen di Indonesia dan sebagian besar dunia Arab bebas menggunakan kata Allah tanpa ditentang pihak berwenang.

Faktor Politik

Keputusan pengadilan itu bertepatan dengan meningkatnya ketegangan etnis dan agama di Malaysia akibat hasil Pemilu Mei lalu yang membelah Malaysia di mana koalisi yang lama berkuasa tergembosi oleh para pemilih urban yang sebagian besar terdiri dari minoritas keturunan China.

Dalam beberapa bulan belakangan, Perdana Menteri Najib Razak berusaha mengonsolidasikan dukungan dari kalangan mayoritas etnis Melayu yang umumnya muslim, menjelang pemilu legislatif bulan ini.
Pemerintahan barunya-yang didominasi Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) yang berbasis orang Melayu- memang mencoba mengenalkan kebijakan yang menguatkan etnis Melayu yang umumnya beragama Islam.

Seperti diketahui, Etnis Melayu merupakan 60 persen dari total 28 juta penduduk Malaysia, sedangkan etnis keturunan China lebih dari 25 persen, dan selanjutnya keturunan India. Warga Kristen mencapai 9 persen dari total populasi Malaysia.

Jika kita flashback, pada 2010 lalu ada cukup banyak gereja diserang, juga kuil Hindu diserang gara-gara kata “Allah” ini. Itu terjadi ketika Hakim Tinggi Lau Bee Lan pada 31 Desember 2009 mengizinkan koran The Herald memakai kata “Allah”.

Polemik kata “Allah”, yang disusul adanya penyerangan gereja jelas menunjukkan kegagalan dalam nation building negeri jiran itu. Apa yang keliru dalam hal ini?

Ternyata kalau kita membaca konstitusi Malaysia, para founding father negeri itu hanya memberi tempat pada etnis Melayu dan sekaligus penganut Islam. Etnis Melayu dan sekaligus sebagai penganut Islam seolah inheren dengan Malaysia. Ini terlihat dalam Akta Perlembagaan Persekutuan Negara Malaysia dalam artikel 3 (1), artikel 11 (4), dan artikel 160.

Legitimasi bagi etnis Melayu sekaligus penganut Islam sebagai pemilik sah Malaysia menempatkan etnis lain atau non-Islam sebagai warga negara kelas dua. Ini jelas ironi, ketika konstitusi negara justru membenarkan adanya praktik diskriminasi.

Akibatnya etnis Melayu tampak diistimewakan, secara politik, ekonomi dan agama. Dalam hal agama, etnis non-Melayu dan nonmuslim saja dilarang menggunakan kata “Allah” sehingga masalah ini berakhir di pengadilan. Memang kata “Allah” seolah eksklusif milik Melayu muslim. Bagi etnis non-Melayu-non-Islam hanya boleh menggunakan kata “Tuhan”.

Padahal, di seluruh dunia, hanya tinggal Malaysia sebagai satu-satunya negara yang punya regulasi kata “Allah” hanya eksklusif bagi Islam. Di negara-negara Timur Tengah saja yang mayoritas Islam, mereka tidak keberatan umat kristiani memakai nama “Allah”. Maklum sejak sebelum era Islam di abad ke-6 Masehi, umat Arab Kristen biasa memakai “Allah” untuk menyebut Sang Pencipta Yang Maha Esa.

Diterjemahkan

Namun, jangan menyangka polemik kata “Allah” hanya terjadi di Malaysia. Di berbagai belahan bumi, kata “Allah” juga memicu polemik. Misalnya ada sebagian aliran kecil umat Kristen di Tanah Air yang setuju bahwa kata “Allah” memang hanya pantas bagi umat Islam; karena Allah adalah nama diri, sebagaimana bisa dibaca dalam banyak ayat Alquran.

Jadi umat Kristen sudah selayaknya tidak memakai kata ini. Mereka berargumentasi bahwa dalam agama Kristen sebenarnya tidak pernah ada kata ”Allah”. Apa yang selama ini dipergunakan untuk menerjemahkan kata ”Allah” berasal dari bahasa Ibrani ”Elohim”, sedangkan untuk kata ”ALLAH” (dalam huruf kapital semua) berasal dari nama diri ”Yahweh” (JHWH), Tuhan Yang Maha Esa bagi penganut Yudaisme, yang lalu diadopsi umat kristiani (bisa dilihat dalam Alkitab, Kitab Suci Umat Kristiani Indonesia arus besar, terbitan LAI).

Pernah sekelompok umat kristiani di Tanah Air mendesak Departemen Agama agar terjemahan “Allah” dalam Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia dihilangkan. Argumen utama kelompok ini adalah sebagai nama diri, Yahwe tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain.

Padahal, dalam tradisi penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta) yang sudah dimulai sejak sebelum abad ke-4 Masehi, sebutan Yahwe itu sudah biasa diterjemahkan. Karena tak digubris, mereka rela membuat Alkitab sendiri yang menghilangkan kata “Allah”.

Sementara itu, sebagian besar umat atau aliran Kristen di dunia, terlebih di Timur Tengah berargumen bahwa nama “Yahweh” bukan hanya nama diri, sehingga bisa diterjemahkan menjadi “Allah”. Penerjemahan ini sudah dimulai ketika pengaruh Yunani masuk ke Israel sejak abad ke-4 Sebelum Masehi.

Yesus pun melakukan hal serupa. Tidak heran kata “Allah” dalam makna monoteistis sudah digunakan oleh kalangan Kristen, termasuk Arab Kristen sebelum kedatangan Islam. Ini berdasarkan inkripsi-inskripsi Arab Kristen pra-Islam, seperti Zabad dari Suriah (512 Masehi) yang selalu diawali dengan rumusan “Bism al-Ilah” (Dengan nama al-Ilah).

Lalu inskripsi Umm al-Jimmal (pertengahan abad ke-6 M) dan lain-lain juga menyebut bahwa Allah sudah dimaknai secara monoteistis dalam agama Kristen, lengkap dengan inskripsi, bacaannya, ulasan para ahli filologi, dan perkembangannya di gereja-gereja Arab. Terlalu panjang jika hendak disebut semua. Jadi, kata “Allah” adalah bagian integral dari iman Kristen.

Terkait dengan nama Sang Pencipta, memang bisa memicu masalah, meskipun Dia mungkin tidak suka bermasalah. Manusialah yang suka mempermasalahkan.

Jangan lupa dalam kasus ini, logika atau akal sehat kita jangan dimatikan, meskipun nalar logis kita tak akan mampu memahami keberadaan dan misteri-Nya yang begitu Agung dan luas. Menurut Agustinus, filsuf dan teolog abad ke-4, pikiran kita ibarat kolam sempit yang tak mungkin akan mampu menampung kebesaran Sang Pencipta.

Karena itu terkait Sang Pencipta, mau disebut atau dipanggil dengan apa pun, sebenarnya kita tidak bisa menghakimi, apalagi melarang orang agar menggunakan istilah tertentu bagi Sang Pencipta. Bahkan, dengan merusak atau menyerang tempat ibadah umat beragama lain, gara-gara kata “Allah”, jelas menjadi noda hitam dalam sejarah Tuhan dan agama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar