Senin, 28 Oktober 2013

Penerbangan yang “Delay” dan “Delay”

Penerbangan yang “Delay” dan “Delay”
Chappy Hakim  Mantan Ketua Timnas EKKT,
Evaluasi Keamanan dan Keselamatan Transportasi
KORAN JAKARTA, 28 Oktober 2013


Belakangan ini, kita diributkan dengan berita yang sangat heboh tentang banyaknya penerbangan yang delay. Sebenarnya, dalam dunia penerbangan, delay adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Akan tetapi, bila delay telah mencapai angka 8 sampai dengan 12 jam, itu sudah satu pertanda yang sangat serius. 

Hal tersebut memang tidak bisa lepas dari kondisi dunia penerbangan di Indonesia yang tengah berhadapan dengan banyak masalah, yang menyebabkan delay dipastikan menjadi hal yang tidak atau sangat sulit dihindarkan. 

Beberapa masalah menonjol yang tengah dihadapi oleh dunia penerbangan kita adalah masalah "kebanyakan pesawat" untuk menghindarkan penggunaan istilah "kekurangan pilot", "kebanyakan traffic" untuk tidak menggunakan istilah kekurangan tenaga dan peralatan Air Traffic Control dan "kelebihan penumpang" di sebagian besar bandara, terutama di Soekarno Hatta International Airport. 

Sebagai informasi saja, Bandara Soekarno-Hatta yang dibangun untuk menampung penumpang 23 juta orang saja per tahun, ternyata di tahun 2011 dipaksa memfasilitasi penumpang sebanyak 51,5 juta orang per tahun.

Lima tahun terakhir ini, pertumbuhan penumpang angkutan udara telah menunjukkan angka yang cukup fantastis. Beberapa data menyebut angka rata-rata kenaikan 10 hingga 15 persen per tahun. Sayangnya, di tengah pertumbuhan pasar angkutan udara yang begitu tinggi, justru pada saat ini, tepatnya sejak tahun 2007, hingga kini Negara Kesatuan Republik Indonesia berada dalam kelompok negara dengan kategori 2 penilaian FAA (Federal Aviation Administration) yang mengacu pada standar keamanan terbang internasional seperti tercantum dalam regulasi ICAO (International Civil Aviation Organization).

Maksudnya adalah Indonesia belum mampu kembali untuk dapat memenuhi persyaratan minimum keamanan terbang internasional. Dengan kondisi seperti itu, justru Indonesia tengah berhadapan pula dengan ASAM, ASEAN Single Aviation Market dan atau ASEAN Open Sky 2015.

Lalu, bagaimana dan apa yang harus dilakukan agar Indonesia tidak ditinggalkan oleh negara-negara tetangga yang akan segera mencaplok rezeki besar dari pertumbuhan pasar angkutan udara yang kini tengah berkembang pesat? Celakanya, justru perkembangan yang paling signifikan dalam posisinya sebagai pasar terbesar angkutan udara di kawasan Pasifik ini adalah yang terjadi di Indonesia. Kiranya tidak ada pilihan yang dapat diambil untuk menghadapi tantangan ini selain harus keluar terlebih dahulu dari posisi kategori 2 FAA yang kini tengah disandang Republik Indonesia.

Untuk lebih memahami dengan saksama tentang kategori 2, berikut ini penjelasannya.

Kategori dua atau Category 2 maksudnya adalah Does Not Comply with ICAO Standards: The Federal Aviation Administration assessed this country civil aviation authority (CAA) and determined that it does not provide safety oversight of its air carrier operators in accordance with the minimum safety oversight standards established by the International Civil Aviation Organization (ICAO).

Sebagai tambahan informasi saja, negara-negara yang masuk dalam kategori 2 FAA selain Indonesia antara lain ialah Guyana, Nauru, Serbia, Zimbabwe, dan Kongo. Jadi, sebenarnya, agak sedikit memalukan posisi Indonesia dalam hal ini ternyata berkedudukan sejajar dengan negara-negara kecil.

Untuk kategori satu atau Category 1, maksudnya adalah Does Comply with ICAO Standards: A country’s civil aviation authority has been assessed by FAA inspectors and has been found to license and oversee air carriers in accordance with ICAO aviation safety standards.

Berikutnya adalah bagaimana dan apa yang harus diprioritaskan dalam pembenahan dunia penerbangan kita untuk dapat segera menuju kategori 1 FAA dengan tujuan akhir agar bisa bersaing dengan fair dalam berhadapan dengan negara-negara tetangga di kawasan. Dari begitu banyak daftar pekerjaan rumah yang diamanatkan oleh temuan ICAO di tahun 2007 yang menyebabkan Indonesia di-down-grade ke kategori 2 FAA, sebenarnya telah banyak yang dapat diselesaikan. Akan tetapi, memang tidak dapat dihindari bahwa ada beberapa masalah yang hingga kini belum juga dapat diatasi dengan segera.

Dari beberapa hal penting tersebut, dapat dikemukakan di sini antara lain adalah mengenai pekerjaan-pekerjaan yang tertunda dari masalah yang sudah tercantum dalam Undang-Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 yang lalu. Pekerjaan yang tertunda tersebut antara lain adalah mengenai KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) yang harus diubah dari bentuk selama ini, yaitu tidak boleh berada di bawah Menteri Perhubungan agar dapat bekerja independen. 

Di samping itu, ada yang berkait dengan masalah tindak lanjut dari hasil kerja KNKT, yaitu pembentukan sebuah lembaga yang sebelumnya belum pernah ada. Lembaga tersebut adalah sebuah institusi yang namanya telah ditentukan sebagai MPP atau Majelis Profesi Penerbangan. Lembaga inilah yang akan menjadi badan yang akan menjatuhkan sanksi atau penalti setelah memproses hasil pekerjaan KNKT yang menunjuk pihak yang seharusnya bertanggung jawab.

Selain kedua hal tersebut, masih ada permasalahan yang sangat mengemuka akhir-akhir ini, yaitu tentang pengaturan lalu lintas udara atau ATC, Air Traffic Control Services. Lembaga ini sudah dibentuk dan diresmikan di awal tahun 2013, tetapi penerapan di lapangan masih memerlukan waktu panjang untuk dapat beroperasi sesuai kebutuhan. Selain masih ada masalah tentang FIR Singapura di kawasan udara kedaulatan Indonesia, tanda-tanda dari penanganan yang segera dalam manajemen ATC Services Single Provider belum juga terlihat. Pengaturan yang nantinya berkembang pada apa yang dikenal sebagai Air Traffic Flow Management System pasti akan sangat mengusik kedaulatan dan kehormatan Republik Indonesia sebagai bangsa. 

Masalahnya adalah bila kita diangggap tidak memiliki kemampuan yang setara dengan persyaratan keamanan terbang internasional seperti yang ditentukan oleh ICAO, wewenang pengaturan lalu lintas udara di atas kawasan wilayah kedaulatan RI akan diserahkan kepada negara lain. Dalam hal ini, beberapa negara antara lain Thailand, Singapura, dan Australia telah sejak lama mempersiapkan diri untuk dapat tampil sebagai pemegang peran sentral dalam pengaturan lalu lintas udara di kawasan ini.

Bila kurang berhati-hati dalam menangani masalah tersebut, Indonesia akan berhadapan dengan situasi yang fatal dalam pengelolaan kawasan wilayah udara kedaulatannya. Walaupun Republik Indonesia sebagai satu negara yang berstatus sebagai anggota PBB akan selalu berpijak pada Konvensi Chicago 1944 yang mengatakan bahwa setiap negara berdaulat penuh di kawasan udaranya secara komplet dan eksklusif, tetap saja atas nama keamanan terbang, wewenang dalam mengatur lalu lintas udara dapat didelegasikan kepada negara yang memiliki kemampuan mengelola sesuai standar keamanan terbang internasional.

Di sinilah peran Pemerintah Republik Indonesia sangat diperlukan dalam mengatasi kemungkinan buruk yang bisa terjadi ke depan. Tentu saja akan sangat tragis bila hal tersebut sampai terjadi. Di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi yang melesat, perkembangan pasar angkutan udara yang berkemampuan sangat besar menyumbang kemakmuran bagi rakyat Indonesia, akan dipetik buahnya, hanya oleh negara lain. Lebih dari itu, sebagai satu bangsa, kita pun akan kehilangan kedaulatan atas wilayah udaranya sendiri. Tidak itu saja, dalam aspek pertahanan negara, pengelolaan Sistem Pertahanan Udara Nasional akan berhadapan dengan banyak kendala, terutama dalam mengawasi daerah rawan perbatasan udara dengan banyak negara lain di kawasan sendiri.

Jadi, penerbangan yang delay dan delay itu sebenarnya hanyalah permukaan kecil yang terlihat dari begitu besar gunung permasalahan yang tengah kita hadapi saat ini. Tidak ada pilihan lain, kita harus bekerja keras menyelesaikan satu per satu masalah-masalah tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar