Senin, 28 Oktober 2013

Kabar Baik untuk Pak Presiden

Kabar Baik untuk Pak Presiden
Rosdiansyah  Analis Media, Alumnus Institut 
of Social Studies (ISS) Den Haag
JAWA POS, 28 Oktober 2013


Susilo Bambang Yudhoyono, yang akrab disapa media sebagai SBY, menyatakan opininya tentang media (Jawa Pos, 27/10). Di antaranya, terkait dengan ''serangan sejumlah media massa'' yang terbaca oleh SBY ditujukan semata-mata kepada Partai Demokrat (PD). SBY mengimbau para kader PD agar tidak takut, apalagi tia­rap, terutama tentunya saat menghadapi media massa. 

Barangkali masih segar dalam ingatan kita bagaimana SBY menjadi media darling (kesayangan media) menjelang Pilpres 2004. Panggilan ''SBY'', yang ringkas dan mudah diingat (jika dibandingkan dengan nama panjangnya), pun diperkenalkan media. Arus utama media massa terfokus kepada SBY yang disisihkan dari percaturan elite politik karena dianggap sebagai calon potensial presiden. Potret SBY di media massa kala itu sangat positif justru karena digambarkan sebagai dalam bad news sebagai ''yang dikucilkan''. Dalam pemilu, SBY dan PD pun mulai menuai kekuasaan. 

Setelah Pilpres 2004, SBY dan PD menjadi para elite penguasa. Dalam posisi ini, tentu saja media massa harus tetap menjaga independensi ketika menyorot para elite politik tersebut. Sungguh aneh jika saat itu masih ada media massa yang tetap menjadikan SBY dan PD sebagai media darling. Justru sebaliknya, media massa arus utama mulai menjadikan dua objek pemberitaan itu sebagai media opponent. Pergeseran posisi media tersebut bisa membuat objek berita merasa tidak nyaman, meski sebenarnya mereka bisa menjadikan berita dari media sebagai cermin diri yang tidak sempurna.

Memasuki periode kedua kepresidenan, isu demi isu saling bersahutan dan SBY sesekali merespons. Respons SBY itu pun meramaikan panggung politik. SBY dan PD menjadi pusat perhatian media. Ada kata kunci (password) untuk masuk ke pusaran isu yang seksi saat ini, yaitu kata ''Hambalang'', ''Cikeas'', ''Nazaruddin'', atau ''AU''. Jika disebut satu saja di antara kata-kata itu, asosiasi orang akan ke PD. Kalau disikapi sebagai good news, media massa sesungguhnya telah membantu tugas SBY.

Media selalu menyorot SBY karena partainya masih menjulang di menara kekuasaan. Beliau juga masih menjabat presiden. Apalagi, kini beliau juga menjadi ketua umum Partai Demokrat. Lazim bila media menyorot tajam kekuasaan sebesar itu. 

Pepatah bahasa Latin menyatakan, dum vita est spes est, di mana ada kehidupan di situ ada harapan. Kehidupan politik dalam alam demokrasi membawa harapan baik. Semua warga merayakan kebebasan berekspresi asalkan mau bertanggung jawab. Semua mekanisme pemberitaan itu tentu sudah dipahami elite politik, termasuk PD dan SBY. Peran media, yang sangat beragam, juga bagian dari menjaga agar kekuasaan tetap dianggap sebagai amanah rakyat, bukan barang pribadi. 

Kebebasan pers adalah anak kandung reformasi. Kita punya pengalaman Orde Baru yang kelam ketika berita harus disensor jika menyangkut isu ''seksi'', tapi sensitif. Waktu itu media tidak punya darling karena tidak bebas memilih dengan akal sehat. Di era keterbukaan kini, sensitivitas isu mempunyai makna baru. Yakni, bermanfaat untuk mengetahui pergerakan opini publik sekaligus menjadi rujukan merancang kontra-isu. Sejauh ini, para elite parpol kian pintar membaca isu publik itu, apalagi ditambah ketersediaan data polling. 

Ibarat jamu, berita sedap dan pahit bisa menyehatkan. Pertama menghadapi mungkin kelimpungan, kedua gelagapan, ketiga mulai penasaran, lalu tentu mulai bisa berhadapan. Maka, pemegang kekuasaan jangan mudah sewot. Good news atau bad news itu bergantung kepada sudut pandang. Di balik berita yang dianggap pahit, kita diberi tahu lebih awal tentang kepahitan yang mungkin terjadi lebih besar di masa depan (bila tidak terkuak). 

Sedangkan adil dalam pemberitaan tentu, misalnya, diukur dari narasumber yang berimbang. Selama ini para politikus PD sudah sangat sering menghiasi pemberitaan. Selain bertujuan menangkis tudingan tidak sedap ke PD, minimal mereka bisa menumpang tenar secara gratis di media massa. Jadi, semakin banyak isu seksi di pusaran PD, maka partai ini tambah dikenal. Mestinya kontrol media itu ditafsiri positif dengan manajemen isu yang efektif agar menjadi kebaikan. Harapan positif selalu bisa mengubah berita pahit menjadi kabar baik. 

Harapan yang harus terus menyala, termasuk kepada penguasa dan media. Tanpa melulu terpaku kepada tafsir negatif dan nelangsa pada pemberitaan media massa. Anggaplah apa pun isi pemberitaan itu sebagai bahan koreksi. Tentu tidak ada salahnya jika publik dan media massa selalu ingin berkomunikasi dengan presidennya walau frekuensi komunikasi itu kadang jauh kadang dekat. 

Bagaimanapun, media pernah terpesona kepada SBY. Bila rasa terpesona itu berkurang, karena berjuta faktor, termasuk karena ketidaksempurnaan kekuasaan dan ketidaksempurnaan media, mestinya dianggap manusiawi. Siapa tahu saat terpesona media ternyata juga sedang tidak sempurna. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar