Senin, 28 Oktober 2013

Memanggil Anak Muda Berpolitik

Memanggil Anak Muda Berpolitik
Ernawati Yohana S   Dosen, dan Biro Kader DPD I Partai Golkar
SUARA MERDEKA, 28 Oktober 2013


“Suka atau tidak suka pada partai, faktanya sebagian besar pengelola negeri ini datang dari kader partai”

INDONESIA dipersiapkan merdeka, pastilah bukan oleh kaum tua. Mereka yang terlibat aktif dalam Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II, sebagian besar adalah anak-anak muda.  Moh Yamin, Soenario, J Leimena, Soegondo Djojopoespito, WR Supratman, Kartosuwirjo, Kasman Singodimedjo, Moh Roem, Sie Kong Liong merupakan aktor-aktor muda  yang menentukan perjalanan Indonesia selanjutnya.

Mereka adalah anak-anak muda yang memiliki visi kebangsaan jauh ke depan. Termasuk telah menyelesaikan agenda politik yang sangat dahsyat, yaitu masalah kesukuan dan bahasa dalam bingkai keindonesiaan. Jika republik ini tidak memiliki Bahasa Indonesia, kita bisa tidak bisa membayangkan bagaimana sidang parlemen berlangsung, bagaimana pula bunyi bahasa dalam hukum, undang-undang, dan juga peraturan yang mengikat seluruh warga negara.

Bahasa Jawa yang saat itu sebenarnya merupakan bahasa mayoritas mengalah demi Indonesia. Meski sebagian besar para penggagas kongres adalah anak-anak Jawa, kecerdasan intelektual merekalah yang mendorong untuk ”mengalah” demi cita-cita yang lebih besar.

Jika Bahasa Jawa ”dipaksakan” untuk diterima sebagai bahasa nasional, sebenarnya bukanlah hal sulit. Tetapi bentuk ” hegemoni” seperti itu susah bertahan lama karena akan banyak yang merasa menjadi minoritas. Benih seperti itu tampaknya dihindari, dengan memilih Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Pemilihan bahasa minoritas menjadi bahasa nasional sungguh sebuah kearifan dari anak-anak muda kala itu.

Tentu menjadi pertanyaan, kenapa pada usia yang masih relatif muda di sekitar 20-30 tahun, anak-anak bangsa kala itu sudah memiliki kesadaran politik sedemikian besar? Faktor apa yang menjadi daya dorongnya? Gelombang perubahan dunia akhir 1900-an tentu memberikan pengaruh kemunculan kesadaran baru di negara-negara yang terjajah yang dimotivasi oleh makin banyaknya kaum muda terpelajar. Di samping arus informasi dari Eropa yang kian deras menjangkau ke seluruh dunia. Apa yang terjadi di negara-negara besar kala itu, tentu merupakan bahan kajian strategis bagi anak-anak muda.

Pada periode setelah Kongres Pemuda II, sejarah memberikan referensi, betapa makin banyaknya berdiri organisasi politik, pemuda, dan juga organisasi masyarakat serta keagamaan. Pasca kemerdekaan, partai politik jugaemakin banyak. Siapa yang berada di balik organisasi itu semua? Kembali lagi, jawabannya bukan kaum tua melainkan anak-anak muda yang dengan penuh idealisme membangun ”peradabannya” sendiri.

Pada umur berapa mereka berjuang dan berpolitik? Semua masih dalam usia segar, usia muda di mana bakat-bakat dan idealismenya bisa dieksploitasi besar-besaran. Kita bisa membuka file sejarah kita, betapa banyak tokoh pergerakan kemerdekaan yang bergelora pada usia muda.

Ir Soekarno masuk ke Partai Indonesia (Partindo) pada usia 31 tahun, walaupun jauh sebelumnya sudah berpolitik. Tan Malaka berpolitik juga dalam usia seki­tar 20 tahun. Beberapa tokoh lain menjadi gubernur dalam usia belum genap 30 tahun. Arnold Ahmad Baramuli misalnya, menjadi Gubernur Sulawesi Utara & Tengah (1960-1962) pada usia 29 tahun

Ilustrasi itu hanya untuk menunjukkan bahwa betapa anak-anak muda yang masih penuh gelora dan semangat itu mengeksploitasi kemampuannya di wilayah politik. Sementara tetap harus ada yang bergerak di wilayah ekonomi bisnis, kebudayaan, dan juga bidang-bidang lain misalnya ketentaraan. Untuk menjadi sastrawan, orang harus belajar ke sekolah yang berjurusan itu. Jika ingin menjadi tentara profesional maka Akabri dengan senang hati akan menampungnya.

Tetapi, bagaimana jika ingin berpolitik? Partailah  akan menampung, memproses, membesarkan kariernya. Orang boleh saja tidak suka dengan partai. Ini karena berbagai sebab. Tetapi fakta menunjukkan jasa partai terhadap keberadaan republik ini juga besar. Partai sebelum masa kemerdekaan telah memberikan darah segar bagi perjuangan bangsa bersama-sama dengan elemen masyarakat lain.

Terlepas dari baik dan buruknya partai pada masa Orde Baru, mereka juga telah memberikan kontribusi besar bagi kelangsungan republik ini.  Dalam derajat tertentu, kemerebakan partai pascakemerdekaan hampir mirip dengan pascareformasi. Partai sedemikian banyak, lalu terjadi koreksi alamiah yang kembali ke jumlah ”normal”. Apakah jumlah  yang sekarang ada akan kembali terkoreksi,  semua kembali kepada masyarakat.

Suka atau tidak suka pada partai, faktanyasebagian besar dari pengelola negeri ini datang dari kader partai. Bahkan, tentara profesional yang ingin menjadi presiden pun harus membuat ”kapal” yang akan dinakhodai sendiri. Keadaan seperti ini seharusnya menjadi daya tarik bagi kaum muda untuk masuk ke jalur politik via partai.

Masuknya anak-anak muda ke partai tentu akan memberikan warna yang makin semarak, dan memberikan bobot idealistik yang visioner bagi partai.

Mereka yang alumni badan eksekutif mahasiswa (BEM) atau yang sekarang masih ada di sana, sebenarnya telah memasuki fase awal pendadaran sebagai pemimpin. Mereka pun, dalam derajat tertentu, telah memainkan diri dan memosisikan diri sebagai ìaktorî yang selalu berusaha memengaruhi khalayak dengan semua visi dan cita-citanya.

Mereka telah menempatkan diri sebagai aktor yang masih idealis karena ìfaktorî lain belum ikut bermain. Telah banyak negawaran atau pun politikus Indonesia lahir dari sana, baik dari kawah dewan mahasiswa, senat mahasiswa, atau BEM. Secara prinsip bekerjanya tidak banyak berubah, hanya lingkungan strategisnya saja yang meluas.

Hasrat anak muda terjun ke politik tentu saja tidak mudah. Mengader diri via partai tidak memberikan kejelasan imbal prestasi menjanjikan. Ini berbeda manakala mereka menjadi PNS, karyawan kantor swasta, atau pebisnis. Ketidakjelasan imbal prestasi seperti itulah yang menjadikan praktik politik saat ini kurang menarik bagi anak muda. Sementara yang terlihat saat ini, magang dulu sebagai pebisnis baru masuk poliitik kemudian. Keadaan seperti ini tentu memiliki nilai plus dan minus.

Belum lagi tantangan dari internal partai sendiri yang sering tidak memiliki agenda jelas terhadap regenerasi. Hanya partai tertentu yang telah mempersiapkan diri dengan menggunakan pengembangan sayap partai sebagai kawah regenerasi. Di samping itu, kesediaan diri kaum tua untuk membuka keran kaderisasi juga amat penting, dan tentu menjadi faktor penentu keberhasilan.

Ada beberapa faktor penentu bagi keberhasilan anak-anak muda memasuki ìkawasanî politik. Hasrat kaum muda memasuki kawasan ini harus dibangkitkan, karena suka atau tidak, dari sinilah sebenarnya kaderisasi pemimpin negara disemaikan. Boleh saja orang tidak menyukai politik, tetapi di mana pun negara berdiri, di sana para kaum politik berperan.  Dari situ pula, pemimpin negara dipersiapkan.


Di sisi yang lain, kesediaan partai untuk membuka diri terhadap kader yang masuk juga sangat penting. Partai dan pengelolanya bertanggung jawab terhadap proses alih generasi dan menyediakan diri untuk bersikap bahwa hasil renegerasi yang dipersiapkan akan jauh lebih baik. Dengan demikian, pemahaman ideologi partai pada tiap individu benar-benar tumbuh bersama kesadaran berpartai, berbangsa, dan bernegara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar