Rabu, 30 Oktober 2013

Korupsi dan Krisis Spiritual

Korupsi dan Krisis Spiritual
OC Kaligis   Guru Besar Universitas Negeri Manado
SUARA KARYA, 28 Oktober 2013


Di era reformasi ini, kita menyaksikan banyak kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan elite politik dan praktik mafia peradilan yang melibatkan penegak hukum. Dari beragam kasus, para pelakunya ternyata bukan orang-orang bodoh, tetapi mereka yang memiliki kecerdasan intelektual, umumnya dengan gelar sarjana, lulusan perguruan tinggi.

Para sarjana pelaku tindak pidana korupsi ini sepertinya mewujudkan pandangan yang pernah diungkapkan Theodore Roosevelt, Presiden AS Ke-26 yang menyatakan, "(A) man who has never gone to school may steal from a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad." Artinya, orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah, hanya bisa mencuri dari mobil angkutan. Tetapi, orang yang mengenyam pendidikan di universitas, bisa mencuri jaringan rel kereta api.

Inilah yang terjadi dalam berbagai kasus korupsi yang menarik perhatian publik selama ini. Celakanya, di negeri ini, rakyat kecil yang tidak sekolah dan melakukan pencurian kecil-kecilan, seperti kasus pencurian piring oleh nenek Rasmiah (55 tahun), kasus curi semangka oleh Suyanto (45) dan Kholid (49), penegakan hukumnya benar-benar tajam. Namun, terhadap kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan para elite politik, dan para sarjana yang memiliki kecerdasan intelektual, hukum menjadi tumpul.

Kita juga menyaksikan fakta bahwa pelaku tindak pidana korupsi bukanlah orang-orang kafir. Selain bergelar sarjana, mereka adalah orang-orang yang tekun dan taat beribadah. Tetapi, semua kegiatan rohaniah spritual itu, setali tiga uang dengan kegiatan intelektual, seakan tidak ada hubungannya dengan kehidupan di luar tempat ibadah dan kampus. Dunia pendidikan sepertinya menghasilkan para sarjana yang cerdas secara intelektual, namun mengalami keterpecahan atau keterpisahan dalam dirinya.

Sungguh menarik pandangan Joseph G Allegretti dalam bukunya, The Lawyers Calling: Christian Faith and Legal Practice bahwa maraknya berbagai kasus yang melibatkan para intelektual tidak hanya menunjukkan terjadinya krisis etika, atau komersialisasi atau hubungan sosial, tetapi juga krisis spiritualitas. Meski hal ini menunjuk pada krisis yang dialami lawyer di AS, tetapi tampaknya pas dengan apa yang dialami lawyer dan para pemangku jabatan publik, birokrat, hakim, jaksa, polisi, politisi, dokter, guru, dosen, rohaniwan/wati dan para tokoh agama di Indonesia. Kita sepertinya memang sedang mengalami krisis spritualitas.

Krisis itu tecermin dalam menjalankan profesi, yang semata-mata hanya untuk mengejar dan mengutamakan kepentingan materi dengan menghalalkan segala cara tanpa mengindahkan nilai-nilai kultural, moral dan nilai spritual. Profesi tidak lagi dipahami, dihayati dan diamalkan sebagai suatu panggilan. Padahal, makna profesi atau pekerjaan tidak semata untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari. Tetapi, di atas segalanya, untuk mengevaluasi tanpa henti tingkat moral dan kultural masyarakat, tempat manusia hidup bersama komunitas dan keluarga.

Dalam perspektif inilah, seorang manusia yang cerdas tidak hanya dituntut memiliki kecerdasan intelektual, tapi juga kecerdasan moral, emosional dalam satu kesatuan dengan kecerdasan spritualnya. Dan, sejatinya, inilah tantangan dunia pendidikan, harus terus berjuang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Akademisi dan penyair Inggris, Clive Staple Lewis, mengatakan, pendidikan tanpa nilai-nilai, seberapa pun manfaatnya, hanya akan membuat manusia menjadi a more clever devil - iblis yang lebih pintar.
Lembaga pendidikan memiliki misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Di dalamnya mesti terkandung internalisasi nilai-nilai yang telah dirumuskan menjadi nilai kehidupan dalam Pancasila. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar