Rabu, 30 Oktober 2013

Pupus Konsep Potong Generasi

Pupus Konsep Potong Generasi
Effnu Subiyanto   Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik (Forkep),
Kandidat Doktor Ekonomi Unair
SUARA KARYA, 29 Oktober 2013


Bangsa ini baru saja melakukan peringatan 85 tahun Hari Sumpah Pemuda yang hanya ramai di tingkat seremoni kemudian dilupakan. Ketika peran pemuda pertama kali diakui pada masa persiapan kemerdekaan, 28 Oktober 1928, pemuda saat itu belum disebut pahlawan nasional. Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond dan Jong Islamieten Bond merasa deklarasi pemuda hanya perlu disampaikan untuk menunjukkan eksistensi pemuda. Kini, eksistensi pemuda menjadi sangat diharapkan kontribusinya karena begitu rumitnya persoalan bangsa.

Kesolidan pemuda Indonesia diakui bangsa ini ketika berperan penting menumbangkan pemerintahan Orde Baru yang sentralistik, Mei 1998 dengan aksinya yang heroik. Para elite pemerintah yang mendapat keuntungan dari aksi 1998 pun kemudian ramai-ramai menyebut pemuda adalah pahlawan, namun kini jasa pemuda mungkin sudah dilupakan.

Menyikapi melencengnya arah reformasi, tidak kurang pemuda melakukan gerakan menantang kelompok senior yang kini berkuasa untuk melakukan potong generasi, namun tidak mendapat respon yang berarti. Potong generasi dinilai oleh kaum senior terlalu berisiko karena tentu saja akan mengancam status quo pihak yang mapan. Ketakutan pemerintah terhadap pola potong generasi semakin tampak ketika pemerintah memutuskan untuk memanjangkan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun melalui revisi UU MA.

Hal yang sangat utama dari konsep ini adalah pembaharuan bidang hukum yang diwarisi dari hukum kolonial sejak 1918. Pemuda merasakan bahwa diperlukan reformasi hukum secara total untuk mengejar dinamika dunia yang semakin cepat.

Hukum kita begitu hitam putih dan sangat konservatif, tidak bisa melihat kepentingan yang lebih besar, para hakim dibutakan sendiri oleh konstitusi sesat. Di sinilah persoalannya, kenapa kasus-kasus korupsi BLBI atau Century tidak kunjung bisa diselesaikan. Penyelesaian sengketa bisnis tidak berjalan, sehingga menakutkan investor untuk berinvestasi. Ini terjadi karena hukum Indonesia begitu multitafsir, yang salah bisa menjadi benar dan sebaliknya, kepastian hukum menjadi sangat langka di negeri ini.

Law enforcement yang rendah ini akhirnya memunculkan persoalan sosial di sisi lain sehingga mengubah kultur asli bangsa seperti yang sekarang terjadi. Pemuda semakin tidak percaya dengan instrumen bangsa, akhirnya memutasi behavior yang tadinya ramah tamah menjadi temperamental dan emosional.

Betul-betul dibutuhkan format baru bangsa, agar negeri ini bisa keluar dari lilitan persoalan dan bisa mengembalikan budaya timur yang luhur. Karena itu, sangat pantas bagi pemuda untuk segera tampil di Republik ini agar segera bisa melakukan potong generasi.

Dengan memotong generasi, maka tidak ada pola kaderisasi yang sebetulnya digunakan untuk melestarikan prinsip-prinsip yang salah pada masa lalu. Potong generasi diperlukan di seluruh sektor, seperti di legislatif, eksekutif dan yudikatif, sehingga me-refresh ulang pola pikir untuk menyederhanakan persoalan.

Saat ini bangsa Indonesia sebetulnya sudah paralyzed karena mengawali seluruh persoalan dengan kerumitan. BUMN yang akan berinvestasi dengan tujuan untuk menggerakkan sektor riil dihambat ratusan peraturan yang berbelit, padahal milik bangsa sendiri, jangan pernah bayangkan bagaimana jika investor swasta. Mereka barangkali lebih baik berinvestasi di luar Indonesia dan sudah terbukti banyak sekali.

Kaum pemuda secara harafiah memiliki peluang untuk parsinomi atau menyelesaikan masalah bangsa dengan diawali sederhana. Berangkatnya dengan konsep sederhana karena sebetulnya kerumitan akan datang sendiri kemudian. Inilah sebetulnya esensi utama potong generasi, membuat sederhana persoalan agar masalah bangsa menjadi ringan.

Gagal Regenerasi

Sosok pemimpin era sekarang memang tidak dilahirkan sebagaimana terjadi pada zaman raja-raja. Anak-anak raja ketika itu otomatis menjadi putra mahkota dan seketika memiliki privilege sebagai pemimpin. Kini, seiring berkembangnya zaman, masyarakat harus menciptakan atau membuat pemimpinnya sendiri. (Ouchi, 1997) Namun yang memiliki tanggung-jawab utama menciptakan kaderisasi pemimpin adalah pemimpin masa sekarang.

Jika sampai saat ini belum dimunculkan regenerasi pemimpin maka ada dua alternatif persoalan. Pertama, pemimpin saat ini menganggap seluruh generasi muda tidak mampu menerima regenerasi. Kedua, karena pemimpin sekarang memiliki hidden agenda untuk kelanggengan kekuasaannya sendiri.
Untuk mendapatkan legitimasi bahwa alasan pertama ditolak sementara alasan kedua diterima, sebetulnya mudah bagi pemimpin sekarang. Kelompok muda memang diberikan kesempatan sampai di 
tampuk pimpinan, namun secara sistematis diupayakan agar terjebak dalam konflik.

Namun, ketika pemimpin sekarang merasa tidak nyaman karena sosok pemimpin muda memiliki agenda tersendiri, keberadaan pemimpin muda itu sebagai new comer tentu tidak diharapkan. Apalagi, ketika pemimpin handal masa depan yang seharusnya kebal godaan materi dan kepentingan ekonomi praktis ternyata juga memiliki kualifikasi pemimpin muda yang terjebak hedonisme dan memuja kemewahan.

Dari sini ada dua hipotesis yang diributkan bahwa pemimpin muda tidak mampu dibebani suksesi nasional dengan potong generasi dan tidak pula mampu dengan cara regenerasi. Kapankah pemuda siap, waktu yang akan membuktikannya. Yang pasti, pemimpin muda belum layak untuk diuji kontestansi 2014 mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar