Senin, 28 Oktober 2013

Welfare State, Mati di Eropa, Lahir di AS

Welfare State, Mati di Eropa, Lahir di AS
Jennie S Bev  Pengamat Globalisasi bermukim di California, Singapura dan Jakarta; Arsip publikasi: jenniesbev.typepad.com
JARINGNEWS, 25 Oktober 2013


Pada tanggal 19 September 2013, Raja Belanda Willem-Alexander mengeluarkan pernyataan mengejutkan: Welfare state Belanda sudah tamat. Negara-negara Eropa lainnya juga telah menanggalkan atribut-atribut welfare state. Uniknya, AS sedang menuju Era Obamacare yang sedikit mendekati universal healthcare system yang dianut oleh para welfare states, walaupun bukan merupakan bab baru The New Deal-nya Franklin D. Roosevelt.

Ketika Eropa menyatakan kematiannya welfare state, AS baru mulai menjadi welfare state.

Apa saja masalah-masalah yang ditemui oleh para welfare state gagal tersebut? Apakah AS bisa berhasil dalam menerapkan Obamacare? Perlukah Indonesia mengambil jalan welfare state?

Pertama, 'welfare state' adalah suatu sistem di mana negara memegang peran penting dalam melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi dan sosial para warga negara. Welfare statedidasari oleh prinsip-prinsip persamaan kesempatan, distribusi kekayaan yang berkeadilan, dan menjamin mereka yang beremampuan minimal dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Para ekonom memberikan definisi 'welfare state' bagi negara yang menggunakan 20 persen dari GDP nasionalnya untuk kepentingan welfare dan pendidikan. Tahun 2012, AS menggunakan 19,4 persen total GDP nasionalnya untuk dua kepentingan ini.

Sosiolog TH Marshall menggabungkan konsep-konsep demokrasi dan kapitalisme dalam sebuahwelfare state. Tiga kategori welfare state adalah sosial demokratik, konservatif dan liberal. Berbagai negara Eropa seperti negara-negara Nordik seperti Islandia, Swedia, Norwegia, Finlandia, dan Denmark serta Belanda menganut kategori pertama. Australia dan Kanaga juga menganut sistem ini dalam kategori kedua, sedangkan Amerika Serikat tidak secara tegas menganut sistem ini terlepas dari berbagai elemen welfare state yang diadopsinya sehingga dapati dikategorikan ke dalam 'liberal welfare state'. Inggris Raya, Selandia Baru, dan Irlandia termasuk kategori ke-empat welfare state yang tidak terkategorikan.

Selain krisis ekonomi berkepanjangan di Eropa, melesatnya jumlah para lanjut usia generasi baby boomer sangat sulit untuk ditopang dari pajak yang diterima dari para pekerja generasi muda yang jumlahnya sangat signifikan kecil. Di AS sendiri, Obamacare yang baru akan diimplementasikan secara penuh di tahun 2014 dan pembayaran uang pensiun dari akun Social Security masih merupakan tanda tanya, mengingat anggaran yang luar biasa tinggi sedangkan situasi ekonomi makro memprihatinkan.

Kedua, demi keberhasilan, welfare state membutuhkan apa saja? Pertama, integritas setiap individu penerima fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh welfare state. Tanpa integritas, welfare state yang sangat mengandalkan honor system akan sangat rentan terhadap para individu yang doyan memalsukan situasi. Yunani merupakan salah satu contoh nyata kegagalan welfare state. (Baca juga Jennie S. Bev: Kegagalan Welfare State, Pelajaran dari Yunani untuk RI)

Kultur impunitas dan korup menggagalkan niat baik pemerataan kekayaan, karena mereka yang tidak miskin ternyata tidak ragu untuk 'pura-pura miskin' dan yang tidak sakit juga tidak ragu untuk 'pura-pura sakit' demi mendapatkan hak welfare dari kas negara yang rentan terhadap penerimaan pajak yang tidak selalu mencukupi. Ini merupakan tantangan bagi setiap welfare state.

Kebutuhan utama sebuah welfare state adalah sistem yang berjalan secara teruji serta dijalankan oleh mereka yang sudah teruji daya saringnya (filtering recipient candidates). Dana yang mencukupi dari pool pajak sudah jelas merupakan kebutuhan mendasar yang harus selalu ada. Dana sangat besar yang dikumpulkan dalam kas welfare ini tentu sangat rentan dikorupsi dan sangat berbahaya apabila diletakkan di dalam tangan segelintir orang saja.

Ketiga, masalah-masalah utama welfare state antara lain adalah cash flow yang harus selalu ada. Pemerintah menjadi pemegang monopoli pelayanan kesehatan dan pendistribusian kekayaan dari yang lebih mampu kepada yang kurang mampu. Kultur korup sudah semestinya diminimalisasi sedemikian rupa sehingga sistem bisa berjalan dengan stealth performance. Sistemnya sendiri sudah harus sedemikian rupa dirancang agar bisa mem-filter out tindakan-tindakan korupsi.

Ini adalah tantangan terbesar Indonesia yang merupakan kendala besar implementasi unsur-unsur welfare state. Budaya 'sungkan' juga membendung teguran-teguran keras atas segala bentuk perilaku korupsi. Cash flow yang diperoleh dari pajak harus mendapatkan perlindungan utama dari berbagai gerogotan tikus-tikus berwajah manusia.

Keempat, tantangan Obamacare adalah tantangan para aspirator welfare state modern versi partisipasi WN. Sistem partisipasi nasional ini baru mulai dijalankan secara penuh terhitung 2014, setelah Obama memasuki tahun ke-2 administrasinya yang ke-2. Persiapan dilakukan dengan matang selama hampir empat tahun. Mengapa demikian?

Selain masalah dana yang perlu dianggarkan khusus, para aktuaris juga bekerja untuk mencari algoritma yang tepat akan demografi para penderita sakit di seantero negeri Paman Sam. Berapa persen berpenyakit tertentu sehingga berapa anggaran per pasien yang perlu disisihkan. Cukup kompleks algoritma yang digunakan dalam menganalisa berbagai hal berkenaan dengan sistem ini.

Ini baru masalah pendanaan dari negara. Belum lagi mengenai pooling dari asuransi partisipasi para WN yang diwajibkan untuk membeli premi asuransi berdasarkan grup. “Obamacare” merupakan nama populer Affordable Care Act dari grup asuransi yang terdiri dari semua WN AS. Preminya berdasarkan insiden-insiden di dalam grup, bukan perorangan. Mereka yang tidak membeli premi akan dikenakan penalti ketika melaporkan pajak di akhir tahun. Besar penalti sekitar US$ 95 per orang di tingkat federal dan berbeda-beda di tingkat negara bagian.

Kartu Sehat Jakarta yang dimulai dengan naiknya Joko Widodo dan Basuki 'Ahok' Purnama ke puncak administrasi kota Jakarta ternyata banyak mengalami hambatan. Penulis agak 'terkejut' ketika Kartu Sehat dicetak hanya beberapa hari setelah Jokowi-Ahok diangkat sebagai gubernur dan wakil gubernur, karena sistem yang ada sesungguhnya sama sekali belum memadai untuk melakukan berbagai transaksi publik healthcare system ala welfare state demikian.

Diperlukan informasi saling menyilang yang bisa memberikan konfirmasi akan integritas suatu kasus, dari asuransi kesehatan, dokter penyedia jasa kesehatan, hingga ke proses billing yang kompleks. Ini tidak dijumpai di dalam sistem Kartu Sehat Jakarta, sehingga sekarang dalam masa 'transisi' perbaikan.

Kelima, baikkah bagi Indonesia untuk mengambil jalan welfare state? Mengapa? Ini merupakan dilema. Warga Indonesia masih membutuhkan berbagai bentuk pengayoman dari pemerintah, yang sayangnya tidak cukup telaten untuk membangun sistem yang baik.

Para warga Indonesia masih beraspirasi untuk memperoleh 'segala sesuatu gratis' dari pemerintah, yang merupakan salah kaprah tingkat tinggi. Tidak ada yang gratis, semua berasal dari pajak yang luar biasa tinggi di negara-negara welfare state. Saya yakin tidak ada warga Indonesia yang mau membayarkan pajak sebesar 30 persen hingga 75 persen dari pendapatan. Apalagi dengan tingkat korupsi sangat tinggi di setiap instansi pemerintah.

Di Swedia, pajak pendapatan mencapai 30 persen dan berbagai pajak lainnya menggenapkan total 60 persen pendapatan untuk pajak. Di Denmark yang menyediakan fasilitas childcare danmaternity/paternity leave hingga dua tahun, pajak pendapatan dikenakan hingga 50 persen. Di AS, setiap pemilik rumah membayarkan lebih dari satu persen nilai rumahnya saat itu untuk pajak properti (semacam Pajak Bumi dan Bangunan versi Indonesia), juga membayar sales taxbervariasi dari 4 sampai 10 persen setiap kali berbelanja, belum lagi berbagai pajak lainnya sehingga sekitar 50 sampai 80 persen dari pendapatan digunakan untuk pembayaran pajak. Dengan kata lain, welfare state itu sangat mahal.

Negara welfare state Eropa yang sering dijadikan teladan adalah Belanda. Raja Willem-Alexander telah menyatakan sistem ini telah berakhir. Yunani sudah lama mengalami masalah internal yang disebabkan oleh kegagalan sistem ini dan perpajakan mereka. Dalam kultur korup, hampir mustahil welfare state bisa dijalankan dengan lancar. Bayangkan saja, dana luar biasa besar (20 persen dari GDP nasional) berada di dalam satu tangan, yaitu: tangan pemerintah.

Tentu saja Indonesia akan siap menjadi welfare state setelah kultur korup sirna dan pemberantasan korupsi menunjukkan hasil luar biasa sukses yang bisa bertahan dalam jangka panjang.

Akhir kata, matinya welfare state di Eropa akankah menular ke seantero dunia? Saat ini AS ingin membuktikan bahwa welfare state merupakan pilihan yang tepat bagi negara yang sedang terseok-seok ekonominya. Apakah Obamacare akan menjadi benchmark baru kesuksesan welfare state, ini masih merupakan tanda tanya besar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar