Minggu, 27 Oktober 2013

Pertinggi Konsumsi Pangan Lokal

Pertinggi Konsumsi Pangan Lokal
Posman Sibuea  ;    Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Katolik Santo Thomas, Sumatra Utara, Direktur Center for National Food Security Research
KORAN JAKARTA, 24 Oktober 2013



Gaya hidup boros energi mendorong manusia untuk menggunakan sumber daya alam secara berlebihan. Perilaku manusia yang ekstraktif terhadap sumber daya alam guna memenuhi kebutuhan hidupnya berkorelasi pada penurunan kualitas lingkungan hidup. 

Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) Ke-33, yang puncak perayaannya berlangsung di Padang, Sumatera Barat, selama empat hari, 24 – 27 Oktober 2013, mengangkat tema "Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan". Tema tersebut dipilih dengan pertimbangan Indonesia kaya akan berbagai pangan berbasis sumber daya lokal yang memiliki nilai gizi tinggi. 

Tema ini sekaligus hendak mengedukasi masyarakat untuk mengurangi kebergantungan pada pangan impor yang ditengarai kurang bersahabat dengan lingkungan. Pangan impor mengatrol emisi karbon dan kadar gas rumah kaca di atmosfer. Proses pengangkutannya dari negera asal ke tujuan memboroskan bahan bakar dan mendorong percepatan pemanasan global. 

Menurut FAO, permintaan pangan impor yang kian tinggi dari negara berkembang untuk mengimbangi perubahan gaya hidup masyarakatnya yang makin boros energi telah membuang secara sia-sia sekitar 30 persen atau 1,3 miliar ton per tahun dari pangan yang diproduksi di dunia. Jumlah ini setara dengan produksi pangan yang dihasilkan di seluruh negara sub-Sahara Afrika. 

Pada saat yang sama, 1 dari setiap 7 orang di dunia tidak bisa tidur nyenyak di malam hari karena perut lapar dan lebih dari 20.000 anak di bawah usia 5 tahun meninggal dunia setiap hari karena kelaparan.

Kesadaran Baru
Tema nasional Hari Pangan Sedunia 2013 untuk membuka kesadaran baru bagi masyarakat Indonesia untuk mengubah pola konsumsi. Negeri agraris ini yang usianya semakin tua dipastikan masih mampu menyediakan bahan pangan untuk 245 juta penduduk. Namun sayang, dalam keseharian acap terbuang makanan dan belum bijak menyikapi peran lingkungan dalam penyediaan makanan secara bekelanjutan. 

United Nations Environment Programme, dalam siaran persnya, baru-baru ini, mengatakan perilaku boros konsumsi pangan di tengah masyarakat meningkatkan jumlah makanan yang terbuang sia-sia. Dari sisi konsumen, cukup memprihatinkan dengan fenomena itu dan terpacu menjaga pola konsumsi pangan yang berimbang. Jika hanya bisa mengonsumsi setengah piring nasi dan sepotong rendang, misalnya, jangan mengambil lebih dari porsi itu saat makan. 

Gaya hidup boros energi mendorong manusia untuk menggunakan sumber daya alam secara berlebihan. Perilaku manusia yang ekstraktif terhadap sumber daya alam guna memenuhi kebutuhan hidupnya berkorelasi pada penurunan kualitas lingkungan hidup. Secara implisit tema "Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan" memberi arah untuk pengendalian konsumsi pangan yang berorientasi pelestarian lingkungan hidup. 

Pemanfaatan pangan lokal dapat mereduksi penggunaan energi transportasi secara berlebih. Pangan impor dari negara asal membutuhkan energi yang besar untuk transportasi dan pendistribusian. Proses pendinginan yang dilakukan guna memperpanjang masa simpan juga sangat boros energi. Makanan yang membusuk dalam jumlah besar sebelum sampai di tujuan juga mengatrol suhu Bumi makin panas lantaran proses pembusukannya menghasilkan gas metana, salah satu pembentuk gas rumah kaca. 

Kualitas lingkungan hidup akan semakin buruk karena gas rumah kaca yang ditimbulkan transportasi pangan impor (food mile) berkorelasi erat dengan pemborosan konsumsi bahan bakar yang digunakan. 


Indonesia sesungguhnya berpotensi memproduksi berbagai jenis bahan pangan berbasis sumber daya lokal, mulai dari karbohidrat, minyak/lemak, protein, hingga vitamin dan mineral karena memiliki lahan pertanian pangan yang subur dan luas. Demikian juga sumber pangan ternak, ikan laut yang melimpah, dan ragam jenis ikan air tawar yang bisa digunakan sebagi sumber protein guna memutus mata rantai pangan impor sekaligus mengurangi pencemaran lingkungan.

Green Economy

Pada Konferensi Rio 20 tahun 2012 dideklarasikan dokumen “The Future We Want” yang memuat arah masa depan yang diinginkan umat manusia. Untuk itu, diangkat tema ekonomi hijau atau green economy dalam konteks pengurangan jumlah angka kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan sekaligus mengakhiri pemborosan energi. 

Namun, jika pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada industri ekstraktif dengan watak yang rakus pada sumber daya alam dan menafikan pertanian, secara perlahan tapi pasti, Bumi menuju kehancuran. Pemanfaatan pangan lokal yang sekaligus mendorong mesin percepatan pembangunan pertanian sejatinya membentuk atmosfer dan ruang “incubator” ekonomi ramah lingkungan (ekonomi hijau). 

Di sana ada penghargaan terhadap lokalitas, kearifan lokal, dan solidaritas sosial yang lepas dari urusan profit perusahaan kapitalistik, tetapi mengutamakan pembangunan sosial.

Derivatisasi ekonomi hijau adalah green konsumsi pangan untuk meningkatkan penggunaan pangan lokal. Untuk mencapai ini perlu perubahan pola pikir dari ekonomi kapitalistik ke konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan. Ini tak lain adalah pembangunan yang berbasis efisiensi penggunaan sumber daya alam, pola konsumsi pangan yang berkelanjutan, dengan memasukkan biaya lingkungan dan perubahan sosial.

Tidak dapat disangkal, kemajuan teknologi pertanian dan peningkatan pendapatan masyarakat menyebabkan perubahan pola konsumsi pangan. Iklan di televisi yang gencar mempromosikan ayam goreng cepat saji, hamburger, mi, donat, dan piza berbahan terigu telah membawa perubahan gaya hidup sebagian besar masyarakat. 

Permintaan daging yang meningkat untuk kebutuhan hamburger telah membawa revolusi peternakan. Produksi jagung pun meningkat secara drastis untuk memasok bahan pakan ternak. Dapat dibayangkan jika masyarakat semakin boros mengonsumsi daging lewat hamburger, misalnya, maka angka kelaparan kian bertambah besar. Manusia dan ternak berkompetisi mendapat makanan berbasis jagung.

Masalahnya, sekarang, mau dan mampukah Indonesia memanfaatkan pangan berbasis sumber daya lokal dengan sikap dan pola konsumsi yang berorientasi pada green economy? Ataukah masyarakat menjadi bagian dari warga yang memiliki gaya hidup boros energi karena lebih menomorsatukan pangan impor ketimpbang lokal? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar