Kamis, 31 Oktober 2013

Mencari Strategi Pengupahan

Mencari Strategi Pengupahan
Dinna Wisnu   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 30 Oktober 2013


Kemarin dan hari ini serikat-serikat buruh akan melakukan unjuk rasa untuk menuntut perbaikan kesejahteraan. Serikat buruh di beberapa wilayah seperti di Kawasan Berikat Nusantara Cakung sudah melakukan ”aksi pemanasan” menjelang aksi besar tanggal 31 Oktober nanti. 

Tuntutan mereka antara lain kenaikan upah minimum 50% atau Rp3,7 juta untuk mereka yang bekerja di Jakarta, penghapusan outsourcing, dan pelaksanaan jaminan sosial. Permintaan mereka sama dengan tuntutan-tuntutan yang pernah diajukan beberapa tahun lalu. Meskipun beberapa serikat buruh lain menyatakan tidak akan mengikuti aksi unjuk rasa ini, dampak yang ditimbulkan dari aksi ini tetap signifikan. 

Banyak pihak yang mendukung, tetapi juga banyak yang menolak aksi unjuk rasa ini. Pihak yang mendukung mengatakan bahwa tuntutan buruh sudah sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan. Harga-harga barang pokok seperti makanan telah naik sangat signifikan. Makanan yang sehari- hari dianggap sebagai makanan rakyat seperti tempe dan tahu tidak lagi sama kualitasnya seperti setahun lalu. 

Harga daging sudah seperti barang mewah, demikian pula cabai, bawang putih, bawang merah, dan bumbu dasar lainnya. Kenaikan itu juga diikuti dengan kenaikan ongkos transportasi yang ikut membebani pengeluaran para buruh, tidak hanya buruh kerah biru di kawasan industri, tetapi juga buruh kerah putih yang bekerja di jantung kota-kota besar. 

Mereka yang menolak mengatakan bahwa aksi unjuk rasa ini terlalu berlebihan. Tuntutan kenaikan upah buruh sebesar 50% dianggap terlalu berlebihan di mana banyak kelas buruh lain yang masih menerima upah di bawah tuntutan tersebut. Para pengusaha juga mengatakan serikat buruh tidak realistis melihat kenyataan ekonomi yang sedang kembang kempis karena krisis ekonomi di dunia belum berakhir. 

Sejumlah pasar tujuan ekspor produk-produk seperti pakaian, sepatu, apparel, dan produk manufaktur lain belum pulih dari krisis. Atau di negara tujuan mereka juga harus bersaing dengan produk dari China, Vietnam, Kamboja, dan negara-negara yang menawarkan barang lebih murah. Mereka yang menolak dan mendukung sebetulnya telah mengatakan hal yang sama berulang kali di tahun-tahun sebelumnya. 

Bagi saya hal itu menjadi indikator bahwa tidak terjadi perubahan struktural yang berarti di dalam hubungan industrial ketenagakerjaan di Indonesia. Pengusaha dan buruh terus menghadapi masalah makro dan mikro yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan memenuhi atau menolak tuntutan kenaikan upah dan perbaikan kesejahteraan. 

Tidak terjadi dialog atau komunikasi tentang dasar-dasar hubungan industrial yang kokoh antara pengusaha, buruh, dan negara. Contohnya adalah rumusan tentang masalah pengupahan. Rumusanpengupahanpada saat ini secara sederhana adalah upah pokok dan tunjangan. Penentuan upah pokok akan diputuskan melalui survei konsumsi di pasar-pasar rakyat melalui komponen hidup layak. 

Dari komponen itu akan lahir sebuah pengeluaran total seorang buruh yang lajang untuk menjadi dasar negosiasi di Dewan Pengupahan yang terdiri atas perwakilan pemerintah, buruh, dan pengusaha di tingkat nasional atau daerah. Dengan kata lain, survei hidup layak tidak lantas menjadi upah minimum karena masih perlu dinegosiasikan. 

Hal ini mencerminkan bahwa upah dalam sejarahnya selalu merupakan keputusan politik dari ketiga belah pihak: pengusaha, pemerintah, dan buruh. Bila tidak ada lagi dasar kepercayaan di antara tiap pihak, sudah pasti tidak akan keluar keputusan politik tentang upah. Proses politik ini membutuhkan biaya yang tinggi mulai dari survei hingga aksi unjuk rasa bila terjadi ketidaksepakatan politik di antara ketiga pihak.

 Saya membayangkan apabila setiap akhir tahun terjadi aksi unjuk rasa, kerugiannya mungkin jauh lebih banyak dari pengeluaran kampanye para kandidat presiden setiap lima tahun sekali. Upah sebagai keputusan politik adalah kenyataan yang berlaku di setiap negara. Upah bukan semata-mata lahir dari perhitungan rasional ekonomi. 

Setiap negara memiliki strategi pengupahannya untuk para pekerja sesuai dengan kebijakan ekonomi dalam dan luar negeri mereka dalam menghadapi kompetisi di pasar bebas. Tidak ada satu cetak biru atau template yang bisa berlaku secara umum di setiap negara karena setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangan. Kita dapat mengambil contoh tentang kebijakan upah minimum Amerika yang menetapkan upah minimum serendahrendahnya, tetapi dipatok pada indeks harga konsumen. 

Mereka mengambil strategi itu agar pasar tenaga kerja dalam negeri dapat lebih kompetitif dan menarik investasi-investasi yang lari dari Amerika menuju negara-negara yang memiliki upah lebih rendah daripada upah buruh di Amerika dan agar pemerintah federal maupun negara bagian punya patokan ketika merekrut pegawai temporer. 

Amerika tidak peduli terjadi kesenjangan upah antara pekerja yang memiliki ketrampilan tinggi dengan pekerja yang berketrampilan rendah selama investor bisa melihat bahwa mereka dapat jauh lebih untung menanamkan modalnya di Amerika ketimbang di luar negeri. Profesor Berkeley dan mantan Menteri Perburuhan Amerika Robert Reichmengatakantotal kekayaan dari 400 orang terkaya di AS tetap lebih tinggi dibandingkan total kekayaan 150 juta orang Amerika. 

CNN mengatakan 1% orang kaya Amerika yangberpendapatanUSD380.000 atau lebih memiliki rata-rata pertumbuhan pendapatan 33% dalam 20 tahun terakhir. Hal ini berakibat juga pada kesenjangan pendidikan, kualitas makanan, dan sebagainya. Strategi yang berbeda dilakukan negara-negara yang tergabung di Uni Eropa. 

Negaranegara Uni Eropa bersepakat untuk menjaga agar tidak ada kesenjangan upah bagi pekerja terampil dan tidak terampil. Orang kaya dipajaki setinggitingginya, sementara upah minimum ditetapkan di atas standar garis kemiskinan. Pajak yang tinggi ini kemudian digunakan untuk terus meningkatkan kualitas jaminan sosial bagi warga mereka. 

Tujuan dari strategi tidak lepas dari fokus utama negara Eropa untuk mengandalkan sumber daya manusia mereka sebagai pelopor dalam inovasi teknologi dan pengetahuan. Inovasi teknologi tidak dapat dilakukan apabila akses pendidikan dan kesejahteraan terbatas atau hanya bisa dinikmati orang-orang kaya. Akses ini harus terbuka kepada setiap warga. 

Hal ini menyebabkan kasus-kasus relokasi industri yang padat teknologi di Eropa sangat rendah. Apabila mereka harus melakukan relokasi, biasanya tetap di wilayah Eropa dan tidak akan sampai ke Asia atau Afrika. Untuk Indonesia, wajib dipahami politik pengupahan kita yang masih fokus pada upah rendah sudah ketinggalan zaman. Pada dasarnya upah saja tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja karena harga komoditas dan layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan juga meningkat terus. 

Selain itu persaingan dunia usaha makin ketat di bidang yang membutuhkan ketrampilan khusus. Artinya, perlu ada transisi dari politik upah murah pada pemberian insentif bagi pekerja yang mau menginvestasikan waktu dan tenaga untuk mendukung pengembangan industri berteknologi tinggi. 

Tak perlu takut investor kabur karena iklim usaha tidak semata ditentukan oleh upah buruh, justru pemerintah wajib memperbaiki faktor pendukung usaha yang lain seperti infrastruktur, kepastian hukum, birokrasi, dan biaya logistik yang kompetitif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar