Minggu, 27 Oktober 2013

Demokrasi dan Sumpah Pemuda

Demokrasi dan Sumpah Pemuda
Sarlito Wirawan Sarwono  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 27 Oktober 2013


Semua orang Indonesia pasti tahu Sumpah Pemuda yang teks aslinya adalah sebagai berikut: SOEMPAH (dibaca: sumpah) PEMOEDA Pertama :- Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang (dibaca: yang) satoe, tanah air Indonesia. Kedua :- Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga :- Kami poetra dan poetri Indonesia, mengjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. 
Djakarta, 28 Oktober 1928
Sumpah luar biasa yang akhirnya bisa mengantarkan bangsa ini ke kemerdekaannya pada 1945 dan bisa mengembalikan status RIS (Republik Indonesia Serikat) menjadi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) lagi dibuat melalui proses yang demokratis. Perwakilan dari perkumpulan-perkumpulan pemuda daerah bertemu di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta (Rumah milik seorang China bernama Sie Kong Liong) untuk berunding. 

Pertemuan itu dihadiri 80 orang mewakili beberapa perkumpulan pemuda seperti Jong (dibaca: yong) Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemoeda (dibaca: pemuda) Indonesia, dan Pemoeda Kaoem( dibaca: kaum) Betawi. Nama-nama lain yang hadir mewakili wartawan, Volksraad (DPR zaman Belanda) pengamat masalah Indonesia, bahkan Pemerintah Hindia Belanda pun ikut hadir. 

Beberapa di antara yang hadir sempat saya kenal secara pribadi waktu saya masih kuliah sampai ketika anak-anak saya masih kecil misalnya Saerun (wartawan teman orang tua saya), Djuned Pusponegoro (dokter anak, mantan Rektor UI, pernah jadi dokternya anak-anak saya), Jo Masdani (dosen, senior saya di Fakultas Psikologi UI), Mohamad Roem (penasihat hukum dari Panti Asuhan Muslimin milik eyang saya), Wilopo (ketua PNI, saya suka main ke rumahnya karena anaknya, Asih, teman kuliah saya), dan masih ada beberapa lagi. 

Tetapi yang perlu dicatat adalah kehadiran RM Kartosuwiryo, yang waktu itu ikut menandatangani sumpah pemuda, tetapi pada 1949 mendirikan NII (Negara Islam Indonesia) yang merupakan cikal bakalnya terorisme dan radikalisme sampai hari ini (walaupun Kartosuwiryo sudah dieksekusi pada 1962). 

Sekarang 2013. Delapan puluh lima tahun sudah usia sumpah pemuda. Pada 1945 Bung Karno berusaha mati-matian membujuk kaum islamis agar tidak memasukkan tujuh kata tentang syariah Islam. Pancasila itu sudah islami, kata beliau, dan beruntung bahwa kaum islamis pada waktu itu bisa mengerti karena harga untuk tujuh kata itu sangat mahal. Kalau tujuh kata itu masuk, provinsi-provinsi dari Indonesia timur akan check out dari NKRI. 

Memang, sesudah saya ajak para mantan pelaku teror untuk mempelajari satu persatu dari 45 butir-butir penjabaran Pancasila, mereka sepakat bahwa tidak satu pun dari butir-butir itu yang bertentangan dengan Islam. Tetapi, pasca-Reformasi 1998, semua tampak berubah 180o. Ibu-ibu muda berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah yang berbahasa pengantar bahasa Inggris, yang guru-gurunya dipanggil Mister atau Miss ataupun bahasa Mandarin. Beberapa ustaz menganjurkan bahwa umat Islam harus menguasai bahasa Arab karena itulah satu-satunya bahasa yang berlaku di akhirat. 

Nah, terus ke mana itu sumpah menjunjung bahasa persatuan Indonesia? Padahal keputusan untuk memilih bahasa Indonesia (berasal dari bahasa Melayu yang sangat minoritas) merupakan pilihan yang luar biasa karena para peserta tidak mau bahasa mayoritas (Jawa) dijadikan bahasa persatuan, termasuk RM Kartosuwiryo yang orang Jawa. Kemudian UUD 1945 direvisi sampai empat kali. 

Setiap perubahan dipicu oleh tarik-menarik kepentingan sehingga sekarang salah satu kabupaten di Aceh bisa punya perda sendiri yang mengatur perempuan tidak boleh duduk mengangkang bila membonceng sepeda motor, seakan-akan kabupaten itu bukan Indonesia lagi. Untuk menjadi pejabat di Provinsi Aceh perlu diuji kemampuan untuk membaca Alquran, seakan-akan dengan pandai membaca Alquran seorang pejabat dijamin bisa mengatur tata negara. 

Sekarang, mau ke mana kita? Visi dan misi yang sudah dibangun dengan baik oleh para founding fathers/mothers kita seakan-akan sudah tidak layak lagi dijadikan pedoman arah bagi perkembangan bangsa. Semua mau demokrasi, dan demokrasi berarti debat-debat, demo-demo, kalau perlu saling tawuran, untuk akhirnya divoting. Mana yang paling banyak suaranya, itulah yang memang, walaupun suara itu tidak dilandasi visi-misi apa pun, kecuali emosi-emosi sesaat dan berjangka pendek. Jadi ke mana itu Sila Keempat dari Pancasila yang berbunyi: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan? 

Semua orang tahu bahwa tidak semua orang sekelas Barrack Obama. Ada yang cuma sekelas Sarlito, bahkan ada yang lebih bawah lagi kelasnya yaitu Yunus (sopir saya). Dengan demokrasi one man one vote, tidak mustahil, dengan dukungan politik uang, oknum-oknum sekelas Yunus jadi anggota DPRD, bahkan DPR (lihat saja betapa para parpol membabi buta merekrut caleg demi memenuhi kuota caleg). Siapa saja bisa terekrut, termasuk para penyandang S-2 yang masih cari-cari kerja). 

Karena itu, dalam UUD 1945 versi Orde Baru, ada MPR yang anggotanya 50% adalah anggota DPR dan 50% lagi terdiri atas tokoh-tokoh pilihan walaupun mereka diminta bersidang hanya sekali dalam lima tahun. Tetapi, karena MPR (di zaman Reformasi) membuat gaduh dengan menaik-turunkan presiden, ada gerakan dari masyarakat untuk membuat pilpres langsung (one man, one vote). 

Sampai di sini masih OK karena minimal memberikan kepastian seorang presiden dijamin berkuasa selama lima tahun yang berarti stabilitas politik terjamin. Tetapi, nyatanya tidak juga. DPR terus-menerus membuat gaduh, termasuk politik uang dan manipulasi serta korupsi dana negara. 

Mula-mula hanya satu-dua yang terungkap, lama-lama banyak sekali, sampai orang bertanya-tanya kapan ini selesainya? Apakah demokrasi sudah begitu digdayanya sehingga harus mengalahkan Sumpah Pemuda?  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar